Minggu, 08 Mei 2011

Membangun Toleransi

MEMBANGUN BUDAYA TOLERANSI
BAB I

PENDAHULUAN

Negara dan bangsa Indonesia pernah digoncang oleh perpecahan yang berawal dari kemajemukan masyarakat. Di dalam kemajemukan itu ada kelompok-kelompok tertentu yang mau memisahkan diri dari negara kesatuan. Konflik-konflik tersebut dapat terjadi karena satu faktor perbedaan, misalnya faktor agama. Namun tidak jarang perpecahan itu disebabkan oleh beberapa faktor secara bersama, misalnya kerusuhan ras yang ditunjang oleh perbedaan kondisi ekonomi, agama, dan budaya. Cobalah kita renungkan mengapa terjadi peristiwa perkelahian, tawuran bahkan permusuhan antar etnis di negeri kita. Contoh di Aceh, peristiwa di Sampit, Sambas, Ambon dan lain-lainnya yang kalau ditulis sungguh memalukan dan memilukan hati dan perasaan kita. Dari contoh peristiwa yang tidak semuanya disebutkan itu, bagaimana menurut pendapat Anda? Pasti Anda tidak menghendaki peristiwa itu terjadi bukan? Karena peristiwa itu apapun alasannya yang pasti akan menghancurkan masa depan anak-anak bangsa, martabat serta harga diri bangsa. Kita tidak ingin bangsa Indonesia terpecah-pecah saling bermusuhan satu sama lain karena masalah agama. Kita ingin hidup tertib, aman, dan damai, saling menghormati dan saling menghargai agama dan keyakinan masing-masing. Untuk itu kita harus dapat menciptakan kehidupan umat beragama yang serasi, selaras, dan seimbang, sebagai umat beragama, sebagai masyarakat maupun warga negara.
Diera reformasi menuju Indonesia baru mari kita berupaya semakin meningkatkan kualitas hidup. Salah satunya adalah bagaimana seharusnya kita bina atau menjalin hubungan toleransi dengan benar. Kita perlu dan wajib membina dan menjalin kehidupan yang penuh dengan toleransi. Apalagi kita sebagai manusia, secara kodrat tidak bisa hidup sendiri. Hal ini berarti seseorang tidak hidup sendirian, tetapi ia berteman, bertetangga, bahkan ajaran agama mengatakan kita tidak boleh membedakan warna kulit, ras, dan golongan. Sikap dan perilaku toleransi dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, di manapun kita berada, baik di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, bahkan berbangsa dan bernegara.
Maka harus dikembangkan budaya toleransi, saling menghormati dan menghargai antar pemeluk. Semua pihak mesti meneguhkan dan mengembangkan sikap-sikap terbuka yang dapat menjadi pintu masuk untuk membangun pondasi keberagaman yang kuat untuk kesejahteraan semua umat. Kerjasama antar pemeluk sangat diperlukan.
BAB II
PEMBAHASAN

Belakangan ini marak berbagai bentuk tindak kekerasan sebagai wujud sikap intoleran terhadap sesama, yang berbeda agama, keyakinan dan suku. Tindak kekerasan terhadap kelompok Ahmadiah, pengrusakan gereja di Temanggung, bom buku, bom bunuh diri di Cirebon telah menodai rasa aman di ruang publik dan merusak kerukunan hidup bersama di tanah air kita. Situasi seperti ini harus menjadi keprihatinan semua warga Indonesia terlebih pihak-pihak yang bertanggungjawab dan patut dicermati secara jeli guna mengambil langkah-langkah bijak untuk pencegahan. Salah satu langkah bijak untuk mencegah segala bentuk tindakan intoleransi adalah membangun budaya toleransi. Membangun budaya toleransi itulah menjadi tema pembahasan dalam tulisan ini. Namun sebelum membahas tentang budaya toleransi, terlebih dahulu harus dibahas tentang budaya intoleransi.
Intoleransi sama seperti toleransi merupakan sikap manusia. Sikap dalam ilmu psikologi sosial diartikan sebagai suatu kecenderungan untuk berperilaku yang dipelajari dan sifatnya bertahan dalam relasi dengan obyek sosial tertentu. Krech D. dan Crutchfield R.S mendefinisikan sikap sebagai suatu sistem evaluasi positif atau negatif yang sifatnya bertahan, perasaan-perasaan dan kecenderungan-kecenderungan pro dan kontra terhadap obyek sosial tertentu (Sikap Manusia, Prof Dr. Mar’at, hal. 9). Dalam kerangka definisi sikap tersebut di atas, intoleransi dapat dipahami sebagai suatu kecenderungan manusia yang kontra terhadap objek sosial tertentu, dalam hal ini sesama manusia, karena dia berseberangan dalam eksistensinya.
Intoleransi sebagai suatu sikap mengandung tiga unsur atau aspek yakni aspek kognitif, aspek affektif, dan aspek psikomotoris. Sikap intoleransi dibangun berdasarkan evaluasi, pemahaman, keyakinan negatif seseorang terhadap orang dari kelompok lain. Pemahaman yang menyulut sikap intoleransi tidak hanya bersifat negatif, tetapi juga keliru. Pemahaman itu karena sifatnya negatif, akan membangkitkan emosi negatif (affektif) yakni rasa tidak senang, antipati, membenci dlsb dan pada gilirannya akan memicu kecenderungan berperilaku (psikomotoris) yang kontra terhadap orang tertentu berupa kekerasan dalam berbagai bentuk.
Intoleransi jelas terbentuk dari pemahaman negatif bahkan keliru yang diterima atau diindokrinasikan dalam diri seseorang. Pemahaman negatif dan keliru itu bisa berasal dari sebuah ideologi atau paham tertentu yang dicetuskan oleh orang tertentu. Pemahaman itu perlahan mengental dalam diri seseorang karena pengulangan dan penguatan yang dilakukan secara terus-menerus. Proses internalisasi seperti itu dapat berupa pencucian otak, sehingga otak orang itu hanya diisi oleh pemahaman yang diterimanya. Pemahaman negatif tentang kelompok tertentu yang berbasis agama atau kepercayaan atau suku tertentu seperti misalnya dianggap kafir dan dikutuk oleh Allah, pasti akan mengobarkan perasaan benci dan menyulut tindak kekerasan terhadap orang-orang dari kelompok yang dibenci itu.
Tindakan intoleran kalau dibiarkan, akan dianggap biasa. Lalu lahirlah budaya intoleransi. Bila intoleransi sudah menjadi budaya, maka upaya untuk membasminya menjadi mustahil. Budaya intoleransi termasuk budaya kematian, karena intoleransi membuahkan kematian pada keolompok tertentu, agama atau keyakinan tertentu. Agama atau keyakinan lain dilihat sebagai momok atau musuh yang harus diganyang dan tidak bisa diberi tempat untuk boleh berada di bumi manusia ini. Jelas, budaya intoleransi bertentangan dengan hak asasi manusia, karena setiap orang dari kodratnya berhak untuk memilih dan menghayati agama atau keyakinannya. Hak asasi itu dijamin oleh konstitusi bahkan oleh piagam PBB. Karena itu budaya intoleransi tidak boleh ditolerir.
Setelah dijabarkan mengenai budaya intoleransi maka kita juga perlu memahami apa itu budaya toleransi. Toleransi berasal dari bahasa Latin yakni dari kata kerja tolerare yang berati membiarkan, menyabarkan. Dari kosa kata bahasa Latin itulah lahir kata toleransi. Tentu saja toleransi yang dibangun menjadi satu budaya tidak dalam arti sempit seperti itu yakni hanya sekedar membiarkan orang lain, kelompok lain, agama atau keyakinan lain berada di bumi manusia ini. Menurut Frans Magnis Suseno, “Toleransi bukan dalam arti asal membiarkan saja, melainkan sebagai penerimaan tulus terhadap saudara dalam kekhasannya, bahkan dalam kelainannya. Baru itu toleransi, di mana kita menerima yang lain sebagai yang lain.” ( Menggalang Persatuan Indonesia Baru, hal 57).
Toleransi dalam arti seperti itu oleh Magnis Suseno dimaksudkan sebagai toleransi positif. Toleransi positif menghormati pihak lain dalam kekhasannya, dalam identitas mereka, dalam kelainan mereka. Kita tidak beriman sama. Kita tidak meyakini hal-hal yang paling khas bagi mereka, tetapi kita menghormati mereka. Kita menerima bahwa mereka dengan jujur meyakini sesuatu yang tidak mungkin kita yakini. Dalam hal ini kita sadar bahwa Allah Bapa kita jauh lebih agung dan luas daripada hati kita dan kita menyerahkan kepada Allah bagaimana Ia memandang saudara-saudara yang berlainan agamanya.
Dasar dari sikap toleransi adalah anggapan atau keyakinan bahwa keberagaman (pluriformitas) adalah ciptaan dan karunia Tuhan yang patut kita syukuri. Seandainya Tuhan tidak menghendaki adanya keberagaman, sudah lama dibasmi oleh Tuhan atau tidak akan diciptakan. Kenyataan lain yang tak dapat diingkari adalah tidak seorang pun sebelum lahir ke dunia, diminta untuk memilih suku, agama atau keyakinan yang akan dianuti sesudah kelahiran. Setiap orang menerima apa yang sudah diberikan Tuhan kepadanya. Keberagaman adalah suatu keniscayaan yang harus diterima setiap penghuni bumi ini. Kalau keyakinan dasar ini bisa diterima dan dihayati semua orang, orang akan saling menghargai dan mengasihi. Orang yang berbeda bukan musuh tetapi adalah saudara dalam keluarga Allah.
Hak untuk berbeda dalam eksistensi bukan suatu pemberian dari seseorang, tetapi melekat pada kodrat manusia itu sendiri atau dengan kata lain merupakan pemberian Tuhan. Karena itu mau tidak mau hak untuk berbeda harus diakui dan dihargai oleh setiap orang. Sebab itu budaya intoleransi merupakan suatu pengingkaran terhadap kodrat manusia. Budaya intoleransi dengan demikian merupakan suatu bentuk alienasi dari diri sendiri, karena sadar atau tidak sadar seseorang telah mengingkari apa yang melekat pada dirinya.
Budaya toleransi terbentuk dari rangkaian kebiasaan berperilaku yang mengkristalkan sikap saling menghargai dan mengasihi di antara orang-orang dengan latar belakang pluriformistis. Sudah pasti membangun budaya toleransi membutuhkan sebuah proses yang kadang memakan waktu yang cukup panjang. Hal terpenting dalam membangun budaya toleransi adalah menularkan perilaku saling menghargai dan mengasihi di tengah masyarakat Indonesia yang beranekaragam ini.
Intoleransi dan toleransi dibangun berdasarkan keyakinan atau pemahaman yang diperoleh seseorang dan diinternalisir dalam dirinya. Karena itu hal terpenting yang harus diupayakan dalam membangun budaya toleransi adalah mentransferkan pemahaman atau keyakinan yang benar dan positif tentang keanekaan manusia yakni sebagai suatu anugerah Tuhan yang membuat bumi ini indah untuk dihuni bersama. Keanekaragaman umat manusia dalam berbagai aspek seperti suku, agama dan keyakinan harus dipandang sebagai aneka kembang warna-warni yang membuat bumi ini menjadi sebuah taman yang luar biasa indah bagi umat manusia.
Dari berbagai aspek keanekaragaman itu agama merupakan unsur yang sangat sensitif dan mudah menyulut perasaan negatif terhadap kelompok agama lain. Karena itu toleransi positif harus dibangun terutama dalam konteks keragaman agama. Para pemuka agama harus menanamkan pandangan yang positif terhadap agama-agama di dunia dalam diri setiap umatnya sejak dini. Untuk itu dibutuhkan suatu pembaharuan pandangan terhadap agama-agama di dunia. Gereja Katolik sejak Konsili Vatikan II telah mencanangkan perubahan sikap terhadap agama-agama non Kristen di dunia. “Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkan sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang.” (Nostra Aetate, Dokumen Konsili Vatikan II, hal. 311). Perubahan serupa diharapkan diembuskan dalam semua agama di dunia. Sehingga tidak ada pemeluk agama yang mengkafirkan pemeluk agama yang lain.
Perubahan pandangan terhadap agama lain dan pemeluknya harus ditanamkan sejak usia dini mulai dari keluarga dan berlanjut dalam pendidikan formal sejak TK. Perubahan pandangan itu harus dimantapkan dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat. Para pemuka dan tokoh agama diharapkan memainkan peran strategis sebagai agen perubahan itu lewat mimbar resmi maupun tak resmi di tengah masyarakat.
Perubahan pandangan itu harus diperkuat dengan perilaku yang mendukung. Umat beragama harus berupaya untuk saling mengenal dengan mengadakan silahturahmi kepada saudara-saudara dari agama lain. Misalnya, pada hari raya agama tertentu. Pada hari raya Idulfitri umat non islam bersilahturahmi kepada saudara-saudara umat muslim. Sebaliknya pada hari raya Natal umat muslim dan non Kristen lain bersilahturahmi kepada saudara-saudara yang beragama Kristen. Perilaku kunjung mengunjung seperti itu kiranya tidak hanya terbatas pada hari raya, tetapi juga bilamana tetangga yang beragama lain mengalami duka atau kemalangan atau acara-acara lainnya. Budaya silahturahmi kiranya melahirkan belarasa dengan sesama tanpa peduli latar belakang agama dan sukunya.
Selain perilaku seperti saling mengunjungi, dapat diadakan dialog iman di antara umat yang berbeda agama. Dalam dialog iman setiap orang diajak untuk mensharingkan atau membagikan kekayaan pengalaman imannya kepada yang lain. Dengan demikian orang boleh berbeda agama tetapi dapat bersatu dalam iman. Karena sesungguhnya kita mengimani Allah yang sama sebagai Bapa dari semua orang beriman, yang mengasihi semua orang, tidak hanya orang baik tetapi juga orang jahat (Mt. 5: 45). Dialog iman memperluas wawasan iman seseorang. Teologi yang dianuti pun dapat diperkaya. Allah diyakini sebagai Bapa yang kasih-Nya tak terbatas. Dialah yang menciptakan semua umat manusia di dunia dengan keanekaragamannya. Allah adalah Bapa dari semua orang dan semua orang adalah saudara. Dialog iman memberikan pencerahan kepada semua umat beragama untuk melihat umat beragama lain sebagai saudara. “Manusia adalah umat yang satu” al-Quran II:213 (Johan Effendy, Menggalang Persatuan Indonesia Baru, hal. 44).
Dialog iman harus didukung juga dengan dialog kehidupan. Dialog kehidupan merupakan penerjemahan atau penghayatan iman dalam kehidupan. Dalam dialog kehidupan orang berjumpa untuk saling berbagi kasih, kebaikan, suka dan duka. Dialog kehidupan dapat dilakukan ketika terjadi bencana alam seperti banjir atau gunung meletus sebagaimana ketika gunung Merapi meletus. Di saat seperti itu sekat-sekat agama yang sering memisahkan umat beragama tersingkir secara spontan. Dan tampillah manusia dalam kehakikiannya tanpa sekat-sekat keragaman yang memisahkan. Itulah fitrah dasar kita umat manusia yang harus menjadi mimpi kita bersama. Dialog kehidupan tidak harus menunggu sampai terjadi suatu bencana bersama atau musuh bersama, tetapi harus terjadi dalam keseharian hidup lewat hal kecil atau yang biasa. Kalau ada tetangga yang sakit atau punya hajatan, orang dapat ikut berbagi untuk saling membantu. Lewat dialog kehidupan dalam keseharian perlahan menghapus sekat-sekat pemisahan dan akan menyuburkan budaya toleransi di antara umat manusia.
Perubahan pandangan tentang keragaman dan perilaku yang mengikutinya, harus dilakukan berulang-ulang sampai tertanam kuat dalam diri setiap umat beragama dan menjadi kebiasaan. Hidup bersama dengan orang lain dalam perbedaannya diterima sebagai suatu keniscayaan yang tidak lagi dipermasalahkan, karena tidak berpotensi mewnimbulkan masalah. Maka lahirlah budaya toleransi. Tentu saja harus dicamkan bahwa budaya toleransi membutuhkan suatu proses yang panjang. Karena itu dibutuhkan ketekunan dan komitmen untuk berbuat member kontribusi bagi mantapnya budaya toleransi. Ada sebuah ungkapan mengatakan, “Daripada mengutuki kegelapan, lebih baik menyalakan sebatang lilin”. Senada dengan itu dapat dikatakan juga, “Daripada mengutuki budaya intoleransi, lebih baik melakukan satu hal kecil untuk untuk membangun budaya toleransi.














BAB III
KESIMPULAN

Keberagaman adalah anugerah yang bersifat kodrati. Ia adalah sebuah keniscayaan yang pasti akan terjadi di dalam kehidupan sekitar walau sekeras apapun masyarakat menentang. Sungguh, betapa indahnya hidup damai dalam keberagaman, namun di era reformasai keragaman atau kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban, hal ini terlihat dari munculnya berbagai masalah yang sumbernya berbau keragamanan, khusunya bidang agama. Agama yang seharusnya menjadi solusi atas berbagai masalah sosial, justru memicu timbunya masalah sosial.
Untuk mencegah dan menanggulangi berbagai permasalahan sosial perlu dibangun dan dikembangkan toleransi dalam kehidupan pada masyarakat majemuk. Untuk membangunn budaya toleransi perlu adanya dialog antar umat beragama dimana masing-masing bisa saling menghargai dan menghormati perbedaan diantara mereka. Dengan berkembangnya budaya toleransi maka akan terjalinnya hubungan antar anggota dari berbagai kelompok, hal ini dapat menetralisir terjadinya konflik-konflik sosial dan tidak khawatir akan terjadinya fanatisme sempit serta sentiment yang bersifat primordial
Keanekaragaman itu bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan. Dari perbedaan-perbedaan itu seharusnya kita memiliki tujuan dan cita-cita perjuangan yang sama, yaitu mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual tentram dan damai berdasarkan Pancasila. Apalagi situasi negara kita sedang menata kehidupan yang lebih baik, melakukan reformasi di semua bidang menuju Indonesia Baru yang demokratis adil dan makmur serta berkedaulatan rakyat. Hal seperti ini sangat diperlukan kesadaran bertoleransi yang tinggi untuk saling menghargai guna menciptakan kehidupan yang tenteram dan damai.
Indahnya bumi ini untuk dihuni bersama tidak datang dari langit, tapi harus diupayakan bersama oleh semua penghuni bumi dengan latar belakang yang sangat beraneka. Itu berarti memberi kontribusi guna terciptanya sebuah bumi baru yang lebih indah bukan lagi merupakan suatu pilihan tetapi suatu keharusan. Bumi ini akan menjadi firdaus atau neraka tergantung pada setiap penghuninya. Karena itu membangun budaya toleransi merupakan pilihan yang tidak bisa ditawar-tawar dan menuntut komitmen total dari semua orang. Semoga firdaus yang hilang akan ditemukan kembali dalam kebersamaan hidup yang penuh toleransi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mar’at Dr, Prof, Sikap Manusia Perubahan serta Pengukurannya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981.
2. Widyahadi Seputra et al (ed), Menggalang persatuan Indonesia Baru, Komisi PSE/APP, Jakarta, 2000.
3. Hardawiryana, R, SJ, Dokumen Konsili Vatikan II (terj), OBOR, Jakarta, 1993
4. Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1981.

http://elcom.umy.ac.id/elschool/muallimin_muhammadiyah/file.php/1/materi/PPKn/TOLERANSI.pdf



MEMBANGUN BUDAYA TOLERANSI
BAB I

PENDAHULUAN

Negara dan bangsa Indonesia pernah digoncang oleh perpecahan yang berawal dari kemajemukan masyarakat. Di dalam kemajemukan itu ada kelompok-kelompok tertentu yang mau memisahkan diri dari negara kesatuan. Konflik-konflik tersebut dapat terjadi karena satu faktor perbedaan, misalnya faktor agama. Namun tidak jarang perpecahan itu disebabkan oleh beberapa faktor secara bersama, misalnya kerusuhan ras yang ditunjang oleh perbedaan kondisi ekonomi, agama, dan budaya. Cobalah kita renungkan mengapa terjadi peristiwa perkelahian, tawuran bahkan permusuhan antar etnis di negeri kita. Contoh di Aceh, peristiwa di Sampit, Sambas, Ambon dan lain-lainnya yang kalau ditulis sungguh memalukan dan memilukan hati dan perasaan kita. Dari contoh peristiwa yang tidak semuanya disebutkan itu, bagaimana menurut pendapat Anda? Pasti Anda tidak menghendaki peristiwa itu terjadi bukan? Karena peristiwa itu apapun alasannya yang pasti akan menghancurkan masa depan anak-anak bangsa, martabat serta harga diri bangsa. Kita tidak ingin bangsa Indonesia terpecah-pecah saling bermusuhan satu sama lain karena masalah agama. Kita ingin hidup tertib, aman, dan damai, saling menghormati dan saling menghargai agama dan keyakinan masing-masing. Untuk itu kita harus dapat menciptakan kehidupan umat beragama yang serasi, selaras, dan seimbang, sebagai umat beragama, sebagai masyarakat maupun warga negara.
Diera reformasi menuju Indonesia baru mari kita berupaya semakin meningkatkan kualitas hidup. Salah satunya adalah bagaimana seharusnya kita bina atau menjalin hubungan toleransi dengan benar. Kita perlu dan wajib membina dan menjalin kehidupan yang penuh dengan toleransi. Apalagi kita sebagai manusia, secara kodrat tidak bisa hidup sendiri. Hal ini berarti seseorang tidak hidup sendirian, tetapi ia berteman, bertetangga, bahkan ajaran agama mengatakan kita tidak boleh membedakan warna kulit, ras, dan golongan. Sikap dan perilaku toleransi dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, di manapun kita berada, baik di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, bahkan berbangsa dan bernegara.
Maka harus dikembangkan budaya toleransi, saling menghormati dan menghargai antar pemeluk. Semua pihak mesti meneguhkan dan mengembangkan sikap-sikap terbuka yang dapat menjadi pintu masuk untuk membangun pondasi keberagaman yang kuat untuk kesejahteraan semua umat. Kerjasama antar pemeluk sangat diperlukan.
BAB II
PEMBAHASAN

Belakangan ini marak berbagai bentuk tindak kekerasan sebagai wujud sikap intoleran terhadap sesama, yang berbeda agama, keyakinan dan suku. Tindak kekerasan terhadap kelompok Ahmadiah, pengrusakan gereja di Temanggung, bom buku, bom bunuh diri di Cirebon telah menodai rasa aman di ruang publik dan merusak kerukunan hidup bersama di tanah air kita. Situasi seperti ini harus menjadi keprihatinan semua warga Indonesia terlebih pihak-pihak yang bertanggungjawab dan patut dicermati secara jeli guna mengambil langkah-langkah bijak untuk pencegahan. Salah satu langkah bijak untuk mencegah segala bentuk tindakan intoleransi adalah membangun budaya toleransi. Membangun budaya toleransi itulah menjadi tema pembahasan dalam tulisan ini. Namun sebelum membahas tentang budaya toleransi, terlebih dahulu harus dibahas tentang budaya intoleransi.
Intoleransi sama seperti toleransi merupakan sikap manusia. Sikap dalam ilmu psikologi sosial diartikan sebagai suatu kecenderungan untuk berperilaku yang dipelajari dan sifatnya bertahan dalam relasi dengan obyek sosial tertentu. Krech D. dan Crutchfield R.S mendefinisikan sikap sebagai suatu sistem evaluasi positif atau negatif yang sifatnya bertahan, perasaan-perasaan dan kecenderungan-kecenderungan pro dan kontra terhadap obyek sosial tertentu (Sikap Manusia, Prof Dr. Mar’at, hal. 9). Dalam kerangka definisi sikap tersebut di atas, intoleransi dapat dipahami sebagai suatu kecenderungan manusia yang kontra terhadap objek sosial tertentu, dalam hal ini sesama manusia, karena dia berseberangan dalam eksistensinya.
Intoleransi sebagai suatu sikap mengandung tiga unsur atau aspek yakni aspek kognitif, aspek affektif, dan aspek psikomotoris. Sikap intoleransi dibangun berdasarkan evaluasi, pemahaman, keyakinan negatif seseorang terhadap orang dari kelompok lain. Pemahaman yang menyulut sikap intoleransi tidak hanya bersifat negatif, tetapi juga keliru. Pemahaman itu karena sifatnya negatif, akan membangkitkan emosi negatif (affektif) yakni rasa tidak senang, antipati, membenci dlsb dan pada gilirannya akan memicu kecenderungan berperilaku (psikomotoris) yang kontra terhadap orang tertentu berupa kekerasan dalam berbagai bentuk.
Intoleransi jelas terbentuk dari pemahaman negatif bahkan keliru yang diterima atau diindokrinasikan dalam diri seseorang. Pemahaman negatif dan keliru itu bisa berasal dari sebuah ideologi atau paham tertentu yang dicetuskan oleh orang tertentu. Pemahaman itu perlahan mengental dalam diri seseorang karena pengulangan dan penguatan yang dilakukan secara terus-menerus. Proses internalisasi seperti itu dapat berupa pencucian otak, sehingga otak orang itu hanya diisi oleh pemahaman yang diterimanya. Pemahaman negatif tentang kelompok tertentu yang berbasis agama atau kepercayaan atau suku tertentu seperti misalnya dianggap kafir dan dikutuk oleh Allah, pasti akan mengobarkan perasaan benci dan menyulut tindak kekerasan terhadap orang-orang dari kelompok yang dibenci itu.
Tindakan intoleran kalau dibiarkan, akan dianggap biasa. Lalu lahirlah budaya intoleransi. Bila intoleransi sudah menjadi budaya, maka upaya untuk membasminya menjadi mustahil. Budaya intoleransi termasuk budaya kematian, karena intoleransi membuahkan kematian pada keolompok tertentu, agama atau keyakinan tertentu. Agama atau keyakinan lain dilihat sebagai momok atau musuh yang harus diganyang dan tidak bisa diberi tempat untuk boleh berada di bumi manusia ini. Jelas, budaya intoleransi bertentangan dengan hak asasi manusia, karena setiap orang dari kodratnya berhak untuk memilih dan menghayati agama atau keyakinannya. Hak asasi itu dijamin oleh konstitusi bahkan oleh piagam PBB. Karena itu budaya intoleransi tidak boleh ditolerir.
Setelah dijabarkan mengenai budaya intoleransi maka kita juga perlu memahami apa itu budaya toleransi. Toleransi berasal dari bahasa Latin yakni dari kata kerja tolerare yang berati membiarkan, menyabarkan. Dari kosa kata bahasa Latin itulah lahir kata toleransi. Tentu saja toleransi yang dibangun menjadi satu budaya tidak dalam arti sempit seperti itu yakni hanya sekedar membiarkan orang lain, kelompok lain, agama atau keyakinan lain berada di bumi manusia ini. Menurut Frans Magnis Suseno, “Toleransi bukan dalam arti asal membiarkan saja, melainkan sebagai penerimaan tulus terhadap saudara dalam kekhasannya, bahkan dalam kelainannya. Baru itu toleransi, di mana kita menerima yang lain sebagai yang lain.” ( Menggalang Persatuan Indonesia Baru, hal 57).
Toleransi dalam arti seperti itu oleh Magnis Suseno dimaksudkan sebagai toleransi positif. Toleransi positif menghormati pihak lain dalam kekhasannya, dalam identitas mereka, dalam kelainan mereka. Kita tidak beriman sama. Kita tidak meyakini hal-hal yang paling khas bagi mereka, tetapi kita menghormati mereka. Kita menerima bahwa mereka dengan jujur meyakini sesuatu yang tidak mungkin kita yakini. Dalam hal ini kita sadar bahwa Allah Bapa kita jauh lebih agung dan luas daripada hati kita dan kita menyerahkan kepada Allah bagaimana Ia memandang saudara-saudara yang berlainan agamanya.
Dasar dari sikap toleransi adalah anggapan atau keyakinan bahwa keberagaman (pluriformitas) adalah ciptaan dan karunia Tuhan yang patut kita syukuri. Seandainya Tuhan tidak menghendaki adanya keberagaman, sudah lama dibasmi oleh Tuhan atau tidak akan diciptakan. Kenyataan lain yang tak dapat diingkari adalah tidak seorang pun sebelum lahir ke dunia, diminta untuk memilih suku, agama atau keyakinan yang akan dianuti sesudah kelahiran. Setiap orang menerima apa yang sudah diberikan Tuhan kepadanya. Keberagaman adalah suatu keniscayaan yang harus diterima setiap penghuni bumi ini. Kalau keyakinan dasar ini bisa diterima dan dihayati semua orang, orang akan saling menghargai dan mengasihi. Orang yang berbeda bukan musuh tetapi adalah saudara dalam keluarga Allah.
Hak untuk berbeda dalam eksistensi bukan suatu pemberian dari seseorang, tetapi melekat pada kodrat manusia itu sendiri atau dengan kata lain merupakan pemberian Tuhan. Karena itu mau tidak mau hak untuk berbeda harus diakui dan dihargai oleh setiap orang. Sebab itu budaya intoleransi merupakan suatu pengingkaran terhadap kodrat manusia. Budaya intoleransi dengan demikian merupakan suatu bentuk alienasi dari diri sendiri, karena sadar atau tidak sadar seseorang telah mengingkari apa yang melekat pada dirinya.
Budaya toleransi terbentuk dari rangkaian kebiasaan berperilaku yang mengkristalkan sikap saling menghargai dan mengasihi di antara orang-orang dengan latar belakang pluriformistis. Sudah pasti membangun budaya toleransi membutuhkan sebuah proses yang kadang memakan waktu yang cukup panjang. Hal terpenting dalam membangun budaya toleransi adalah menularkan perilaku saling menghargai dan mengasihi di tengah masyarakat Indonesia yang beranekaragam ini.
Intoleransi dan toleransi dibangun berdasarkan keyakinan atau pemahaman yang diperoleh seseorang dan diinternalisir dalam dirinya. Karena itu hal terpenting yang harus diupayakan dalam membangun budaya toleransi adalah mentransferkan pemahaman atau keyakinan yang benar dan positif tentang keanekaan manusia yakni sebagai suatu anugerah Tuhan yang membuat bumi ini indah untuk dihuni bersama. Keanekaragaman umat manusia dalam berbagai aspek seperti suku, agama dan keyakinan harus dipandang sebagai aneka kembang warna-warni yang membuat bumi ini menjadi sebuah taman yang luar biasa indah bagi umat manusia.
Dari berbagai aspek keanekaragaman itu agama merupakan unsur yang sangat sensitif dan mudah menyulut perasaan negatif terhadap kelompok agama lain. Karena itu toleransi positif harus dibangun terutama dalam konteks keragaman agama. Para pemuka agama harus menanamkan pandangan yang positif terhadap agama-agama di dunia dalam diri setiap umatnya sejak dini. Untuk itu dibutuhkan suatu pembaharuan pandangan terhadap agama-agama di dunia. Gereja Katolik sejak Konsili Vatikan II telah mencanangkan perubahan sikap terhadap agama-agama non Kristen di dunia. “Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkan sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang.” (Nostra Aetate, Dokumen Konsili Vatikan II, hal. 311). Perubahan serupa diharapkan diembuskan dalam semua agama di dunia. Sehingga tidak ada pemeluk agama yang mengkafirkan pemeluk agama yang lain.
Perubahan pandangan terhadap agama lain dan pemeluknya harus ditanamkan sejak usia dini mulai dari keluarga dan berlanjut dalam pendidikan formal sejak TK. Perubahan pandangan itu harus dimantapkan dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat. Para pemuka dan tokoh agama diharapkan memainkan peran strategis sebagai agen perubahan itu lewat mimbar resmi maupun tak resmi di tengah masyarakat.
Perubahan pandangan itu harus diperkuat dengan perilaku yang mendukung. Umat beragama harus berupaya untuk saling mengenal dengan mengadakan silahturahmi kepada saudara-saudara dari agama lain. Misalnya, pada hari raya agama tertentu. Pada hari raya Idulfitri umat non islam bersilahturahmi kepada saudara-saudara umat muslim. Sebaliknya pada hari raya Natal umat muslim dan non Kristen lain bersilahturahmi kepada saudara-saudara yang beragama Kristen. Perilaku kunjung mengunjung seperti itu kiranya tidak hanya terbatas pada hari raya, tetapi juga bilamana tetangga yang beragama lain mengalami duka atau kemalangan atau acara-acara lainnya. Budaya silahturahmi kiranya melahirkan belarasa dengan sesama tanpa peduli latar belakang agama dan sukunya.
Selain perilaku seperti saling mengunjungi, dapat diadakan dialog iman di antara umat yang berbeda agama. Dalam dialog iman setiap orang diajak untuk mensharingkan atau membagikan kekayaan pengalaman imannya kepada yang lain. Dengan demikian orang boleh berbeda agama tetapi dapat bersatu dalam iman. Karena sesungguhnya kita mengimani Allah yang sama sebagai Bapa dari semua orang beriman, yang mengasihi semua orang, tidak hanya orang baik tetapi juga orang jahat (Mt. 5: 45). Dialog iman memperluas wawasan iman seseorang. Teologi yang dianuti pun dapat diperkaya. Allah diyakini sebagai Bapa yang kasih-Nya tak terbatas. Dialah yang menciptakan semua umat manusia di dunia dengan keanekaragamannya. Allah adalah Bapa dari semua orang dan semua orang adalah saudara. Dialog iman memberikan pencerahan kepada semua umat beragama untuk melihat umat beragama lain sebagai saudara. “Manusia adalah umat yang satu” al-Quran II:213 (Johan Effendy, Menggalang Persatuan Indonesia Baru, hal. 44).
Dialog iman harus didukung juga dengan dialog kehidupan. Dialog kehidupan merupakan penerjemahan atau penghayatan iman dalam kehidupan. Dalam dialog kehidupan orang berjumpa untuk saling berbagi kasih, kebaikan, suka dan duka. Dialog kehidupan dapat dilakukan ketika terjadi bencana alam seperti banjir atau gunung meletus sebagaimana ketika gunung Merapi meletus. Di saat seperti itu sekat-sekat agama yang sering memisahkan umat beragama tersingkir secara spontan. Dan tampillah manusia dalam kehakikiannya tanpa sekat-sekat keragaman yang memisahkan. Itulah fitrah dasar kita umat manusia yang harus menjadi mimpi kita bersama. Dialog kehidupan tidak harus menunggu sampai terjadi suatu bencana bersama atau musuh bersama, tetapi harus terjadi dalam keseharian hidup lewat hal kecil atau yang biasa. Kalau ada tetangga yang sakit atau punya hajatan, orang dapat ikut berbagi untuk saling membantu. Lewat dialog kehidupan dalam keseharian perlahan menghapus sekat-sekat pemisahan dan akan menyuburkan budaya toleransi di antara umat manusia.
Perubahan pandangan tentang keragaman dan perilaku yang mengikutinya, harus dilakukan berulang-ulang sampai tertanam kuat dalam diri setiap umat beragama dan menjadi kebiasaan. Hidup bersama dengan orang lain dalam perbedaannya diterima sebagai suatu keniscayaan yang tidak lagi dipermasalahkan, karena tidak berpotensi mewnimbulkan masalah. Maka lahirlah budaya toleransi. Tentu saja harus dicamkan bahwa budaya toleransi membutuhkan suatu proses yang panjang. Karena itu dibutuhkan ketekunan dan komitmen untuk berbuat member kontribusi bagi mantapnya budaya toleransi. Ada sebuah ungkapan mengatakan, “Daripada mengutuki kegelapan, lebih baik menyalakan sebatang lilin”. Senada dengan itu dapat dikatakan juga, “Daripada mengutuki budaya intoleransi, lebih baik melakukan satu hal kecil untuk untuk membangun budaya toleransi.














BAB III
KESIMPULAN

Keberagaman adalah anugerah yang bersifat kodrati. Ia adalah sebuah keniscayaan yang pasti akan terjadi di dalam kehidupan sekitar walau sekeras apapun masyarakat menentang. Sungguh, betapa indahnya hidup damai dalam keberagaman, namun di era reformasai keragaman atau kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban, hal ini terlihat dari munculnya berbagai masalah yang sumbernya berbau keragamanan, khusunya bidang agama. Agama yang seharusnya menjadi solusi atas berbagai masalah sosial, justru memicu timbunya masalah sosial.
Untuk mencegah dan menanggulangi berbagai permasalahan sosial perlu dibangun dan dikembangkan toleransi dalam kehidupan pada masyarakat majemuk. Untuk membangunn budaya toleransi perlu adanya dialog antar umat beragama dimana masing-masing bisa saling menghargai dan menghormati perbedaan diantara mereka. Dengan berkembangnya budaya toleransi maka akan terjalinnya hubungan antar anggota dari berbagai kelompok, hal ini dapat menetralisir terjadinya konflik-konflik sosial dan tidak khawatir akan terjadinya fanatisme sempit serta sentiment yang bersifat primordial
Keanekaragaman itu bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan. Dari perbedaan-perbedaan itu seharusnya kita memiliki tujuan dan cita-cita perjuangan yang sama, yaitu mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual tentram dan damai berdasarkan Pancasila. Apalagi situasi negara kita sedang menata kehidupan yang lebih baik, melakukan reformasi di semua bidang menuju Indonesia Baru yang demokratis adil dan makmur serta berkedaulatan rakyat. Hal seperti ini sangat diperlukan kesadaran bertoleransi yang tinggi untuk saling menghargai guna menciptakan kehidupan yang tenteram dan damai.
Indahnya bumi ini untuk dihuni bersama tidak datang dari langit, tapi harus diupayakan bersama oleh semua penghuni bumi dengan latar belakang yang sangat beraneka. Itu berarti memberi kontribusi guna terciptanya sebuah bumi baru yang lebih indah bukan lagi merupakan suatu pilihan tetapi suatu keharusan. Bumi ini akan menjadi firdaus atau neraka tergantung pada setiap penghuninya. Karena itu membangun budaya toleransi merupakan pilihan yang tidak bisa ditawar-tawar dan menuntut komitmen total dari semua orang. Semoga firdaus yang hilang akan ditemukan kembali dalam kebersamaan hidup yang penuh toleransi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mar’at Dr, Prof, Sikap Manusia Perubahan serta Pengukurannya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981.
2. Widyahadi Seputra et al (ed), Menggalang persatuan Indonesia Baru, Komisi PSE/APP, Jakarta, 2000.
3. Hardawiryana, R, SJ, Dokumen Konsili Vatikan II (terj), OBOR, Jakarta, 1993
4. Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1981.

http://elcom.umy.ac.id/elschool/muallimin_muhammadiyah/file.php/1/materi/PPKn/TOLERANSI.pdf


MEMBANGUN BUDAYA TOLERANSI
BAB I

PENDAHULUAN

Negara dan bangsa Indonesia pernah digoncang oleh perpecahan yang berawal dari kemajemukan masyarakat. Di dalam kemajemukan itu ada kelompok-kelompok tertentu yang mau memisahkan diri dari negara kesatuan. Konflik-konflik tersebut dapat terjadi karena satu faktor perbedaan, misalnya faktor agama. Namun tidak jarang perpecahan itu disebabkan oleh beberapa faktor secara bersama, misalnya kerusuhan ras yang ditunjang oleh perbedaan kondisi ekonomi, agama, dan budaya. Cobalah kita renungkan mengapa terjadi peristiwa perkelahian, tawuran bahkan permusuhan antar etnis di negeri kita. Contoh di Aceh, peristiwa di Sampit, Sambas, Ambon dan lain-lainnya yang kalau ditulis sungguh memalukan dan memilukan hati dan perasaan kita. Dari contoh peristiwa yang tidak semuanya disebutkan itu, bagaimana menurut pendapat Anda? Pasti Anda tidak menghendaki peristiwa itu terjadi bukan? Karena peristiwa itu apapun alasannya yang pasti akan menghancurkan masa depan anak-anak bangsa, martabat serta harga diri bangsa. Kita tidak ingin bangsa Indonesia terpecah-pecah saling bermusuhan satu sama lain karena masalah agama. Kita ingin hidup tertib, aman, dan damai, saling menghormati dan saling menghargai agama dan keyakinan masing-masing. Untuk itu kita harus dapat menciptakan kehidupan umat beragama yang serasi, selaras, dan seimbang, sebagai umat beragama, sebagai masyarakat maupun warga negara.
Diera reformasi menuju Indonesia baru mari kita berupaya semakin meningkatkan kualitas hidup. Salah satunya adalah bagaimana seharusnya kita bina atau menjalin hubungan toleransi dengan benar. Kita perlu dan wajib membina dan menjalin kehidupan yang penuh dengan toleransi. Apalagi kita sebagai manusia, secara kodrat tidak bisa hidup sendiri. Hal ini berarti seseorang tidak hidup sendirian, tetapi ia berteman, bertetangga, bahkan ajaran agama mengatakan kita tidak boleh membedakan warna kulit, ras, dan golongan. Sikap dan perilaku toleransi dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, di manapun kita berada, baik di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, bahkan berbangsa dan bernegara.
Maka harus dikembangkan budaya toleransi, saling menghormati dan menghargai antar pemeluk. Semua pihak mesti meneguhkan dan mengembangkan sikap-sikap terbuka yang dapat menjadi pintu masuk untuk membangun pondasi keberagaman yang kuat untuk kesejahteraan semua umat. Kerjasama antar pemeluk sangat diperlukan.
BAB II
PEMBAHASAN

Belakangan ini marak berbagai bentuk tindak kekerasan sebagai wujud sikap intoleran terhadap sesama, yang berbeda agama, keyakinan dan suku. Tindak kekerasan terhadap kelompok Ahmadiah, pengrusakan gereja di Temanggung, bom buku, bom bunuh diri di Cirebon telah menodai rasa aman di ruang publik dan merusak kerukunan hidup bersama di tanah air kita. Situasi seperti ini harus menjadi keprihatinan semua warga Indonesia terlebih pihak-pihak yang bertanggungjawab dan patut dicermati secara jeli guna mengambil langkah-langkah bijak untuk pencegahan. Salah satu langkah bijak untuk mencegah segala bentuk tindakan intoleransi adalah membangun budaya toleransi. Membangun budaya toleransi itulah menjadi tema pembahasan dalam tulisan ini. Namun sebelum membahas tentang budaya toleransi, terlebih dahulu harus dibahas tentang budaya intoleransi.
Intoleransi sama seperti toleransi merupakan sikap manusia. Sikap dalam ilmu psikologi sosial diartikan sebagai suatu kecenderungan untuk berperilaku yang dipelajari dan sifatnya bertahan dalam relasi dengan obyek sosial tertentu. Krech D. dan Crutchfield R.S mendefinisikan sikap sebagai suatu sistem evaluasi positif atau negatif yang sifatnya bertahan, perasaan-perasaan dan kecenderungan-kecenderungan pro dan kontra terhadap obyek sosial tertentu (Sikap Manusia, Prof Dr. Mar’at, hal. 9). Dalam kerangka definisi sikap tersebut di atas, intoleransi dapat dipahami sebagai suatu kecenderungan manusia yang kontra terhadap objek sosial tertentu, dalam hal ini sesama manusia, karena dia berseberangan dalam eksistensinya.
Intoleransi sebagai suatu sikap mengandung tiga unsur atau aspek yakni aspek kognitif, aspek affektif, dan aspek psikomotoris. Sikap intoleransi dibangun berdasarkan evaluasi, pemahaman, keyakinan negatif seseorang terhadap orang dari kelompok lain. Pemahaman yang menyulut sikap intoleransi tidak hanya bersifat negatif, tetapi juga keliru. Pemahaman itu karena sifatnya negatif, akan membangkitkan emosi negatif (affektif) yakni rasa tidak senang, antipati, membenci dlsb dan pada gilirannya akan memicu kecenderungan berperilaku (psikomotoris) yang kontra terhadap orang tertentu berupa kekerasan dalam berbagai bentuk.
Intoleransi jelas terbentuk dari pemahaman negatif bahkan keliru yang diterima atau diindokrinasikan dalam diri seseorang. Pemahaman negatif dan keliru itu bisa berasal dari sebuah ideologi atau paham tertentu yang dicetuskan oleh orang tertentu. Pemahaman itu perlahan mengental dalam diri seseorang karena pengulangan dan penguatan yang dilakukan secara terus-menerus. Proses internalisasi seperti itu dapat berupa pencucian otak, sehingga otak orang itu hanya diisi oleh pemahaman yang diterimanya. Pemahaman negatif tentang kelompok tertentu yang berbasis agama atau kepercayaan atau suku tertentu seperti misalnya dianggap kafir dan dikutuk oleh Allah, pasti akan mengobarkan perasaan benci dan menyulut tindak kekerasan terhadap orang-orang dari kelompok yang dibenci itu.
Tindakan intoleran kalau dibiarkan, akan dianggap biasa. Lalu lahirlah budaya intoleransi. Bila intoleransi sudah menjadi budaya, maka upaya untuk membasminya menjadi mustahil. Budaya intoleransi termasuk budaya kematian, karena intoleransi membuahkan kematian pada keolompok tertentu, agama atau keyakinan tertentu. Agama atau keyakinan lain dilihat sebagai momok atau musuh yang harus diganyang dan tidak bisa diberi tempat untuk boleh berada di bumi manusia ini. Jelas, budaya intoleransi bertentangan dengan hak asasi manusia, karena setiap orang dari kodratnya berhak untuk memilih dan menghayati agama atau keyakinannya. Hak asasi itu dijamin oleh konstitusi bahkan oleh piagam PBB. Karena itu budaya intoleransi tidak boleh ditolerir.
Setelah dijabarkan mengenai budaya intoleransi maka kita juga perlu memahami apa itu budaya toleransi. Toleransi berasal dari bahasa Latin yakni dari kata kerja tolerare yang berati membiarkan, menyabarkan. Dari kosa kata bahasa Latin itulah lahir kata toleransi. Tentu saja toleransi yang dibangun menjadi satu budaya tidak dalam arti sempit seperti itu yakni hanya sekedar membiarkan orang lain, kelompok lain, agama atau keyakinan lain berada di bumi manusia ini. Menurut Frans Magnis Suseno, “Toleransi bukan dalam arti asal membiarkan saja, melainkan sebagai penerimaan tulus terhadap saudara dalam kekhasannya, bahkan dalam kelainannya. Baru itu toleransi, di mana kita menerima yang lain sebagai yang lain.” ( Menggalang Persatuan Indonesia Baru, hal 57).
Toleransi dalam arti seperti itu oleh Magnis Suseno dimaksudkan sebagai toleransi positif. Toleransi positif menghormati pihak lain dalam kekhasannya, dalam identitas mereka, dalam kelainan mereka. Kita tidak beriman sama. Kita tidak meyakini hal-hal yang paling khas bagi mereka, tetapi kita menghormati mereka. Kita menerima bahwa mereka dengan jujur meyakini sesuatu yang tidak mungkin kita yakini. Dalam hal ini kita sadar bahwa Allah Bapa kita jauh lebih agung dan luas daripada hati kita dan kita menyerahkan kepada Allah bagaimana Ia memandang saudara-saudara yang berlainan agamanya.
Dasar dari sikap toleransi adalah anggapan atau keyakinan bahwa keberagaman (pluriformitas) adalah ciptaan dan karunia Tuhan yang patut kita syukuri. Seandainya Tuhan tidak menghendaki adanya keberagaman, sudah lama dibasmi oleh Tuhan atau tidak akan diciptakan. Kenyataan lain yang tak dapat diingkari adalah tidak seorang pun sebelum lahir ke dunia, diminta untuk memilih suku, agama atau keyakinan yang akan dianuti sesudah kelahiran. Setiap orang menerima apa yang sudah diberikan Tuhan kepadanya. Keberagaman adalah suatu keniscayaan yang harus diterima setiap penghuni bumi ini. Kalau keyakinan dasar ini bisa diterima dan dihayati semua orang, orang akan saling menghargai dan mengasihi. Orang yang berbeda bukan musuh tetapi adalah saudara dalam keluarga Allah.
Hak untuk berbeda dalam eksistensi bukan suatu pemberian dari seseorang, tetapi melekat pada kodrat manusia itu sendiri atau dengan kata lain merupakan pemberian Tuhan. Karena itu mau tidak mau hak untuk berbeda harus diakui dan dihargai oleh setiap orang. Sebab itu budaya intoleransi merupakan suatu pengingkaran terhadap kodrat manusia. Budaya intoleransi dengan demikian merupakan suatu bentuk alienasi dari diri sendiri, karena sadar atau tidak sadar seseorang telah mengingkari apa yang melekat pada dirinya.
Budaya toleransi terbentuk dari rangkaian kebiasaan berperilaku yang mengkristalkan sikap saling menghargai dan mengasihi di antara orang-orang dengan latar belakang pluriformistis. Sudah pasti membangun budaya toleransi membutuhkan sebuah proses yang kadang memakan waktu yang cukup panjang. Hal terpenting dalam membangun budaya toleransi adalah menularkan perilaku saling menghargai dan mengasihi di tengah masyarakat Indonesia yang beranekaragam ini.
Intoleransi dan toleransi dibangun berdasarkan keyakinan atau pemahaman yang diperoleh seseorang dan diinternalisir dalam dirinya. Karena itu hal terpenting yang harus diupayakan dalam membangun budaya toleransi adalah mentransferkan pemahaman atau keyakinan yang benar dan positif tentang keanekaan manusia yakni sebagai suatu anugerah Tuhan yang membuat bumi ini indah untuk dihuni bersama. Keanekaragaman umat manusia dalam berbagai aspek seperti suku, agama dan keyakinan harus dipandang sebagai aneka kembang warna-warni yang membuat bumi ini menjadi sebuah taman yang luar biasa indah bagi umat manusia.
Dari berbagai aspek keanekaragaman itu agama merupakan unsur yang sangat sensitif dan mudah menyulut perasaan negatif terhadap kelompok agama lain. Karena itu toleransi positif harus dibangun terutama dalam konteks keragaman agama. Para pemuka agama harus menanamkan pandangan yang positif terhadap agama-agama di dunia dalam diri setiap umatnya sejak dini. Untuk itu dibutuhkan suatu pembaharuan pandangan terhadap agama-agama di dunia. Gereja Katolik sejak Konsili Vatikan II telah mencanangkan perubahan sikap terhadap agama-agama non Kristen di dunia. “Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkan sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang.” (Nostra Aetate, Dokumen Konsili Vatikan II, hal. 311). Perubahan serupa diharapkan diembuskan dalam semua agama di dunia. Sehingga tidak ada pemeluk agama yang mengkafirkan pemeluk agama yang lain.
Perubahan pandangan terhadap agama lain dan pemeluknya harus ditanamkan sejak usia dini mulai dari keluarga dan berlanjut dalam pendidikan formal sejak TK. Perubahan pandangan itu harus dimantapkan dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat. Para pemuka dan tokoh agama diharapkan memainkan peran strategis sebagai agen perubahan itu lewat mimbar resmi maupun tak resmi di tengah masyarakat.
Perubahan pandangan itu harus diperkuat dengan perilaku yang mendukung. Umat beragama harus berupaya untuk saling mengenal dengan mengadakan silahturahmi kepada saudara-saudara dari agama lain. Misalnya, pada hari raya agama tertentu. Pada hari raya Idulfitri umat non islam bersilahturahmi kepada saudara-saudara umat muslim. Sebaliknya pada hari raya Natal umat muslim dan non Kristen lain bersilahturahmi kepada saudara-saudara yang beragama Kristen. Perilaku kunjung mengunjung seperti itu kiranya tidak hanya terbatas pada hari raya, tetapi juga bilamana tetangga yang beragama lain mengalami duka atau kemalangan atau acara-acara lainnya. Budaya silahturahmi kiranya melahirkan belarasa dengan sesama tanpa peduli latar belakang agama dan sukunya.
Selain perilaku seperti saling mengunjungi, dapat diadakan dialog iman di antara umat yang berbeda agama. Dalam dialog iman setiap orang diajak untuk mensharingkan atau membagikan kekayaan pengalaman imannya kepada yang lain. Dengan demikian orang boleh berbeda agama tetapi dapat bersatu dalam iman. Karena sesungguhnya kita mengimani Allah yang sama sebagai Bapa dari semua orang beriman, yang mengasihi semua orang, tidak hanya orang baik tetapi juga orang jahat (Mt. 5: 45). Dialog iman memperluas wawasan iman seseorang. Teologi yang dianuti pun dapat diperkaya. Allah diyakini sebagai Bapa yang kasih-Nya tak terbatas. Dialah yang menciptakan semua umat manusia di dunia dengan keanekaragamannya. Allah adalah Bapa dari semua orang dan semua orang adalah saudara. Dialog iman memberikan pencerahan kepada semua umat beragama untuk melihat umat beragama lain sebagai saudara. “Manusia adalah umat yang satu” al-Quran II:213 (Johan Effendy, Menggalang Persatuan Indonesia Baru, hal. 44).
Dialog iman harus didukung juga dengan dialog kehidupan. Dialog kehidupan merupakan penerjemahan atau penghayatan iman dalam kehidupan. Dalam dialog kehidupan orang berjumpa untuk saling berbagi kasih, kebaikan, suka dan duka. Dialog kehidupan dapat dilakukan ketika terjadi bencana alam seperti banjir atau gunung meletus sebagaimana ketika gunung Merapi meletus. Di saat seperti itu sekat-sekat agama yang sering memisahkan umat beragama tersingkir secara spontan. Dan tampillah manusia dalam kehakikiannya tanpa sekat-sekat keragaman yang memisahkan. Itulah fitrah dasar kita umat manusia yang harus menjadi mimpi kita bersama. Dialog kehidupan tidak harus menunggu sampai terjadi suatu bencana bersama atau musuh bersama, tetapi harus terjadi dalam keseharian hidup lewat hal kecil atau yang biasa. Kalau ada tetangga yang sakit atau punya hajatan, orang dapat ikut berbagi untuk saling membantu. Lewat dialog kehidupan dalam keseharian perlahan menghapus sekat-sekat pemisahan dan akan menyuburkan budaya toleransi di antara umat manusia.
Perubahan pandangan tentang keragaman dan perilaku yang mengikutinya, harus dilakukan berulang-ulang sampai tertanam kuat dalam diri setiap umat beragama dan menjadi kebiasaan. Hidup bersama dengan orang lain dalam perbedaannya diterima sebagai suatu keniscayaan yang tidak lagi dipermasalahkan, karena tidak berpotensi mewnimbulkan masalah. Maka lahirlah budaya toleransi. Tentu saja harus dicamkan bahwa budaya toleransi membutuhkan suatu proses yang panjang. Karena itu dibutuhkan ketekunan dan komitmen untuk berbuat member kontribusi bagi mantapnya budaya toleransi. Ada sebuah ungkapan mengatakan, “Daripada mengutuki kegelapan, lebih baik menyalakan sebatang lilin”. Senada dengan itu dapat dikatakan juga, “Daripada mengutuki budaya intoleransi, lebih baik melakukan satu hal kecil untuk untuk membangun budaya toleransi.














BAB III
KESIMPULAN

Keberagaman adalah anugerah yang bersifat kodrati. Ia adalah sebuah keniscayaan yang pasti akan terjadi di dalam kehidupan sekitar walau sekeras apapun masyarakat menentang. Sungguh, betapa indahnya hidup damai dalam keberagaman, namun di era reformasai keragaman atau kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban, hal ini terlihat dari munculnya berbagai masalah yang sumbernya berbau keragamanan, khusunya bidang agama. Agama yang seharusnya menjadi solusi atas berbagai masalah sosial, justru memicu timbunya masalah sosial.
Untuk mencegah dan menanggulangi berbagai permasalahan sosial perlu dibangun dan dikembangkan toleransi dalam kehidupan pada masyarakat majemuk. Untuk membangunn budaya toleransi perlu adanya dialog antar umat beragama dimana masing-masing bisa saling menghargai dan menghormati perbedaan diantara mereka. Dengan berkembangnya budaya toleransi maka akan terjalinnya hubungan antar anggota dari berbagai kelompok, hal ini dapat menetralisir terjadinya konflik-konflik sosial dan tidak khawatir akan terjadinya fanatisme sempit serta sentiment yang bersifat primordial
Keanekaragaman itu bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan. Dari perbedaan-perbedaan itu seharusnya kita memiliki tujuan dan cita-cita perjuangan yang sama, yaitu mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual tentram dan damai berdasarkan Pancasila. Apalagi situasi negara kita sedang menata kehidupan yang lebih baik, melakukan reformasi di semua bidang menuju Indonesia Baru yang demokratis adil dan makmur serta berkedaulatan rakyat. Hal seperti ini sangat diperlukan kesadaran bertoleransi yang tinggi untuk saling menghargai guna menciptakan kehidupan yang tenteram dan damai.
Indahnya bumi ini untuk dihuni bersama tidak datang dari langit, tapi harus diupayakan bersama oleh semua penghuni bumi dengan latar belakang yang sangat beraneka. Itu berarti memberi kontribusi guna terciptanya sebuah bumi baru yang lebih indah bukan lagi merupakan suatu pilihan tetapi suatu keharusan. Bumi ini akan menjadi firdaus atau neraka tergantung pada setiap penghuninya. Karena itu membangun budaya toleransi merupakan pilihan yang tidak bisa ditawar-tawar dan menuntut komitmen total dari semua orang. Semoga firdaus yang hilang akan ditemukan kembali dalam kebersamaan hidup yang penuh toleransi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mar’at Dr, Prof, Sikap Manusia Perubahan serta Pengukurannya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981.
2. Widyahadi Seputra et al (ed), Menggalang persatuan Indonesia Baru, Komisi PSE/APP, Jakarta, 2000.
3. Hardawiryana, R, SJ, Dokumen Konsili Vatikan II (terj), OBOR, Jakarta, 1993
4. Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1981.

http://elcom.umy.ac.id/elschool/muallimin_muhammadiyah/file.php/1/materi/PPKn/TOLERANSI.pdf










MEMBANGUN BUDAYA TOLERANSI
BAB I

PENDAHULUAN

Negara dan bangsa Indonesia pernah digoncang oleh perpecahan yang berawal dari kemajemukan masyarakat. Di dalam kemajemukan itu ada kelompok-kelompok tertentu yang mau memisahkan diri dari negara kesatuan. Konflik-konflik tersebut dapat terjadi karena satu faktor perbedaan, misalnya faktor agama. Namun tidak jarang perpecahan itu disebabkan oleh beberapa faktor secara bersama, misalnya kerusuhan ras yang ditunjang oleh perbedaan kondisi ekonomi, agama, dan budaya. Cobalah kita renungkan mengapa terjadi peristiwa perkelahian, tawuran bahkan permusuhan antar etnis di negeri kita. Contoh di Aceh, peristiwa di Sampit, Sambas, Ambon dan lain-lainnya yang kalau ditulis sungguh memalukan dan memilukan hati dan perasaan kita. Dari contoh peristiwa yang tidak semuanya disebutkan itu, bagaimana menurut pendapat Anda? Pasti Anda tidak menghendaki peristiwa itu terjadi bukan? Karena peristiwa itu apapun alasannya yang pasti akan menghancurkan masa depan anak-anak bangsa, martabat serta harga diri bangsa. Kita tidak ingin bangsa Indonesia terpecah-pecah saling bermusuhan satu sama lain karena masalah agama. Kita ingin hidup tertib, aman, dan damai, saling menghormati dan saling menghargai agama dan keyakinan masing-masing. Untuk itu kita harus dapat menciptakan kehidupan umat beragama yang serasi, selaras, dan seimbang, sebagai umat beragama, sebagai masyarakat maupun warga negara.
Diera reformasi menuju Indonesia baru mari kita berupaya semakin meningkatkan kualitas hidup. Salah satunya adalah bagaimana seharusnya kita bina atau menjalin hubungan toleransi dengan benar. Kita perlu dan wajib membina dan menjalin kehidupan yang penuh dengan toleransi. Apalagi kita sebagai manusia, secara kodrat tidak bisa hidup sendiri. Hal ini berarti seseorang tidak hidup sendirian, tetapi ia berteman, bertetangga, bahkan ajaran agama mengatakan kita tidak boleh membedakan warna kulit, ras, dan golongan. Sikap dan perilaku toleransi dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, di manapun kita berada, baik di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, bahkan berbangsa dan bernegara.
Maka harus dikembangkan budaya toleransi, saling menghormati dan menghargai antar pemeluk. Semua pihak mesti meneguhkan dan mengembangkan sikap-sikap terbuka yang dapat menjadi pintu masuk untuk membangun pondasi keberagaman yang kuat untuk kesejahteraan semua umat. Kerjasama antar pemeluk sangat diperlukan.
BAB II
PEMBAHASAN

Belakangan ini marak berbagai bentuk tindak kekerasan sebagai wujud sikap intoleran terhadap sesama, yang berbeda agama, keyakinan dan suku. Tindak kekerasan terhadap kelompok Ahmadiah, pengrusakan gereja di Temanggung, bom buku, bom bunuh diri di Cirebon telah menodai rasa aman di ruang publik dan merusak kerukunan hidup bersama di tanah air kita. Situasi seperti ini harus menjadi keprihatinan semua warga Indonesia terlebih pihak-pihak yang bertanggungjawab dan patut dicermati secara jeli guna mengambil langkah-langkah bijak untuk pencegahan. Salah satu langkah bijak untuk mencegah segala bentuk tindakan intoleransi adalah membangun budaya toleransi. Membangun budaya toleransi itulah menjadi tema pembahasan dalam tulisan ini. Namun sebelum membahas tentang budaya toleransi, terlebih dahulu harus dibahas tentang budaya intoleransi.
Intoleransi sama seperti toleransi merupakan sikap manusia. Sikap dalam ilmu psikologi sosial diartikan sebagai suatu kecenderungan untuk berperilaku yang dipelajari dan sifatnya bertahan dalam relasi dengan obyek sosial tertentu. Krech D. dan Crutchfield R.S mendefinisikan sikap sebagai suatu sistem evaluasi positif atau negatif yang sifatnya bertahan, perasaan-perasaan dan kecenderungan-kecenderungan pro dan kontra terhadap obyek sosial tertentu (Sikap Manusia, Prof Dr. Mar’at, hal. 9). Dalam kerangka definisi sikap tersebut di atas, intoleransi dapat dipahami sebagai suatu kecenderungan manusia yang kontra terhadap objek sosial tertentu, dalam hal ini sesama manusia, karena dia berseberangan dalam eksistensinya.
Intoleransi sebagai suatu sikap mengandung tiga unsur atau aspek yakni aspek kognitif, aspek affektif, dan aspek psikomotoris. Sikap intoleransi dibangun berdasarkan evaluasi, pemahaman, keyakinan negatif seseorang terhadap orang dari kelompok lain. Pemahaman yang menyulut sikap intoleransi tidak hanya bersifat negatif, tetapi juga keliru. Pemahaman itu karena sifatnya negatif, akan membangkitkan emosi negatif (affektif) yakni rasa tidak senang, antipati, membenci dlsb dan pada gilirannya akan memicu kecenderungan berperilaku (psikomotoris) yang kontra terhadap orang tertentu berupa kekerasan dalam berbagai bentuk.
Intoleransi jelas terbentuk dari pemahaman negatif bahkan keliru yang diterima atau diindokrinasikan dalam diri seseorang. Pemahaman negatif dan keliru itu bisa berasal dari sebuah ideologi atau paham tertentu yang dicetuskan oleh orang tertentu. Pemahaman itu perlahan mengental dalam diri seseorang karena pengulangan dan penguatan yang dilakukan secara terus-menerus. Proses internalisasi seperti itu dapat berupa pencucian otak, sehingga otak orang itu hanya diisi oleh pemahaman yang diterimanya. Pemahaman negatif tentang kelompok tertentu yang berbasis agama atau kepercayaan atau suku tertentu seperti misalnya dianggap kafir dan dikutuk oleh Allah, pasti akan mengobarkan perasaan benci dan menyulut tindak kekerasan terhadap orang-orang dari kelompok yang dibenci itu.
Tindakan intoleran kalau dibiarkan, akan dianggap biasa. Lalu lahirlah budaya intoleransi. Bila intoleransi sudah menjadi budaya, maka upaya untuk membasminya menjadi mustahil. Budaya intoleransi termasuk budaya kematian, karena intoleransi membuahkan kematian pada keolompok tertentu, agama atau keyakinan tertentu. Agama atau keyakinan lain dilihat sebagai momok atau musuh yang harus diganyang dan tidak bisa diberi tempat untuk boleh berada di bumi manusia ini. Jelas, budaya intoleransi bertentangan dengan hak asasi manusia, karena setiap orang dari kodratnya berhak untuk memilih dan menghayati agama atau keyakinannya. Hak asasi itu dijamin oleh konstitusi bahkan oleh piagam PBB. Karena itu budaya intoleransi tidak boleh ditolerir.
Setelah dijabarkan mengenai budaya intoleransi maka kita juga perlu memahami apa itu budaya toleransi. Toleransi berasal dari bahasa Latin yakni dari kata kerja tolerare yang berati membiarkan, menyabarkan. Dari kosa kata bahasa Latin itulah lahir kata toleransi. Tentu saja toleransi yang dibangun menjadi satu budaya tidak dalam arti sempit seperti itu yakni hanya sekedar membiarkan orang lain, kelompok lain, agama atau keyakinan lain berada di bumi manusia ini. Menurut Frans Magnis Suseno, “Toleransi bukan dalam arti asal membiarkan saja, melainkan sebagai penerimaan tulus terhadap saudara dalam kekhasannya, bahkan dalam kelainannya. Baru itu toleransi, di mana kita menerima yang lain sebagai yang lain.” ( Menggalang Persatuan Indonesia Baru, hal 57).
Toleransi dalam arti seperti itu oleh Magnis Suseno dimaksudkan sebagai toleransi positif. Toleransi positif menghormati pihak lain dalam kekhasannya, dalam identitas mereka, dalam kelainan mereka. Kita tidak beriman sama. Kita tidak meyakini hal-hal yang paling khas bagi mereka, tetapi kita menghormati mereka. Kita menerima bahwa mereka dengan jujur meyakini sesuatu yang tidak mungkin kita yakini. Dalam hal ini kita sadar bahwa Allah Bapa kita jauh lebih agung dan luas daripada hati kita dan kita menyerahkan kepada Allah bagaimana Ia memandang saudara-saudara yang berlainan agamanya.
Dasar dari sikap toleransi adalah anggapan atau keyakinan bahwa keberagaman (pluriformitas) adalah ciptaan dan karunia Tuhan yang patut kita syukuri. Seandainya Tuhan tidak menghendaki adanya keberagaman, sudah lama dibasmi oleh Tuhan atau tidak akan diciptakan. Kenyataan lain yang tak dapat diingkari adalah tidak seorang pun sebelum lahir ke dunia, diminta untuk memilih suku, agama atau keyakinan yang akan dianuti sesudah kelahiran. Setiap orang menerima apa yang sudah diberikan Tuhan kepadanya. Keberagaman adalah suatu keniscayaan yang harus diterima setiap penghuni bumi ini. Kalau keyakinan dasar ini bisa diterima dan dihayati semua orang, orang akan saling menghargai dan mengasihi. Orang yang berbeda bukan musuh tetapi adalah saudara dalam keluarga Allah.
Hak untuk berbeda dalam eksistensi bukan suatu pemberian dari seseorang, tetapi melekat pada kodrat manusia itu sendiri atau dengan kata lain merupakan pemberian Tuhan. Karena itu mau tidak mau hak untuk berbeda harus diakui dan dihargai oleh setiap orang. Sebab itu budaya intoleransi merupakan suatu pengingkaran terhadap kodrat manusia. Budaya intoleransi dengan demikian merupakan suatu bentuk alienasi dari diri sendiri, karena sadar atau tidak sadar seseorang telah mengingkari apa yang melekat pada dirinya.
Budaya toleransi terbentuk dari rangkaian kebiasaan berperilaku yang mengkristalkan sikap saling menghargai dan mengasihi di antara orang-orang dengan latar belakang pluriformistis. Sudah pasti membangun budaya toleransi membutuhkan sebuah proses yang kadang memakan waktu yang cukup panjang. Hal terpenting dalam membangun budaya toleransi adalah menularkan perilaku saling menghargai dan mengasihi di tengah masyarakat Indonesia yang beranekaragam ini.
Intoleransi dan toleransi dibangun berdasarkan keyakinan atau pemahaman yang diperoleh seseorang dan diinternalisir dalam dirinya. Karena itu hal terpenting yang harus diupayakan dalam membangun budaya toleransi adalah mentransferkan pemahaman atau keyakinan yang benar dan positif tentang keanekaan manusia yakni sebagai suatu anugerah Tuhan yang membuat bumi ini indah untuk dihuni bersama. Keanekaragaman umat manusia dalam berbagai aspek seperti suku, agama dan keyakinan harus dipandang sebagai aneka kembang warna-warni yang membuat bumi ini menjadi sebuah taman yang luar biasa indah bagi umat manusia.
Dari berbagai aspek keanekaragaman itu agama merupakan unsur yang sangat sensitif dan mudah menyulut perasaan negatif terhadap kelompok agama lain. Karena itu toleransi positif harus dibangun terutama dalam konteks keragaman agama. Para pemuka agama harus menanamkan pandangan yang positif terhadap agama-agama di dunia dalam diri setiap umatnya sejak dini. Untuk itu dibutuhkan suatu pembaharuan pandangan terhadap agama-agama di dunia. Gereja Katolik sejak Konsili Vatikan II telah mencanangkan perubahan sikap terhadap agama-agama non Kristen di dunia. “Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkan sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang.” (Nostra Aetate, Dokumen Konsili Vatikan II, hal. 311). Perubahan serupa diharapkan diembuskan dalam semua agama di dunia. Sehingga tidak ada pemeluk agama yang mengkafirkan pemeluk agama yang lain.
Perubahan pandangan terhadap agama lain dan pemeluknya harus ditanamkan sejak usia dini mulai dari keluarga dan berlanjut dalam pendidikan formal sejak TK. Perubahan pandangan itu harus dimantapkan dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat. Para pemuka dan tokoh agama diharapkan memainkan peran strategis sebagai agen perubahan itu lewat mimbar resmi maupun tak resmi di tengah masyarakat.
Perubahan pandangan itu harus diperkuat dengan perilaku yang mendukung. Umat beragama harus berupaya untuk saling mengenal dengan mengadakan silahturahmi kepada saudara-saudara dari agama lain. Misalnya, pada hari raya agama tertentu. Pada hari raya Idulfitri umat non islam bersilahturahmi kepada saudara-saudara umat muslim. Sebaliknya pada hari raya Natal umat muslim dan non Kristen lain bersilahturahmi kepada saudara-saudara yang beragama Kristen. Perilaku kunjung mengunjung seperti itu kiranya tidak hanya terbatas pada hari raya, tetapi juga bilamana tetangga yang beragama lain mengalami duka atau kemalangan atau acara-acara lainnya. Budaya silahturahmi kiranya melahirkan belarasa dengan sesama tanpa peduli latar belakang agama dan sukunya.
Selain perilaku seperti saling mengunjungi, dapat diadakan dialog iman di antara umat yang berbeda agama. Dalam dialog iman setiap orang diajak untuk mensharingkan atau membagikan kekayaan pengalaman imannya kepada yang lain. Dengan demikian orang boleh berbeda agama tetapi dapat bersatu dalam iman. Karena sesungguhnya kita mengimani Allah yang sama sebagai Bapa dari semua orang beriman, yang mengasihi semua orang, tidak hanya orang baik tetapi juga orang jahat (Mt. 5: 45). Dialog iman memperluas wawasan iman seseorang. Teologi yang dianuti pun dapat diperkaya. Allah diyakini sebagai Bapa yang kasih-Nya tak terbatas. Dialah yang menciptakan semua umat manusia di dunia dengan keanekaragamannya. Allah adalah Bapa dari semua orang dan semua orang adalah saudara. Dialog iman memberikan pencerahan kepada semua umat beragama untuk melihat umat beragama lain sebagai saudara. “Manusia adalah umat yang satu” al-Quran II:213 (Johan Effendy, Menggalang Persatuan Indonesia Baru, hal. 44).
Dialog iman harus didukung juga dengan dialog kehidupan. Dialog kehidupan merupakan penerjemahan atau penghayatan iman dalam kehidupan. Dalam dialog kehidupan orang berjumpa untuk saling berbagi kasih, kebaikan, suka dan duka. Dialog kehidupan dapat dilakukan ketika terjadi bencana alam seperti banjir atau gunung meletus sebagaimana ketika gunung Merapi meletus. Di saat seperti itu sekat-sekat agama yang sering memisahkan umat beragama tersingkir secara spontan. Dan tampillah manusia dalam kehakikiannya tanpa sekat-sekat keragaman yang memisahkan. Itulah fitrah dasar kita umat manusia yang harus menjadi mimpi kita bersama. Dialog kehidupan tidak harus menunggu sampai terjadi suatu bencana bersama atau musuh bersama, tetapi harus terjadi dalam keseharian hidup lewat hal kecil atau yang biasa. Kalau ada tetangga yang sakit atau punya hajatan, orang dapat ikut berbagi untuk saling membantu. Lewat dialog kehidupan dalam keseharian perlahan menghapus sekat-sekat pemisahan dan akan menyuburkan budaya toleransi di antara umat manusia.
Perubahan pandangan tentang keragaman dan perilaku yang mengikutinya, harus dilakukan berulang-ulang sampai tertanam kuat dalam diri setiap umat beragama dan menjadi kebiasaan. Hidup bersama dengan orang lain dalam perbedaannya diterima sebagai suatu keniscayaan yang tidak lagi dipermasalahkan, karena tidak berpotensi mewnimbulkan masalah. Maka lahirlah budaya toleransi. Tentu saja harus dicamkan bahwa budaya toleransi membutuhkan suatu proses yang panjang. Karena itu dibutuhkan ketekunan dan komitmen untuk berbuat member kontribusi bagi mantapnya budaya toleransi. Ada sebuah ungkapan mengatakan, “Daripada mengutuki kegelapan, lebih baik menyalakan sebatang lilin”. Senada dengan itu dapat dikatakan juga, “Daripada mengutuki budaya intoleransi, lebih baik melakukan satu hal kecil untuk untuk membangun budaya toleransi.














BAB III
KESIMPULAN

Keberagaman adalah anugerah yang bersifat kodrati. Ia adalah sebuah keniscayaan yang pasti akan terjadi di dalam kehidupan sekitar walau sekeras apapun masyarakat menentang. Sungguh, betapa indahnya hidup damai dalam keberagaman, namun di era reformasai keragaman atau kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban, hal ini terlihat dari munculnya berbagai masalah yang sumbernya berbau keragamanan, khusunya bidang agama. Agama yang seharusnya menjadi solusi atas berbagai masalah sosial, justru memicu timbunya masalah sosial.
Untuk mencegah dan menanggulangi berbagai permasalahan sosial perlu dibangun dan dikembangkan toleransi dalam kehidupan pada masyarakat majemuk. Untuk membangunn budaya toleransi perlu adanya dialog antar umat beragama dimana masing-masing bisa saling menghargai dan menghormati perbedaan diantara mereka. Dengan berkembangnya budaya toleransi maka akan terjalinnya hubungan antar anggota dari berbagai kelompok, hal ini dapat menetralisir terjadinya konflik-konflik sosial dan tidak khawatir akan terjadinya fanatisme sempit serta sentiment yang bersifat primordial
Keanekaragaman itu bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan. Dari perbedaan-perbedaan itu seharusnya kita memiliki tujuan dan cita-cita perjuangan yang sama, yaitu mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual tentram dan damai berdasarkan Pancasila. Apalagi situasi negara kita sedang menata kehidupan yang lebih baik, melakukan reformasi di semua bidang menuju Indonesia Baru yang demokratis adil dan makmur serta berkedaulatan rakyat. Hal seperti ini sangat diperlukan kesadaran bertoleransi yang tinggi untuk saling menghargai guna menciptakan kehidupan yang tenteram dan damai.
Indahnya bumi ini untuk dihuni bersama tidak datang dari langit, tapi harus diupayakan bersama oleh semua penghuni bumi dengan latar belakang yang sangat beraneka. Itu berarti memberi kontribusi guna terciptanya sebuah bumi baru yang lebih indah bukan lagi merupakan suatu pilihan tetapi suatu keharusan. Bumi ini akan menjadi firdaus atau neraka tergantung pada setiap penghuninya. Karena itu membangun budaya toleransi merupakan pilihan yang tidak bisa ditawar-tawar dan menuntut komitmen total dari semua orang. Semoga firdaus yang hilang akan ditemukan kembali dalam kebersamaan hidup yang penuh toleransi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mar’at Dr, Prof, Sikap Manusia Perubahan serta Pengukurannya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981.
2. Widyahadi Seputra et al (ed), Menggalang persatuan Indonesia Baru, Komisi PSE/APP, Jakarta, 2000.
3. Hardawiryana, R, SJ, Dokumen Konsili Vatikan II (terj), OBOR, Jakarta, 1993
4. Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1981.

http://elcom.umy.ac.id/elschool/muallimin_muhammadiyah/file.php/1/materi/PPKn/TOLERANSI.pdf

MEMBANGUN BUDAYA TOLERANSI
BAB I

PENDAHULUAN

Negara dan bangsa Indonesia pernah digoncang oleh perpecahan yang berawal dari kemajemukan masyarakat. Di dalam kemajemukan itu ada kelompok-kelompok tertentu yang mau memisahkan diri dari negara kesatuan. Konflik-konflik tersebut dapat terjadi karena satu faktor perbedaan, misalnya faktor agama. Namun tidak jarang perpecahan itu disebabkan oleh beberapa faktor secara bersama, misalnya kerusuhan ras yang ditunjang oleh perbedaan kondisi ekonomi, agama, dan budaya. Cobalah kita renungkan mengapa terjadi peristiwa perkelahian, tawuran bahkan permusuhan antar etnis di negeri kita. Contoh di Aceh, peristiwa di Sampit, Sambas, Ambon dan lain-lainnya yang kalau ditulis sungguh memalukan dan memilukan hati dan perasaan kita. Dari contoh peristiwa yang tidak semuanya disebutkan itu, bagaimana menurut pendapat Anda? Pasti Anda tidak menghendaki peristiwa itu terjadi bukan? Karena peristiwa itu apapun alasannya yang pasti akan menghancurkan masa depan anak-anak bangsa, martabat serta harga diri bangsa. Kita tidak ingin bangsa Indonesia terpecah-pecah saling bermusuhan satu sama lain karena masalah agama. Kita ingin hidup tertib, aman, dan damai, saling menghormati dan saling menghargai agama dan keyakinan masing-masing. Untuk itu kita harus dapat menciptakan kehidupan umat beragama yang serasi, selaras, dan seimbang, sebagai umat beragama, sebagai masyarakat maupun warga negara.
Diera reformasi menuju Indonesia baru mari kita berupaya semakin meningkatkan kualitas hidup. Salah satunya adalah bagaimana seharusnya kita bina atau menjalin hubungan toleransi dengan benar. Kita perlu dan wajib membina dan menjalin kehidupan yang penuh dengan toleransi. Apalagi kita sebagai manusia, secara kodrat tidak bisa hidup sendiri. Hal ini berarti seseorang tidak hidup sendirian, tetapi ia berteman, bertetangga, bahkan ajaran agama mengatakan kita tidak boleh membedakan warna kulit, ras, dan golongan. Sikap dan perilaku toleransi dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, di manapun kita berada, baik di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, bahkan berbangsa dan bernegara.
Maka harus dikembangkan budaya toleransi, saling menghormati dan menghargai antar pemeluk. Semua pihak mesti meneguhkan dan mengembangkan sikap-sikap terbuka yang dapat menjadi pintu masuk untuk membangun pondasi keberagaman yang kuat untuk kesejahteraan semua umat. Kerjasama antar pemeluk sangat diperlukan.
BAB II
PEMBAHASAN

Belakangan ini marak berbagai bentuk tindak kekerasan sebagai wujud sikap intoleran terhadap sesama, yang berbeda agama, keyakinan dan suku. Tindak kekerasan terhadap kelompok Ahmadiah, pengrusakan gereja di Temanggung, bom buku, bom bunuh diri di Cirebon telah menodai rasa aman di ruang publik dan merusak kerukunan hidup bersama di tanah air kita. Situasi seperti ini harus menjadi keprihatinan semua warga Indonesia terlebih pihak-pihak yang bertanggungjawab dan patut dicermati secara jeli guna mengambil langkah-langkah bijak untuk pencegahan. Salah satu langkah bijak untuk mencegah segala bentuk tindakan intoleransi adalah membangun budaya toleransi. Membangun budaya toleransi itulah menjadi tema pembahasan dalam tulisan ini. Namun sebelum membahas tentang budaya toleransi, terlebih dahulu harus dibahas tentang budaya intoleransi.
Intoleransi sama seperti toleransi merupakan sikap manusia. Sikap dalam ilmu psikologi sosial diartikan sebagai suatu kecenderungan untuk berperilaku yang dipelajari dan sifatnya bertahan dalam relasi dengan obyek sosial tertentu. Krech D. dan Crutchfield R.S mendefinisikan sikap sebagai suatu sistem evaluasi positif atau negatif yang sifatnya bertahan, perasaan-perasaan dan kecenderungan-kecenderungan pro dan kontra terhadap obyek sosial tertentu (Sikap Manusia, Prof Dr. Mar’at, hal. 9). Dalam kerangka definisi sikap tersebut di atas, intoleransi dapat dipahami sebagai suatu kecenderungan manusia yang kontra terhadap objek sosial tertentu, dalam hal ini sesama manusia, karena dia berseberangan dalam eksistensinya.
Intoleransi sebagai suatu sikap mengandung tiga unsur atau aspek yakni aspek kognitif, aspek affektif, dan aspek psikomotoris. Sikap intoleransi dibangun berdasarkan evaluasi, pemahaman, keyakinan negatif seseorang terhadap orang dari kelompok lain. Pemahaman yang menyulut sikap intoleransi tidak hanya bersifat negatif, tetapi juga keliru. Pemahaman itu karena sifatnya negatif, akan membangkitkan emosi negatif (affektif) yakni rasa tidak senang, antipati, membenci dlsb dan pada gilirannya akan memicu kecenderungan berperilaku (psikomotoris) yang kontra terhadap orang tertentu berupa kekerasan dalam berbagai bentuk.
Intoleransi jelas terbentuk dari pemahaman negatif bahkan keliru yang diterima atau diindokrinasikan dalam diri seseorang. Pemahaman negatif dan keliru itu bisa berasal dari sebuah ideologi atau paham tertentu yang dicetuskan oleh orang tertentu. Pemahaman itu perlahan mengental dalam diri seseorang karena pengulangan dan penguatan yang dilakukan secara terus-menerus. Proses internalisasi seperti itu dapat berupa pencucian otak, sehingga otak orang itu hanya diisi oleh pemahaman yang diterimanya. Pemahaman negatif tentang kelompok tertentu yang berbasis agama atau kepercayaan atau suku tertentu seperti misalnya dianggap kafir dan dikutuk oleh Allah, pasti akan mengobarkan perasaan benci dan menyulut tindak kekerasan terhadap orang-orang dari kelompok yang dibenci itu.
Tindakan intoleran kalau dibiarkan, akan dianggap biasa. Lalu lahirlah budaya intoleransi. Bila intoleransi sudah menjadi budaya, maka upaya untuk membasminya menjadi mustahil. Budaya intoleransi termasuk budaya kematian, karena intoleransi membuahkan kematian pada keolompok tertentu, agama atau keyakinan tertentu. Agama atau keyakinan lain dilihat sebagai momok atau musuh yang harus diganyang dan tidak bisa diberi tempat untuk boleh berada di bumi manusia ini. Jelas, budaya intoleransi bertentangan dengan hak asasi manusia, karena setiap orang dari kodratnya berhak untuk memilih dan menghayati agama atau keyakinannya. Hak asasi itu dijamin oleh konstitusi bahkan oleh piagam PBB. Karena itu budaya intoleransi tidak boleh ditolerir.
Setelah dijabarkan mengenai budaya intoleransi maka kita juga perlu memahami apa itu budaya toleransi. Toleransi berasal dari bahasa Latin yakni dari kata kerja tolerare yang berati membiarkan, menyabarkan. Dari kosa kata bahasa Latin itulah lahir kata toleransi. Tentu saja toleransi yang dibangun menjadi satu budaya tidak dalam arti sempit seperti itu yakni hanya sekedar membiarkan orang lain, kelompok lain, agama atau keyakinan lain berada di bumi manusia ini. Menurut Frans Magnis Suseno, “Toleransi bukan dalam arti asal membiarkan saja, melainkan sebagai penerimaan tulus terhadap saudara dalam kekhasannya, bahkan dalam kelainannya. Baru itu toleransi, di mana kita menerima yang lain sebagai yang lain.” ( Menggalang Persatuan Indonesia Baru, hal 57).
Toleransi dalam arti seperti itu oleh Magnis Suseno dimaksudkan sebagai toleransi positif. Toleransi positif menghormati pihak lain dalam kekhasannya, dalam identitas mereka, dalam kelainan mereka. Kita tidak beriman sama. Kita tidak meyakini hal-hal yang paling khas bagi mereka, tetapi kita menghormati mereka. Kita menerima bahwa mereka dengan jujur meyakini sesuatu yang tidak mungkin kita yakini. Dalam hal ini kita sadar bahwa Allah Bapa kita jauh lebih agung dan luas daripada hati kita dan kita menyerahkan kepada Allah bagaimana Ia memandang saudara-saudara yang berlainan agamanya.
Dasar dari sikap toleransi adalah anggapan atau keyakinan bahwa keberagaman (pluriformitas) adalah ciptaan dan karunia Tuhan yang patut kita syukuri. Seandainya Tuhan tidak menghendaki adanya keberagaman, sudah lama dibasmi oleh Tuhan atau tidak akan diciptakan. Kenyataan lain yang tak dapat diingkari adalah tidak seorang pun sebelum lahir ke dunia, diminta untuk memilih suku, agama atau keyakinan yang akan dianuti sesudah kelahiran. Setiap orang menerima apa yang sudah diberikan Tuhan kepadanya. Keberagaman adalah suatu keniscayaan yang harus diterima setiap penghuni bumi ini. Kalau keyakinan dasar ini bisa diterima dan dihayati semua orang, orang akan saling menghargai dan mengasihi. Orang yang berbeda bukan musuh tetapi adalah saudara dalam keluarga Allah.
Hak untuk berbeda dalam eksistensi bukan suatu pemberian dari seseorang, tetapi melekat pada kodrat manusia itu sendiri atau dengan kata lain merupakan pemberian Tuhan. Karena itu mau tidak mau hak untuk berbeda harus diakui dan dihargai oleh setiap orang. Sebab itu budaya intoleransi merupakan suatu pengingkaran terhadap kodrat manusia. Budaya intoleransi dengan demikian merupakan suatu bentuk alienasi dari diri sendiri, karena sadar atau tidak sadar seseorang telah mengingkari apa yang melekat pada dirinya.
Budaya toleransi terbentuk dari rangkaian kebiasaan berperilaku yang mengkristalkan sikap saling menghargai dan mengasihi di antara orang-orang dengan latar belakang pluriformistis. Sudah pasti membangun budaya toleransi membutuhkan sebuah proses yang kadang memakan waktu yang cukup panjang. Hal terpenting dalam membangun budaya toleransi adalah menularkan perilaku saling menghargai dan mengasihi di tengah masyarakat Indonesia yang beranekaragam ini.
Intoleransi dan toleransi dibangun berdasarkan keyakinan atau pemahaman yang diperoleh seseorang dan diinternalisir dalam dirinya. Karena itu hal terpenting yang harus diupayakan dalam membangun budaya toleransi adalah mentransferkan pemahaman atau keyakinan yang benar dan positif tentang keanekaan manusia yakni sebagai suatu anugerah Tuhan yang membuat bumi ini indah untuk dihuni bersama. Keanekaragaman umat manusia dalam berbagai aspek seperti suku, agama dan keyakinan harus dipandang sebagai aneka kembang warna-warni yang membuat bumi ini menjadi sebuah taman yang luar biasa indah bagi umat manusia.
Dari berbagai aspek keanekaragaman itu agama merupakan unsur yang sangat sensitif dan mudah menyulut perasaan negatif terhadap kelompok agama lain. Karena itu toleransi positif harus dibangun terutama dalam konteks keragaman agama. Para pemuka agama harus menanamkan pandangan yang positif terhadap agama-agama di dunia dalam diri setiap umatnya sejak dini. Untuk itu dibutuhkan suatu pembaharuan pandangan terhadap agama-agama di dunia. Gereja Katolik sejak Konsili Vatikan II telah mencanangkan perubahan sikap terhadap agama-agama non Kristen di dunia. “Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkan sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang.” (Nostra Aetate, Dokumen Konsili Vatikan II, hal. 311). Perubahan serupa diharapkan diembuskan dalam semua agama di dunia. Sehingga tidak ada pemeluk agama yang mengkafirkan pemeluk agama yang lain.
Perubahan pandangan terhadap agama lain dan pemeluknya harus ditanamkan sejak usia dini mulai dari keluarga dan berlanjut dalam pendidikan formal sejak TK. Perubahan pandangan itu harus dimantapkan dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat. Para pemuka dan tokoh agama diharapkan memainkan peran strategis sebagai agen perubahan itu lewat mimbar resmi maupun tak resmi di tengah masyarakat.
Perubahan pandangan itu harus diperkuat dengan perilaku yang mendukung. Umat beragama harus berupaya untuk saling mengenal dengan mengadakan silahturahmi kepada saudara-saudara dari agama lain. Misalnya, pada hari raya agama tertentu. Pada hari raya Idulfitri umat non islam bersilahturahmi kepada saudara-saudara umat muslim. Sebaliknya pada hari raya Natal umat muslim dan non Kristen lain bersilahturahmi kepada saudara-saudara yang beragama Kristen. Perilaku kunjung mengunjung seperti itu kiranya tidak hanya terbatas pada hari raya, tetapi juga bilamana tetangga yang beragama lain mengalami duka atau kemalangan atau acara-acara lainnya. Budaya silahturahmi kiranya melahirkan belarasa dengan sesama tanpa peduli latar belakang agama dan sukunya.
Selain perilaku seperti saling mengunjungi, dapat diadakan dialog iman di antara umat yang berbeda agama. Dalam dialog iman setiap orang diajak untuk mensharingkan atau membagikan kekayaan pengalaman imannya kepada yang lain. Dengan demikian orang boleh berbeda agama tetapi dapat bersatu dalam iman. Karena sesungguhnya kita mengimani Allah yang sama sebagai Bapa dari semua orang beriman, yang mengasihi semua orang, tidak hanya orang baik tetapi juga orang jahat (Mt. 5: 45). Dialog iman memperluas wawasan iman seseorang. Teologi yang dianuti pun dapat diperkaya. Allah diyakini sebagai Bapa yang kasih-Nya tak terbatas. Dialah yang menciptakan semua umat manusia di dunia dengan keanekaragamannya. Allah adalah Bapa dari semua orang dan semua orang adalah saudara. Dialog iman memberikan pencerahan kepada semua umat beragama untuk melihat umat beragama lain sebagai saudara. “Manusia adalah umat yang satu” al-Quran II:213 (Johan Effendy, Menggalang Persatuan Indonesia Baru, hal. 44).
Dialog iman harus didukung juga dengan dialog kehidupan. Dialog kehidupan merupakan penerjemahan atau penghayatan iman dalam kehidupan. Dalam dialog kehidupan orang berjumpa untuk saling berbagi kasih, kebaikan, suka dan duka. Dialog kehidupan dapat dilakukan ketika terjadi bencana alam seperti banjir atau gunung meletus sebagaimana ketika gunung Merapi meletus. Di saat seperti itu sekat-sekat agama yang sering memisahkan umat beragama tersingkir secara spontan. Dan tampillah manusia dalam kehakikiannya tanpa sekat-sekat keragaman yang memisahkan. Itulah fitrah dasar kita umat manusia yang harus menjadi mimpi kita bersama. Dialog kehidupan tidak harus menunggu sampai terjadi suatu bencana bersama atau musuh bersama, tetapi harus terjadi dalam keseharian hidup lewat hal kecil atau yang biasa. Kalau ada tetangga yang sakit atau punya hajatan, orang dapat ikut berbagi untuk saling membantu. Lewat dialog kehidupan dalam keseharian perlahan menghapus sekat-sekat pemisahan dan akan menyuburkan budaya toleransi di antara umat manusia.
Perubahan pandangan tentang keragaman dan perilaku yang mengikutinya, harus dilakukan berulang-ulang sampai tertanam kuat dalam diri setiap umat beragama dan menjadi kebiasaan. Hidup bersama dengan orang lain dalam perbedaannya diterima sebagai suatu keniscayaan yang tidak lagi dipermasalahkan, karena tidak berpotensi mewnimbulkan masalah. Maka lahirlah budaya toleransi. Tentu saja harus dicamkan bahwa budaya toleransi membutuhkan suatu proses yang panjang. Karena itu dibutuhkan ketekunan dan komitmen untuk berbuat member kontribusi bagi mantapnya budaya toleransi. Ada sebuah ungkapan mengatakan, “Daripada mengutuki kegelapan, lebih baik menyalakan sebatang lilin”. Senada dengan itu dapat dikatakan juga, “Daripada mengutuki budaya intoleransi, lebih baik melakukan satu hal kecil untuk untuk membangun budaya toleransi.














BAB III
KESIMPULAN

Keberagaman adalah anugerah yang bersifat kodrati. Ia adalah sebuah keniscayaan yang pasti akan terjadi di dalam kehidupan sekitar walau sekeras apapun masyarakat menentang. Sungguh, betapa indahnya hidup damai dalam keberagaman, namun di era reformasai keragaman atau kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban, hal ini terlihat dari munculnya berbagai masalah yang sumbernya berbau keragamanan, khusunya bidang agama. Agama yang seharusnya menjadi solusi atas berbagai masalah sosial, justru memicu timbunya masalah sosial.
Untuk mencegah dan menanggulangi berbagai permasalahan sosial perlu dibangun dan dikembangkan toleransi dalam kehidupan pada masyarakat majemuk. Untuk membangunn budaya toleransi perlu adanya dialog antar umat beragama dimana masing-masing bisa saling menghargai dan menghormati perbedaan diantara mereka. Dengan berkembangnya budaya toleransi maka akan terjalinnya hubungan antar anggota dari berbagai kelompok, hal ini dapat menetralisir terjadinya konflik-konflik sosial dan tidak khawatir akan terjadinya fanatisme sempit serta sentiment yang bersifat primordial
Keanekaragaman itu bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan. Dari perbedaan-perbedaan itu seharusnya kita memiliki tujuan dan cita-cita perjuangan yang sama, yaitu mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual tentram dan damai berdasarkan Pancasila. Apalagi situasi negara kita sedang menata kehidupan yang lebih baik, melakukan reformasi di semua bidang menuju Indonesia Baru yang demokratis adil dan makmur serta berkedaulatan rakyat. Hal seperti ini sangat diperlukan kesadaran bertoleransi yang tinggi untuk saling menghargai guna menciptakan kehidupan yang tenteram dan damai.
Indahnya bumi ini untuk dihuni bersama tidak datang dari langit, tapi harus diupayakan bersama oleh semua penghuni bumi dengan latar belakang yang sangat beraneka. Itu berarti memberi kontribusi guna terciptanya sebuah bumi baru yang lebih indah bukan lagi merupakan suatu pilihan tetapi suatu keharusan. Bumi ini akan menjadi firdaus atau neraka tergantung pada setiap penghuninya. Karena itu membangun budaya toleransi merupakan pilihan yang tidak bisa ditawar-tawar dan menuntut komitmen total dari semua orang. Semoga firdaus yang hilang akan ditemukan kembali dalam kebersamaan hidup yang penuh toleransi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mar’at Dr, Prof, Sikap Manusia Perubahan serta Pengukurannya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981.
2. Widyahadi Seputra et al (ed), Menggalang persatuan Indonesia Baru, Komisi PSE/APP, Jakarta, 2000.
3. Hardawiryana, R, SJ, Dokumen Konsili Vatikan II (terj), OBOR, Jakarta, 1993
4. Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1981.

http://elcom.umy.ac.id/elschool/muallimin_muhammadiyah/file.php/1/materi/PPKn/TOLERANSI.pdf