Jumat, 29 April 2011

KEDIKTATORAN

KEDIKTATORAN, KEKERASAN DAN KESENGSARAAN

BAB I
PENDAHUUAN

Barangkali kita bersama tentu masih ingat beberapa Negara yang mengalami masa pemerintahan dengan adanya satu pemimpin yang mampu memerintah sekian tahun lamanya. Beberapa Negara seperti Jerman, Perancis, Rusia, Kamboja dan sebagainya. Kini persoalan yang sedang hangat dibicarakan tentang kasus Libya. Barangkali kita melihat bahkan mendengar perkembangan kasus tersebut. Sejenak kita akan membuka gagasan kita dengan adanya sebuah komentar di bawah ini.

Pemerintah Indonesia prihatin dan menyesalkan kekerasan di Libya yang mengatasnamakan perlindungan terhadap warga sipil. Seharusnya, perlindungan warga dengan cara yang tidak justru malah menimbulkan masalah baru yang lebih pelik.
Hal ini disampaikan Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa, di Kementerian Luar Negeri, Jakarta, pada Selasa, 22 Maret 2011. Natalegawa mengatakan situasi di Libya saat ini bukannya membaik, tapi malah memburuk. "Kita tentu prihatin, situasi dan kondisi di libya berkembang sedemikian rupa, sehingga semakin tampillah sosok penggunaan kekerasan," ujar Natalegawa.
Tentara Koalisi Dewan Keamanan PBB yang dipimpin oleh Amerika Serikat pada Minggu, 20 Maret 2011, menjatuhkan ratusan rudal ke komplek kediaman Khadafi dan sekitarnya di Tripoli. Akibatnya, 48 orang tewas dalam serangan tersebut. "Keadaaan ini sangat kita sesali, mengapa sampai harus menggunakan kekerasan," ujar Natalegawa
Natalegawa mengatakan, tindakan yang diambil dalam mengatasi krisis di Libya haruslah sesuai dengan hukum internasional dan Piagam PBB.
Resolusi Dewan Keamanan PBB tahun 1973 yang mencakup zona larangan terbang yang ditetapkan Kamis pekan lalu adalah untuk memberikan perlindungan bagi warga sipil yang tidak berdosa. "Namun tentunya kita ingin agar pelaksanaan resolusi itu dilakukan dengan terukur dan pas, jangan sampai menimbulkan masalah-masalah baru. Dalam arti, dampak kemanusiaan yang justru mempersulit dan memperumit permasalahan," tegas Natalegawa.
Dalam pelaksanaannya, saran natalegawa, perlu diselaraskan antara usaha untuk menyelamatkan warga sipil dengan upaya menciptakan kondisi yang kondusif untuk proses politik selanjutnya. Hal ini harus dilakukan secara bersama-sama, tidak bisa terpisah.
Natalegawa mengatakan konflik di Libya hanya bisa diselesaikan dengan jalan dialog demi terciptanya situasi yang aman, seperti yang terjadi di Mesir dan Tunisia. Hal ini haruslah dilakukan oleh pemerintah yang berdaulat tanpa campur tangan asing. "Campur tangan siapapun juga dalam proses politik ini tidak mungkin dibenarkan," tegas Natalegawa lagi. (adi)

Setelah kita bersama membaca tulisan di atas kiranya kita akan semakin terbuka wawasan kita bagaimana sebuah Negara akan dibawa dengan sebuah pola pemerintahaan. Ada berbagai bentuk pemerintahan di dunia ini, namun pembahasan kita sekarang ini adalah mengenai kediktatoran yang melahirkan kekerasan dan kesengsaraan bagi bangsanya sendiri. Tema ini diangkat sehubungan kepedulian hati terhadap sesama dengan harapan adanya hidup damai dalam berbangsa dan bernegara. Maka sejenak kita akan membahas beberapa hal sehubungan dengan tema di atas yakni mengenal “Pasifisme dan bagaimana Dalai Lama Berkeputusan meninggalkan jabatannya sebagai seorang pemimpin Negara?”























BAB II
PEMBAHASAN

Sebelum masuk dalam pembahasan kita ini sejenak kita membahas seputar dictator dan beberapa contohnya. Diktator dapat dikatakan adalah seorang pemimpin negara yang memerintah dengan otoriter atau dengan membentuk tirani dengan seringkali menggunakan sikap penindasan terhadap rakyatnya. Tak jarang terjadi atau bahkan menjadi hal yang biasa kalau pencapaian sebuah kekuasaan atau tahta dilakukan dengan cara kekerasan. Kekerasan itu pun dapat terjadi dan dikenakan jika seseorang yang memiliki paham, sikap, juga pandangan yang berbeda dengan pemimpin tersebut. Niscaya tindakan kekerasan demi sebuah kekuasaan tak terelakkan.
Istilah Diktatorisme adalah sebuah paham yang artinya diambil dari kata "diktator" artinya orang yang memerintah suatu negara/pemerintahan dengan hak-hak dan kekuasaan absolut dan -isme yang berarti sebuah pemahaman maka disimpulkan diktatorisme adalah sebuah paham yang dianut oleh suatu negara untuk dipimpin oleh seorang pemimpin otoriter yang mempunyai hak dan kewajiban absolut. Adapun diktatorisme cenderung lebih banyak dipraktikkan di negara-negara Eropa seperti Jerman, Polandia, Perancis, dan Italia. "
Maka kita sejenak perlu melihat beberapa daftar para penguasa yang menerapkan paham diktatorisme dalam menjalankan roda pemerintahannya.


NO NAMA MULAI JABATAN AKHIR JABATAN NEGARA

1 Napoleon Bonaparte
1804 1814 Perancis

2 Adolf Hitler
1935 1945 Jerman

3 Josef Stalin
1922 1953 Uni Soviet

4 Fransisco Franco
1936 1975 Spanyol

5 Mao Zedong
1949 1976 Republik Rakyat Cina

6 Pol Pot
1976 1979 Kamboja

7 Jean Bédel Bokassa
1966 1979 Afrika Tengah

8 Idi Amin Dada
1971 1979 Uganda

9 Kim Il-sung
1948 1972 Korea Utara

10 Saddam Hussein
1979 2003 Irak

11 Nicolae Ceausescu
1967 1989 Rumania

12 Slobodan Milosevic
1989 1997 Yugoslavia

13 Mobutu Sese Seko
1965 1997 Kongo

14 Augusto José Ramón Pinochet Ugarte
1974 1990 Chili

15 Francois Duvalier
1957 1971 Haiti

16 Benito Amilcare Andrea Mussolini
1922 1943 Italia

17 Soeharto
1967 1998 Indonesia

18 Ho Chi Minh
1945 1969 Vietnam Utara

19 Hosni Mubarak
1881 2011 Mesir


Daftar para diktator di atas merupakan tokoh-tokoh dunia yang terkenal dan tidak asing bagi kita. Sejarah telah mencatat bahwa mereka adalah orang-orang yang menyumbangkan banyak hal bagi negaranya. Maka ada dua buah pandangan yang ditawarkan dalam tulisan ini yakni dengan adanya system Pasifisme dan belajar dari Dalai lama. Pembahasan yang pertama berkenaan dengan Pasifisme.

Pasifisme adalah perlawanan terhadap perang atau kekerasan sebagai sarana untuk menyelesaikan pertikaian. Pasifisme mencakup pandangan yang berspektrum luas yang merentang dari keyakinan bahwa pertikaian internasional dapat dan harus diselesaikan secara damai, hingga perlawanan mutlak terhadap penggunaan kekerasan, atau bahkan paksaan, dalam keadaan apapun.
Pasifisme dapat didasarkan pada prinsip atau pragmatisme. Pasifisme berprinsip (atau Deontologis) didasarkan pada keyakinan bahwa baik perang, penggunaan senjata maut, kekerasan atau kekuatan atau paksaan secara moral adalah salah. Pasifisme pragmatis (atau Konsekuensial) tidak memegang prinsip mutlak demikian melainkan menganggap ada cara-cara yang lebih baik untuk memecahkan suatu pertikaian daripada perang atau menganggap manfaat-manfaat perang tidak sebanding dengan ongkosnya
Sebagian orang, yang menganggap dirinya pasifis, kadang-kadang meskipun menentang perang, kenyataannya tidak menentang semua penggunaan kekerasan, kekuatan fisik terhadap orang lain atau perusakan terhadap harta milik. Kaum anti-militer, misalnya, secara spesifik wewenang lembaga-lembaga militer negara kebangsaan modern ketimbang mendukung "kekerasan" pada umumnya. Kaum pasifis lainnya mengikuti prinsip-prinsip anti-kekerasan, karena yakin bahwa hanya tindakan anti kekerasanlah yang dapat dibenarkan
Sekilas kita bisa membaca tulisan tentang Pasifisme bahwa ada beberapa istilah yang muncul dan menarik diperhatikan dari pandangan itu antara lain; damai, perang, kekerasan. Secara umum pasifisme cenderung mengarah ke arah damai dalam menyelesaikan permasalahan. Namun perlu kita lihat beberapa komentar dari tokoh-tokoh terkait pasifisme ini :

Mahatma Gandhi
Apa bedanya untuk yang mati, para yatim piatu, dan mereka yang kehilangan tempat bernaung, apakah penghancuran gila itu dilakukan atas nama totalitariansime atau nama yang suci dari kebebasan dan demokrasi?

Martin Luther King Jr.
Membalas kekerasan dengan kekerasan akan melipatgandakan kekerasan, menambahkan kekelaman yang lebih mendalam kepada malam yang sudah tidak berbintang. Kekelaman tidak dapat menghalau kekelaman: hanya terang yang dapat melakukannya. Kebencian tidak dapat menghalau kebencian: hanya cinta kasih yang dapat melakukannya. Kebencian melipatgandakan kebencian, kekerasan melipatgandakan kekerasan, dan ketegaran melipatgandakan ketegaran dalam lingkaran kehancuran yang kian mendalam ... Reaksi berantai dari kuasa jahat - kebencian melahirkan kebencian, peperangan menghasilkan lebih banyak lagi peperangan - harus dipatahkan, atau kita akan terjerumus ke dalam liang pemusnahan yang gelap.

George Jackson.
Konsep anti-kekerasan adalah sebuah gagasan keliru. Ia mempradugakan adanya cinta kasih dan rasa keadilan pada pihak lawan kita. Bila lawan ini hanya akan kehilangan segala-galanya dan tidak akan memetik keuntungan apapun dengan melaksanakan keadilan dan cinta kasih, reaksinya hanya mungkin negative

Ada banyak keragaman dan pendapat yang muncul dari para tokoh sehubungan dengan pasifisme tersebut namun bukan berarti pasifisme adalah satu-satunya pandangan atau sistem yang dipakai dalam mewujudkan sebuah perdamaian Negara.
Kemudian kita akan belajar juga bagaimana seorang pemimpin negara yaitu Dalai Lama berkecimpung sebagai seorang pemimpin spiritual dan pemimpin Negara. Tuilsan Asrudin
seorang Analis Media Sosial di LSI Network dan penulis buku Global Warming memberikan tulisannya dalam dunia maya mengenai Dalai Lama, filosofinya sekaligus refleksinya bagi bangsa ini. Dengan dihadirkan tulisan ini kiranya mampu memberikan inspirasi lain bagaimana para pemimpin bangsa mengelola bangsa dan negaranya dengan mengedepankan kepentingan bersama di atas kepentingan sendiri dan mengarahkan pada perdamaian.

Asrudin-Analis Media Sosial di LSI Network dan penulis buku Global Warming
Ketika pemimpin negara-negara Afrika Utara dan Timur Tengah sibuk mengamankan kedudukannya akibat revolusi massa dan elit politik kita sibuk melakukan politik transaksional, pemimpin rakyat Tibet, Dalai Lama ke-14 (Tenzin Gyatso), justru mengumumkan rencana pengunduran dirinya sebagai pemimpin politik gerakan Tibet. Rencana pengunduran dirinya diumumkan dalam pidato pribadinya di Himalaya, Tibet, pada Kamis, 10 Maret 2011.

Dalam pidatonya, Lama mengimbau parlemen Tibet untuk segera mengubah konstitusi dan memilih perdana menteri baru. Lama akan melakukan perubahan yang membolehkannya mundur dari tanggung jawab politik pada pertemuan anggota parlemen Tibet di pengasingan Dharamsala (India Utara), bulan Maret ini.

Sejak awal 1960-an, Lama memang menghendaki Tibet menjadi sebuah negara yang demokratis. Lama menginginkan, pemimpin Tibet kelak adalah pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat. Karenanya keputusan Lama untuk mundur sebagai pemimpin politik Tibet adalah tepat dan benar jika dilihat dengan menggunakan kacamata demokrasi.


Keputusan Lama untuk mundur dari panggung politik adalah karena ia ingin fokus pada kegiatan-kegiatan spiritual saja. Ia ingin lepas dari kegiatan-kegiatan duniwai yang bersifat politis agar dirinya tidak terjebak pada hasrat kekuasaan semata.

Di tengah kebisingan politik dalam negeri, dimana para elit hanya sibuk memikirkan kekuasaan politik, mundurnya Lama tentu dapat menjadi cermin yang berharga bagaimana kita dapat melepaskan diri dari ego kekuasaan politik. Tulisan singkat ini berupaya untuk menyelami sosok Lama, dan apa yang dapat kita pelajari darinya tentang filosofi hidup kebajikan dan kepemimpinan politik.


Filosofi Dalai Lama


Meskipun Cina memandang Lama sebagai tokoh separatis berbahaya karena pemberontakan di Tibet pada 1959, tapi bagi para pengikutnya internasional, Lama dipercaya sebagai reinkarnasi ke-14 sang Budha.

Dalam wilayah spiritual dapat dikatakan bahwa sikap dan tingkah-laku Lama adalah perwujudan dari sikap dan tingkah laku Budha. Dalam ceramah dan pidatonya, Lama kerap melontarkan ajaran-ajaran Budha tentang perdamaian, seperti kedamaian batin dan kedamaian antarumat manusia.

Lama sangat membenci sifat pendendam, serakah, sirik, dan iri hati. Sesungguhnya, menurut Dalai Lama, sifat utama manusia itu adalah kelembutan. Memang Ilmu pengetahuan dan filsafat sering menggambarkan manusia sebagai sosok yang hanya mementingkan diri sendiri, tetapi sejarah juga mencatat bahwa manusia adalah mahluk yang peduli terhadap sesamanya. Sebagai contoh, musibah tsunami di Aceh dapat menggerakkan komunitas internasional untuk memberikan pertolongan. Ibarat bayi sebagai contoh mahluk sempurna umat manusia. Meskipun bayi dalam kehidupannya hanya memenuhi kebutuhan fisiologisnya, tetapi jika dilihat dari sudut pandang yang lain, Anda akan melihat kegembiraan yang diberikan si bayi kepada orang-orang disekitarnya. Bila kita melihat dunia ini bukan sebagai sesuatu yang agresif, dunia akan menjadi tempat yang aman dan damai bagi para penghuninya.


Untuk itu, Lama sering kali mengutarakan filosofinya tentang kebaikan dan tentang perdamaian,
”My philosophy is kindness. We live not to believe but to learn”, dan ”The love and compassion are the foundation for world peace at all levels”.

Filosofi Lama ini juga tampak dalam pernyataannya tentang agama, menurutnya ,“Agama itu sederhana. Tak butuh gereja, pura, masjid, kuil, wihara atau apapun yang disebut orang sebagai ‘rumah Tuhan’. Agama juga tak membutuhkan filsafat atau kitab-kitab yang serba canggih dan rumit. Sesungguhnyalah, akal dan nurani kita adalah rumah Tuhan yang sejati. Dan, filsafat dasarnya adalah kebajikan”.


Dalam wilayah politik, Lama juga dikenal sebagai sosok pemimpin yang bijak dan tidak haus akan kekuasaan. Mundurnya Lama dari panggung politik Tibet menunjukkan bahwa dirinya tak pernah sedikitpun berambisi untuk terus menjadi pemimpin politik di Tibet dan bahkan dia mendorong Tibet untuk menjadi sebuah Negara yang demokratis dimana rakyat dapat menentukan siapa nantinya yang akan menjadi wakil mereka di parlemen Tibet. Tujuan Lama untuk mundur dari panggung politik Tibet adalah agar dirinya dapat fokus untuk mengajarkan kebaikan bagi umat manusia dan tidak terjebak dalam nafsu kekuasaan politik semata.
Sudut pandang filosofi Lama ini sesungguhnya dapat kita pahami di luar doktrin Buddha, karena pada dasarnya semua ajaran agama adalah mengajarkan kebajikan. Tepatnya, kita tidak sepenuhnya memahami eksistensi kita, maka yang lebih penting adalah bersikap baik terhadap sesama dan menjadikan dunia ini sebagai tempat yang lebih baik untuk dihuni. Dengan perintah sederhana ini, kita tahu pasti bahwa kita tidak akan salah langkah
Sebuah gambaran yang sungguh mengesankan dari sosok seorang Dalai Lama. Ia mampu menyadari dirinya sebagai seorang pemimpin yang tidak haus akan kekuasaan. Ada beberapa hal yang kiranya sungguh menarik dapat kita pelajari dari sosok Dalai Lama ini. Yang pertama, menjadi pemimpin adalah sebuah pilihan hidup. Hal ini memiliki maksud bahwa ia sekarang menjadi pemimpin Negara sekaligus pemimpin spiritual. Merupakan suatu hal yang luar biasa jika seseorang merelakan pilihan hidupnya demi mengejar suatu nilai yang lebih tinggi yakni mengajarkan nilai kebenaran. Kepemimpinannya sebagai kepala pemerintahan ia relakan dengan memilih menjadi seorang pemimpin spiritual dengan sebuah harapan bahwa demokratisasi rakyat Tibet dapat tercapai. Ada banyak konsekuensi didalamnya atas keputusannya mengundurkan diri sebagai pemimpin Tibet. Yang kedua, seorang pemimpin adalah seorang yang mengemban amanat rakyat. Bukan menguasai menurut kehendaknya sendiri akan tetapi merelakan diri membawa banyak orang sampai pada kedamaian. Yang ketiga, kesadaran seorang pemimpin. Seorang pemimpin bukan mencari kekuasaan yang berarti menguasai yang menenggelamkan rakyat dalam kesengsaraan akan tetapi pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya.
Dengan demikian adalah sebuah gambaran kontradiksi yang ditawarkan dalam tulisan ini. Mencari sosok pemimpin yang tidak haus kekuasaan adalah tepat kiranya, sebagai wacana yang kerap dilontarkan dan sampai saat ini masih dalam proses mencari siapa?
Maka pembahasan kita mengenai Kediktatoran, kekerasan, kesengsaraan semakin memperoleh gambarannya bahwa sebuah pemerintahan yang didasarkan pada paham diktatorisme tidak sedikit akan berdampak pada kekerasan dan kesengsaraan rakyat. Maka hal ini sudah terbukti dalam sejarah panjang dunia.















BAB III
KESIMPULAN


Dengan pemaparan sekian banyak dalam tulisan ini akan semakin menjelaskan wacana yang ditawarkan bahwa kediktatoran adalah salah satu gaya kepemimpinan yang menurut sejarah banyak dialami oleh berbagai Negara dan tidak sedikit hasilnya adalah kesengsaraan. Oleh karena itu tawaran pandangan Pasifisme yang mengedepankan perdamaian menjadi wacana menuju demokrasi damai. Di sisi lain sosok pemimpin yang diktator dilawankan dengan Dalai Lama yang mengedepankan kebenaran, dan damai.
Apakah ini adalah sebuah idealisme pemikiran atau utopia dimana realisasinya hanyalah sebuah angan-angan masa depan? Barangkali memang benar namun bukan berarti tidak bisa hal itu diwujudnyatakan. Maka ini bukanlah sebuah wacana yang sungguh mutlak dalam memberi solusi akan tema ini tetapi salah satu inspirasi ke depan dari sebuah wacana kepemimpinan Negara. Sebab dalam sebuah pola kepeminpinan Negara, demokrasi sebagai sebuah paham sudah banyak dianut namun tetap memilki sisi positif dan negative. Sedangkan pasifisme dan kepemimpinan Dalai Lama hanyalah sekedar dorongan pada kedamaian Negara yang dibawa oleh pemimpin yang tidak berambisi dalam arti negatif.
Maka sebagai simpulan ini semua, kita bersama belajar akan diktatorisme yang terbukti membawa sikap kekerasan yang berakibat kesengsaraan rakyat. Mungkinkah pasifisme dan pola kepemimpinan Dalai lama diwujudkan sekarang ini? Mengingat problem seperti di Libya tidak kunjung berhenti apalagi intervensi dari Negara-negara tertentu membawa suasana kekerasan dalam pencapaian usaha damai.


DAFTAR PUSTAKA

1. http://dunia.vivanews.com/news/read/210780-ri-sesalkan-kekerasan-di-libya
2. http://id.wikipedia.org/wiki/Diktator
3. http://id.wikipedia.org/wiki/Pasifisme
4. ://suar.okezone.com/read/2011/03/20/58/436767/belajar-dari-dalai-lama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar