Senin, 07 Januari 2013

PENDIDIKAN ANTI KORUPSI, SEBUAH KOMEDI?

Rumongso, seorang guru SD Djarna’atul Ichwan di Solo menulis di Harian Kompas (24 Nov 2012) sebuah artikel dengan judul “Komedi Pendidikan”. Beliau menulis, “Lalu, pemerintah mewacanakan pendidikan antikorupsi di sekolah dan akan jadi mata kuliah wajib di perguruan tinggi. Ini juga komedi pendidikan.” Nah, wacana pendidikan anti korupsi dicanangkan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan, untuk memutuskan gurita korupsi yang begitu melilit bangsa dan negara Indonesia. Namun bagi seorang pendidik seperti Rumongso ini merupakan sebuah komedi yang tidak lucu. Beliau punya alasan untuk berpendapat demikian, karena sebagai seorang guru, layaknya para guru di mana pun berada, dia selalu mengajarkan sikap jujur kepada anak didiknya. Dari pendapat seperti itu dapat dikatakan bahwa virus korupsi itu tidak berinkubasi di dunia pendidikan yang sudah disterilkan. Korupsi adalah penyakit sosial yang virusnya punya habitat di tengah masyarakat. Karena itu untuk membasmi virus korupsi masyarakat harus didesinfentankan. Solusinya adalah penegakan hukum yang jelas dan tegas kepada para koruptor. Para koruptor diberi hukuman yang berat, dimiskinkan dan seluruh harta bendanya disita untuk negara.
Kalau benar sekolah atau lembaga pendidikan itu kebal terhadap virus korupsi, pertanyaan yang muncul adalah kenapa hasil didiknya begitu mudah tergiur oleh godaan si bidadari korupsi? Jelas, sekolah atau lembaga pendidikan tidak membekali hasil didiknya dengan imunitas atau ketahanan moral dan mental agar tahan banting terhadap aneka godaan yang menggiurkan dari si bidadari korupsi. “Mana tahan!”, kata orang. Banyak orang begitu mudah bertekuklutut di hadapan si bidadari korupsi, karena begitu rapuhnya ketahanan moral dan mentalnya. Mungkin di sekolah para guru mengajarkan sikap jujur dan mengajak anak didik untuk anti korupsi dengan seruan, “Katakan ‘tidak’ kepada korupsi!” Kenyataan, kata “tidak” itu hanya ucapan mulut dan samasekali tidak menggema di hati untuk membentuk hati nurani yang anti korupsi. Maka hal yang paling penting kalau mau mengikis korupsi adalah membangun hati nurani dan menempa ketahanan moral serta ketahanan mental. Di sini peran dan makna sebuah pendidikan anti korupsi.
Hal yang harus dicermati terlebih dahulu adalah membedakan pendidikan anti korupsi dan pelajaran anti korupsi. Menurut saya, hal terpenting yang harus dilakukan oleh sekolah atau lembaga pendidikan adalah pendidikan anti korupsi dan bukan pelajaran anti korupsi. Pendidikan anti korupsi sebetulnya adalah nama lain dari pembentukan hati nurani atau pembinaan ketahanan moral dan mental. Hal ini sebetulnya sudah mulai dilakukan di beberapa sekolah dengan “KIOS KEJUJURAN”. Kios kejujuran adalah tempat pelatihan dan pembinaan kejujuran. Seorang anak didik, bahkan sejak TK sudah dilatih untuk jujur yakni mengambil dan membayar barang yang diambil di Kios Kejujuran tanpa harus dikontrol. Hal lain yang bisa dilakukan, anak didik sejak kecil dilatih untuk mengakui secara jujur kesalahan dan menentukan sendiri sanksinya. Misalnya, di akhir pelajaran guru bertanya kepada anak-anak, “siapa yang hari ini membuang sampah tidak di tempat sampah yang disediakan?” Anak yang mengakui kesalahan secara jujur harus diberi peneguhan (enforcement) dan diminta untuk menentukan sendiri sanksinya. Masih banyak lagi bentuk pendidikan kejujuran yang bisa diterapkan di sekolah. Dengan demikian hati nurani anak ditempa untuk mendorong anak didik berperilaku jujur. Nah, kalau pendidikan kejujuran dan tanggungjawab itu sudah ditanamkan sejak kecil, kita berharap setelah menyelesaikan pendidikan di Perguruan Tinggi seseorang sudah memiliki hati nurani yang tegar, dan ketahanan moral serta mental yang tangguh.
Peserta didik yang sudah dibekali dengan hati nurani yang unggul dan ketahanan moral serta mental yang tangguh, ketika terjun ke tengah masyarakat dapat dilepoti kebusukan korupsi yang sudah mewabah. Potensi pembusukan tiap warga masyarakat (hasil didik) sebagai akibat sistem yang busuk, harus bisa diminimalisir dengan penegakan hukum yang tegas tanpa pandang bulu dan pemberian hukum yang berat bagi pelaku korupsi. Para penegak hukum, dalam hal ini lembaga yudikatif seperti kepolisian, kejaksaan dan kehakiman, harus menjadi pelopor integritas penegakan hukum. Hanya sapu yang bersih dapat membersihkan kotoran. Sapu yang kotor malah akan ikut menambah kotor lingkungan masyarakat. Para penegak hukum harus menjadi benteng terakhir untuk melindungi hati nurani, ketahanan moral dan mental masyarakat agar tidak jebol oleh arus korupsi. Namun kenyataan di lapangan sangat menyedihkan. Para penegak hukum yang diharapkan menjadi pendekar penegakan keadilan dan kebenaran, menjadi solusi atas masalah korupsi, ternyata ikut menjadi penyebab masalah korupsi. Ada oknum hakim, jaksa dan polisi yang justru terlibat kasus suap dan korupsi. Lembaga legislatif yang diharapkan dapat menjadi lembaga pengawas yang bisa mencegah bertambah parahnya korupsi, malah ikut kelepotan kasus korupsi. Anggota DPR dari tingkat pusat sampai daerah rame-rame jadi tersangka korupsi. Terjadi korupsi berjemaah. Inilah lingkaran setan yang membikin rumit masalah korupsi.
Dalam situasi bangsa dan negara seperti ini, muncul pertanyaan kritis, apakah masih ada harapan masalah korupsi dapat diatasi? Sudah pasti dosa korupsi tidak akan pernah terhapus dari muka bumi sampai akhir zaman. Namun dosa korupsi masih bisa dikurangi kalau ada kemauan dari semua orang dan komitmen dari pemerintah serta semua penegak hukum untuk sungguh-sungguh memberantas korupsi dengan keberanian menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan. Selain itu koruptor harus dihukum seberat-beratnya dan seluruh kekayaan yang dimilikinya dirampas untuk negara agar dapat menimbulkan efek jerah bagi calon koruptor.
Ketika masyarakat bangsa Indonesia nyaris pesimis menghadapi wabah korupsi, lembaga pendidikan diharapkan dapat memancarkan secercah cahaya harapan lewat pendidikan kejujuran bagi anak didiknya. Dari sekian banyak orang yang terjerumus ke dalam kubangan korupsi, tetap masih ada orang jujur yang punya integritas. Tampilnya figur seperti Dahlan Iskan dan Jokowi sungguh membawa angin segar yang membuat asa tetap bernyala. Karena itu pendidikan kejujuran di setiap lembaga pendidikan merupakan suatu keniscayaan dan tidak boleh dianggap sebagai komedi yang tidak lucu. Kalau sejak TK sampai Perguruan Tinggi nilai kejujuran, tanggungjawab itu ditanam dan terus ditempa, bukan mustahil dapat menghasilkan warga bangsa Indonesia yang punya integritas dengan ketahanan moral serta ketahanan mental yang tangguh. Bukan mustahil akan lahir Dahlan Iskan dan Jokowi baru sebagai obor yang akan sedikit memancarkan cahaya di tengah kegelapan korupsi. Kata Santo Kristoforus, “Daripada mengutuki kegelapan, lebih baik menyalakan sebatang lilin.” Daripada rame-rame mengutuki kegelapan korupsi, mari nyalakan sebatang lilin kejujuran.
Meskipun lembaga pendidikan dapat memberikan kontribusi untuk meminimalisir merajalelanya wabah korupsi, namun tidak bisa diingkari bahwa lembaga pendidikan pun tidak steril dari virus korupsi. Kasus nyontek, jual beli soal, bocornya ujian negara dlsb cukup mencoreng wajah lembaga pendidikan. Catatan hitam ini harus menjadi perhatian utama dari semua penanggungjawab terhadap pendidikan generasi muda, mulai dari menteri pendidikan sampai ke seorang guru di Taman Kanak-Kanak untuk mempersempit peluang bagi orang untuk melakukan korupsi di lembaga pendidikan. Karena mungkin orang tidak berniat untuk melakukan korupsi, tetapi karena ada kesempatan atau peluang, orang tergoda untuk melakukannya. Karena itu di segala lini harus diusahakan untuk membatasi terciptanya peluang bagi orang untuk melakukan korupsi. Hal ini tentu menyangkut sistem yang berlaku di mana saja. Harus diciptakan sebuah sistem yang mengurangi bahkan menghilangkan cela bagi siapa pun untuk melakukan korupsi. Itulah korupsi sistemik yang harus dirombak dengan mengadakan reformasi sistem di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara di tanah air kita. Reformasi sistem sudah merupakan tuntutan yang tidak bisa tidak harus segera dilaksanakan demi terkikisnya korupsi dan peningkatan kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar