STUDI KASUK ROKOK CRYSTAL
1. Penyebab turunnya penjualan Rokok Crystal
- Kebijkan pemerintah menaikan cukai rokok
- Naiknya harga rokok yang semula Rp. 500 menjadi Rp. 600 perbungkus dimana yang semula harga 500 masih bisa dijangkau oleh anak muda yang belum penghasilan, kenaikan yang ditetapkan oleh perusahaan berdampak pada masyarakat yang mengenal bahwa rokok Crystal sebagai rokok yang murah dan terjangkau oleh lapisan masyrakat
- Kenaikan harga rokok tidak dibarengi adanya perubahan produk
2. Turunnya pejualan apakah ada hubungannya dengan perilaku konsumen
Ya, ada hubungannya
Perilaku konsumen berpengaruh terhadap menurunnya penjualan ;
a. Gaya Hidup
Untuk jaman sekarang merek suatu produk cukup mendapat perhatian, terlebih kalangan anak muda, mereka lebih percaya diri kalau dia memakai merek tertentu demikian juga bagi anak muda yang suka merokok tentu juga akan memilih rokok yang sudah punya nama / bergengsi dan tentunya nikmat dirasakan bagi para perokok. Rokok Crystal yang yang dijual dengan harga murah oleh kalangan anak muda mempunyai kesan murahan sehingga mereka lebih memilih merek rokok yang lain yang dianggap mereka lebih bergengsi
b. Perubahan Perilaku
Dari segi kesehatan rokok mempunyai dampak negative bisa menyebakan sakita jantung , paru , sesak nafas dll, untuk sekarang ini banyak yang mengkampanyekan untuk hidup sehat yaitu diantaranya dengan mengurangi konsumsi rokok , seperti dituliskan dalam iklan rokok paling bawah pasti ada tulisan kecil dampak dari merokok adalah menyebabkan penyakit. Masyarakat yang sadar akan kesehatan untuk dirinya tentu akan mengurangi konsumsi rokok.
3. Rekomemdasi mengenai rokok Cristal
- Perubahan harga mestinya disertai dengan perubahan misalnya kemasan rokok dibuat lebih menarik sehingga tidak terkesan rokok murahan .
- Perlu adanya iklan yang menarik , inovatif bahwa Rokok Crystal tampil baru sehingga menarik konsumen untuk membelinya.
- Menggalakkan marketing untuk memperkenalkan produk rokok Crystal tidak hanya dikalangan anak muda saja .
Jumat, 18 November 2011
Kamis, 03 November 2011
JAWABAN : AIR MINUM DALAM KEMASAN
AIR MINUM DALAM KEMASAN
Air minum merupakan kebutuhan hidup yang tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan sehari-hari. Air minum yang bersih dan sehat mutlak dibutuhkan oleh setiap manusia untuk tetap bertahan hidup.
Pada dasarnya kebutuhan air minum yang bersih dan sehat dapat dipenuhi sendiri yaitu dengan cara memasak air bersih sampai mendidih namun memasak air minum sendiri dinilai tidak praktis dan ketinggalan zaman, tuntutan masyrakat sekarang ini adalah mendapatkan air minum yang siap pakai bersih dan sehat dengan harga murah.
Perubahan paradigma masyarakat ini mengakibatkan maraknya bisnis AMDK sangat prospektif dan mendorong pertumbuhan industry AMDK semakin marak. di pasaran kita dapat menemukan dengan beragam merek dan beragam harga. Perubahan paradigma ini juga memunculkan pandangan / persepsi yang positif dan negative terhadap AMDK :
Sisi positif : Kemasan air minum dalam kemasan mempunyai kualitas dan sterilitas yang baik, tidak merepotkan dalam penyajiannya, tidak mudah tumpah atau membahayakan lingkungan, tidak perlu melakukan pencucian ulang wadah AMDK..
Sisi negative : munculnya plastic bekas kemasan, timbulnya kemungkinan pencemaran mikroorganisme dalam lingkungan pembuangan sisa kemasan,
Walaupun masyarakat / konsumen mempunyai pandangan yang berbeda tapi toh banyak orang membeli AMDK karena :
1. Praktis : Simple, mudah dibawa, mudah didapatkan, dan tidak repot bila ada keperluan dengan jumlah yang besar
2. Hygines : Steril, tentu melalui uji kelayakan dan sebelum produk beredar harus mendapat perijinan Dirjen POM ( Penggujian Obat dan Makanan )
3. Prestise : Ada kebanggaan tersendiri mampu membeli AMDK sesuai dengan seleranya.
4. Dari segi harga bisa terjangkau karena beragamnya harga dan merek sehingga masyarakat / konsumen tinggal memilih dengan harga dan barang mana yang dikehendakinya
.
Air minum merupakan kebutuhan hidup yang tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan sehari-hari. Air minum yang bersih dan sehat mutlak dibutuhkan oleh setiap manusia untuk tetap bertahan hidup.
Pada dasarnya kebutuhan air minum yang bersih dan sehat dapat dipenuhi sendiri yaitu dengan cara memasak air bersih sampai mendidih namun memasak air minum sendiri dinilai tidak praktis dan ketinggalan zaman, tuntutan masyrakat sekarang ini adalah mendapatkan air minum yang siap pakai bersih dan sehat dengan harga murah.
Perubahan paradigma masyarakat ini mengakibatkan maraknya bisnis AMDK sangat prospektif dan mendorong pertumbuhan industry AMDK semakin marak. di pasaran kita dapat menemukan dengan beragam merek dan beragam harga. Perubahan paradigma ini juga memunculkan pandangan / persepsi yang positif dan negative terhadap AMDK :
Sisi positif : Kemasan air minum dalam kemasan mempunyai kualitas dan sterilitas yang baik, tidak merepotkan dalam penyajiannya, tidak mudah tumpah atau membahayakan lingkungan, tidak perlu melakukan pencucian ulang wadah AMDK..
Sisi negative : munculnya plastic bekas kemasan, timbulnya kemungkinan pencemaran mikroorganisme dalam lingkungan pembuangan sisa kemasan,
Walaupun masyarakat / konsumen mempunyai pandangan yang berbeda tapi toh banyak orang membeli AMDK karena :
1. Praktis : Simple, mudah dibawa, mudah didapatkan, dan tidak repot bila ada keperluan dengan jumlah yang besar
2. Hygines : Steril, tentu melalui uji kelayakan dan sebelum produk beredar harus mendapat perijinan Dirjen POM ( Penggujian Obat dan Makanan )
3. Prestise : Ada kebanggaan tersendiri mampu membeli AMDK sesuai dengan seleranya.
4. Dari segi harga bisa terjangkau karena beragamnya harga dan merek sehingga masyarakat / konsumen tinggal memilih dengan harga dan barang mana yang dikehendakinya
.
Minggu, 08 Mei 2011
Membangun Toleransi
MEMBANGUN BUDAYA TOLERANSI
BAB I
PENDAHULUAN
Negara dan bangsa Indonesia pernah digoncang oleh perpecahan yang berawal dari kemajemukan masyarakat. Di dalam kemajemukan itu ada kelompok-kelompok tertentu yang mau memisahkan diri dari negara kesatuan. Konflik-konflik tersebut dapat terjadi karena satu faktor perbedaan, misalnya faktor agama. Namun tidak jarang perpecahan itu disebabkan oleh beberapa faktor secara bersama, misalnya kerusuhan ras yang ditunjang oleh perbedaan kondisi ekonomi, agama, dan budaya. Cobalah kita renungkan mengapa terjadi peristiwa perkelahian, tawuran bahkan permusuhan antar etnis di negeri kita. Contoh di Aceh, peristiwa di Sampit, Sambas, Ambon dan lain-lainnya yang kalau ditulis sungguh memalukan dan memilukan hati dan perasaan kita. Dari contoh peristiwa yang tidak semuanya disebutkan itu, bagaimana menurut pendapat Anda? Pasti Anda tidak menghendaki peristiwa itu terjadi bukan? Karena peristiwa itu apapun alasannya yang pasti akan menghancurkan masa depan anak-anak bangsa, martabat serta harga diri bangsa. Kita tidak ingin bangsa Indonesia terpecah-pecah saling bermusuhan satu sama lain karena masalah agama. Kita ingin hidup tertib, aman, dan damai, saling menghormati dan saling menghargai agama dan keyakinan masing-masing. Untuk itu kita harus dapat menciptakan kehidupan umat beragama yang serasi, selaras, dan seimbang, sebagai umat beragama, sebagai masyarakat maupun warga negara.
Diera reformasi menuju Indonesia baru mari kita berupaya semakin meningkatkan kualitas hidup. Salah satunya adalah bagaimana seharusnya kita bina atau menjalin hubungan toleransi dengan benar. Kita perlu dan wajib membina dan menjalin kehidupan yang penuh dengan toleransi. Apalagi kita sebagai manusia, secara kodrat tidak bisa hidup sendiri. Hal ini berarti seseorang tidak hidup sendirian, tetapi ia berteman, bertetangga, bahkan ajaran agama mengatakan kita tidak boleh membedakan warna kulit, ras, dan golongan. Sikap dan perilaku toleransi dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, di manapun kita berada, baik di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, bahkan berbangsa dan bernegara.
Maka harus dikembangkan budaya toleransi, saling menghormati dan menghargai antar pemeluk. Semua pihak mesti meneguhkan dan mengembangkan sikap-sikap terbuka yang dapat menjadi pintu masuk untuk membangun pondasi keberagaman yang kuat untuk kesejahteraan semua umat. Kerjasama antar pemeluk sangat diperlukan.
BAB II
PEMBAHASAN
Belakangan ini marak berbagai bentuk tindak kekerasan sebagai wujud sikap intoleran terhadap sesama, yang berbeda agama, keyakinan dan suku. Tindak kekerasan terhadap kelompok Ahmadiah, pengrusakan gereja di Temanggung, bom buku, bom bunuh diri di Cirebon telah menodai rasa aman di ruang publik dan merusak kerukunan hidup bersama di tanah air kita. Situasi seperti ini harus menjadi keprihatinan semua warga Indonesia terlebih pihak-pihak yang bertanggungjawab dan patut dicermati secara jeli guna mengambil langkah-langkah bijak untuk pencegahan. Salah satu langkah bijak untuk mencegah segala bentuk tindakan intoleransi adalah membangun budaya toleransi. Membangun budaya toleransi itulah menjadi tema pembahasan dalam tulisan ini. Namun sebelum membahas tentang budaya toleransi, terlebih dahulu harus dibahas tentang budaya intoleransi.
Intoleransi sama seperti toleransi merupakan sikap manusia. Sikap dalam ilmu psikologi sosial diartikan sebagai suatu kecenderungan untuk berperilaku yang dipelajari dan sifatnya bertahan dalam relasi dengan obyek sosial tertentu. Krech D. dan Crutchfield R.S mendefinisikan sikap sebagai suatu sistem evaluasi positif atau negatif yang sifatnya bertahan, perasaan-perasaan dan kecenderungan-kecenderungan pro dan kontra terhadap obyek sosial tertentu (Sikap Manusia, Prof Dr. Mar’at, hal. 9). Dalam kerangka definisi sikap tersebut di atas, intoleransi dapat dipahami sebagai suatu kecenderungan manusia yang kontra terhadap objek sosial tertentu, dalam hal ini sesama manusia, karena dia berseberangan dalam eksistensinya.
Intoleransi sebagai suatu sikap mengandung tiga unsur atau aspek yakni aspek kognitif, aspek affektif, dan aspek psikomotoris. Sikap intoleransi dibangun berdasarkan evaluasi, pemahaman, keyakinan negatif seseorang terhadap orang dari kelompok lain. Pemahaman yang menyulut sikap intoleransi tidak hanya bersifat negatif, tetapi juga keliru. Pemahaman itu karena sifatnya negatif, akan membangkitkan emosi negatif (affektif) yakni rasa tidak senang, antipati, membenci dlsb dan pada gilirannya akan memicu kecenderungan berperilaku (psikomotoris) yang kontra terhadap orang tertentu berupa kekerasan dalam berbagai bentuk.
Intoleransi jelas terbentuk dari pemahaman negatif bahkan keliru yang diterima atau diindokrinasikan dalam diri seseorang. Pemahaman negatif dan keliru itu bisa berasal dari sebuah ideologi atau paham tertentu yang dicetuskan oleh orang tertentu. Pemahaman itu perlahan mengental dalam diri seseorang karena pengulangan dan penguatan yang dilakukan secara terus-menerus. Proses internalisasi seperti itu dapat berupa pencucian otak, sehingga otak orang itu hanya diisi oleh pemahaman yang diterimanya. Pemahaman negatif tentang kelompok tertentu yang berbasis agama atau kepercayaan atau suku tertentu seperti misalnya dianggap kafir dan dikutuk oleh Allah, pasti akan mengobarkan perasaan benci dan menyulut tindak kekerasan terhadap orang-orang dari kelompok yang dibenci itu.
Tindakan intoleran kalau dibiarkan, akan dianggap biasa. Lalu lahirlah budaya intoleransi. Bila intoleransi sudah menjadi budaya, maka upaya untuk membasminya menjadi mustahil. Budaya intoleransi termasuk budaya kematian, karena intoleransi membuahkan kematian pada keolompok tertentu, agama atau keyakinan tertentu. Agama atau keyakinan lain dilihat sebagai momok atau musuh yang harus diganyang dan tidak bisa diberi tempat untuk boleh berada di bumi manusia ini. Jelas, budaya intoleransi bertentangan dengan hak asasi manusia, karena setiap orang dari kodratnya berhak untuk memilih dan menghayati agama atau keyakinannya. Hak asasi itu dijamin oleh konstitusi bahkan oleh piagam PBB. Karena itu budaya intoleransi tidak boleh ditolerir.
Setelah dijabarkan mengenai budaya intoleransi maka kita juga perlu memahami apa itu budaya toleransi. Toleransi berasal dari bahasa Latin yakni dari kata kerja tolerare yang berati membiarkan, menyabarkan. Dari kosa kata bahasa Latin itulah lahir kata toleransi. Tentu saja toleransi yang dibangun menjadi satu budaya tidak dalam arti sempit seperti itu yakni hanya sekedar membiarkan orang lain, kelompok lain, agama atau keyakinan lain berada di bumi manusia ini. Menurut Frans Magnis Suseno, “Toleransi bukan dalam arti asal membiarkan saja, melainkan sebagai penerimaan tulus terhadap saudara dalam kekhasannya, bahkan dalam kelainannya. Baru itu toleransi, di mana kita menerima yang lain sebagai yang lain.” ( Menggalang Persatuan Indonesia Baru, hal 57).
Toleransi dalam arti seperti itu oleh Magnis Suseno dimaksudkan sebagai toleransi positif. Toleransi positif menghormati pihak lain dalam kekhasannya, dalam identitas mereka, dalam kelainan mereka. Kita tidak beriman sama. Kita tidak meyakini hal-hal yang paling khas bagi mereka, tetapi kita menghormati mereka. Kita menerima bahwa mereka dengan jujur meyakini sesuatu yang tidak mungkin kita yakini. Dalam hal ini kita sadar bahwa Allah Bapa kita jauh lebih agung dan luas daripada hati kita dan kita menyerahkan kepada Allah bagaimana Ia memandang saudara-saudara yang berlainan agamanya.
Dasar dari sikap toleransi adalah anggapan atau keyakinan bahwa keberagaman (pluriformitas) adalah ciptaan dan karunia Tuhan yang patut kita syukuri. Seandainya Tuhan tidak menghendaki adanya keberagaman, sudah lama dibasmi oleh Tuhan atau tidak akan diciptakan. Kenyataan lain yang tak dapat diingkari adalah tidak seorang pun sebelum lahir ke dunia, diminta untuk memilih suku, agama atau keyakinan yang akan dianuti sesudah kelahiran. Setiap orang menerima apa yang sudah diberikan Tuhan kepadanya. Keberagaman adalah suatu keniscayaan yang harus diterima setiap penghuni bumi ini. Kalau keyakinan dasar ini bisa diterima dan dihayati semua orang, orang akan saling menghargai dan mengasihi. Orang yang berbeda bukan musuh tetapi adalah saudara dalam keluarga Allah.
Hak untuk berbeda dalam eksistensi bukan suatu pemberian dari seseorang, tetapi melekat pada kodrat manusia itu sendiri atau dengan kata lain merupakan pemberian Tuhan. Karena itu mau tidak mau hak untuk berbeda harus diakui dan dihargai oleh setiap orang. Sebab itu budaya intoleransi merupakan suatu pengingkaran terhadap kodrat manusia. Budaya intoleransi dengan demikian merupakan suatu bentuk alienasi dari diri sendiri, karena sadar atau tidak sadar seseorang telah mengingkari apa yang melekat pada dirinya.
Budaya toleransi terbentuk dari rangkaian kebiasaan berperilaku yang mengkristalkan sikap saling menghargai dan mengasihi di antara orang-orang dengan latar belakang pluriformistis. Sudah pasti membangun budaya toleransi membutuhkan sebuah proses yang kadang memakan waktu yang cukup panjang. Hal terpenting dalam membangun budaya toleransi adalah menularkan perilaku saling menghargai dan mengasihi di tengah masyarakat Indonesia yang beranekaragam ini.
Intoleransi dan toleransi dibangun berdasarkan keyakinan atau pemahaman yang diperoleh seseorang dan diinternalisir dalam dirinya. Karena itu hal terpenting yang harus diupayakan dalam membangun budaya toleransi adalah mentransferkan pemahaman atau keyakinan yang benar dan positif tentang keanekaan manusia yakni sebagai suatu anugerah Tuhan yang membuat bumi ini indah untuk dihuni bersama. Keanekaragaman umat manusia dalam berbagai aspek seperti suku, agama dan keyakinan harus dipandang sebagai aneka kembang warna-warni yang membuat bumi ini menjadi sebuah taman yang luar biasa indah bagi umat manusia.
Dari berbagai aspek keanekaragaman itu agama merupakan unsur yang sangat sensitif dan mudah menyulut perasaan negatif terhadap kelompok agama lain. Karena itu toleransi positif harus dibangun terutama dalam konteks keragaman agama. Para pemuka agama harus menanamkan pandangan yang positif terhadap agama-agama di dunia dalam diri setiap umatnya sejak dini. Untuk itu dibutuhkan suatu pembaharuan pandangan terhadap agama-agama di dunia. Gereja Katolik sejak Konsili Vatikan II telah mencanangkan perubahan sikap terhadap agama-agama non Kristen di dunia. “Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkan sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang.” (Nostra Aetate, Dokumen Konsili Vatikan II, hal. 311). Perubahan serupa diharapkan diembuskan dalam semua agama di dunia. Sehingga tidak ada pemeluk agama yang mengkafirkan pemeluk agama yang lain.
Perubahan pandangan terhadap agama lain dan pemeluknya harus ditanamkan sejak usia dini mulai dari keluarga dan berlanjut dalam pendidikan formal sejak TK. Perubahan pandangan itu harus dimantapkan dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat. Para pemuka dan tokoh agama diharapkan memainkan peran strategis sebagai agen perubahan itu lewat mimbar resmi maupun tak resmi di tengah masyarakat.
Perubahan pandangan itu harus diperkuat dengan perilaku yang mendukung. Umat beragama harus berupaya untuk saling mengenal dengan mengadakan silahturahmi kepada saudara-saudara dari agama lain. Misalnya, pada hari raya agama tertentu. Pada hari raya Idulfitri umat non islam bersilahturahmi kepada saudara-saudara umat muslim. Sebaliknya pada hari raya Natal umat muslim dan non Kristen lain bersilahturahmi kepada saudara-saudara yang beragama Kristen. Perilaku kunjung mengunjung seperti itu kiranya tidak hanya terbatas pada hari raya, tetapi juga bilamana tetangga yang beragama lain mengalami duka atau kemalangan atau acara-acara lainnya. Budaya silahturahmi kiranya melahirkan belarasa dengan sesama tanpa peduli latar belakang agama dan sukunya.
Selain perilaku seperti saling mengunjungi, dapat diadakan dialog iman di antara umat yang berbeda agama. Dalam dialog iman setiap orang diajak untuk mensharingkan atau membagikan kekayaan pengalaman imannya kepada yang lain. Dengan demikian orang boleh berbeda agama tetapi dapat bersatu dalam iman. Karena sesungguhnya kita mengimani Allah yang sama sebagai Bapa dari semua orang beriman, yang mengasihi semua orang, tidak hanya orang baik tetapi juga orang jahat (Mt. 5: 45). Dialog iman memperluas wawasan iman seseorang. Teologi yang dianuti pun dapat diperkaya. Allah diyakini sebagai Bapa yang kasih-Nya tak terbatas. Dialah yang menciptakan semua umat manusia di dunia dengan keanekaragamannya. Allah adalah Bapa dari semua orang dan semua orang adalah saudara. Dialog iman memberikan pencerahan kepada semua umat beragama untuk melihat umat beragama lain sebagai saudara. “Manusia adalah umat yang satu” al-Quran II:213 (Johan Effendy, Menggalang Persatuan Indonesia Baru, hal. 44).
Dialog iman harus didukung juga dengan dialog kehidupan. Dialog kehidupan merupakan penerjemahan atau penghayatan iman dalam kehidupan. Dalam dialog kehidupan orang berjumpa untuk saling berbagi kasih, kebaikan, suka dan duka. Dialog kehidupan dapat dilakukan ketika terjadi bencana alam seperti banjir atau gunung meletus sebagaimana ketika gunung Merapi meletus. Di saat seperti itu sekat-sekat agama yang sering memisahkan umat beragama tersingkir secara spontan. Dan tampillah manusia dalam kehakikiannya tanpa sekat-sekat keragaman yang memisahkan. Itulah fitrah dasar kita umat manusia yang harus menjadi mimpi kita bersama. Dialog kehidupan tidak harus menunggu sampai terjadi suatu bencana bersama atau musuh bersama, tetapi harus terjadi dalam keseharian hidup lewat hal kecil atau yang biasa. Kalau ada tetangga yang sakit atau punya hajatan, orang dapat ikut berbagi untuk saling membantu. Lewat dialog kehidupan dalam keseharian perlahan menghapus sekat-sekat pemisahan dan akan menyuburkan budaya toleransi di antara umat manusia.
Perubahan pandangan tentang keragaman dan perilaku yang mengikutinya, harus dilakukan berulang-ulang sampai tertanam kuat dalam diri setiap umat beragama dan menjadi kebiasaan. Hidup bersama dengan orang lain dalam perbedaannya diterima sebagai suatu keniscayaan yang tidak lagi dipermasalahkan, karena tidak berpotensi mewnimbulkan masalah. Maka lahirlah budaya toleransi. Tentu saja harus dicamkan bahwa budaya toleransi membutuhkan suatu proses yang panjang. Karena itu dibutuhkan ketekunan dan komitmen untuk berbuat member kontribusi bagi mantapnya budaya toleransi. Ada sebuah ungkapan mengatakan, “Daripada mengutuki kegelapan, lebih baik menyalakan sebatang lilin”. Senada dengan itu dapat dikatakan juga, “Daripada mengutuki budaya intoleransi, lebih baik melakukan satu hal kecil untuk untuk membangun budaya toleransi.
BAB III
KESIMPULAN
Keberagaman adalah anugerah yang bersifat kodrati. Ia adalah sebuah keniscayaan yang pasti akan terjadi di dalam kehidupan sekitar walau sekeras apapun masyarakat menentang. Sungguh, betapa indahnya hidup damai dalam keberagaman, namun di era reformasai keragaman atau kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban, hal ini terlihat dari munculnya berbagai masalah yang sumbernya berbau keragamanan, khusunya bidang agama. Agama yang seharusnya menjadi solusi atas berbagai masalah sosial, justru memicu timbunya masalah sosial.
Untuk mencegah dan menanggulangi berbagai permasalahan sosial perlu dibangun dan dikembangkan toleransi dalam kehidupan pada masyarakat majemuk. Untuk membangunn budaya toleransi perlu adanya dialog antar umat beragama dimana masing-masing bisa saling menghargai dan menghormati perbedaan diantara mereka. Dengan berkembangnya budaya toleransi maka akan terjalinnya hubungan antar anggota dari berbagai kelompok, hal ini dapat menetralisir terjadinya konflik-konflik sosial dan tidak khawatir akan terjadinya fanatisme sempit serta sentiment yang bersifat primordial
Keanekaragaman itu bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan. Dari perbedaan-perbedaan itu seharusnya kita memiliki tujuan dan cita-cita perjuangan yang sama, yaitu mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual tentram dan damai berdasarkan Pancasila. Apalagi situasi negara kita sedang menata kehidupan yang lebih baik, melakukan reformasi di semua bidang menuju Indonesia Baru yang demokratis adil dan makmur serta berkedaulatan rakyat. Hal seperti ini sangat diperlukan kesadaran bertoleransi yang tinggi untuk saling menghargai guna menciptakan kehidupan yang tenteram dan damai.
Indahnya bumi ini untuk dihuni bersama tidak datang dari langit, tapi harus diupayakan bersama oleh semua penghuni bumi dengan latar belakang yang sangat beraneka. Itu berarti memberi kontribusi guna terciptanya sebuah bumi baru yang lebih indah bukan lagi merupakan suatu pilihan tetapi suatu keharusan. Bumi ini akan menjadi firdaus atau neraka tergantung pada setiap penghuninya. Karena itu membangun budaya toleransi merupakan pilihan yang tidak bisa ditawar-tawar dan menuntut komitmen total dari semua orang. Semoga firdaus yang hilang akan ditemukan kembali dalam kebersamaan hidup yang penuh toleransi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mar’at Dr, Prof, Sikap Manusia Perubahan serta Pengukurannya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981.
2. Widyahadi Seputra et al (ed), Menggalang persatuan Indonesia Baru, Komisi PSE/APP, Jakarta, 2000.
3. Hardawiryana, R, SJ, Dokumen Konsili Vatikan II (terj), OBOR, Jakarta, 1993
4. Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1981.
http://elcom.umy.ac.id/elschool/muallimin_muhammadiyah/file.php/1/materi/PPKn/TOLERANSI.pdf
MEMBANGUN BUDAYA TOLERANSI
BAB I
PENDAHULUAN
Negara dan bangsa Indonesia pernah digoncang oleh perpecahan yang berawal dari kemajemukan masyarakat. Di dalam kemajemukan itu ada kelompok-kelompok tertentu yang mau memisahkan diri dari negara kesatuan. Konflik-konflik tersebut dapat terjadi karena satu faktor perbedaan, misalnya faktor agama. Namun tidak jarang perpecahan itu disebabkan oleh beberapa faktor secara bersama, misalnya kerusuhan ras yang ditunjang oleh perbedaan kondisi ekonomi, agama, dan budaya. Cobalah kita renungkan mengapa terjadi peristiwa perkelahian, tawuran bahkan permusuhan antar etnis di negeri kita. Contoh di Aceh, peristiwa di Sampit, Sambas, Ambon dan lain-lainnya yang kalau ditulis sungguh memalukan dan memilukan hati dan perasaan kita. Dari contoh peristiwa yang tidak semuanya disebutkan itu, bagaimana menurut pendapat Anda? Pasti Anda tidak menghendaki peristiwa itu terjadi bukan? Karena peristiwa itu apapun alasannya yang pasti akan menghancurkan masa depan anak-anak bangsa, martabat serta harga diri bangsa. Kita tidak ingin bangsa Indonesia terpecah-pecah saling bermusuhan satu sama lain karena masalah agama. Kita ingin hidup tertib, aman, dan damai, saling menghormati dan saling menghargai agama dan keyakinan masing-masing. Untuk itu kita harus dapat menciptakan kehidupan umat beragama yang serasi, selaras, dan seimbang, sebagai umat beragama, sebagai masyarakat maupun warga negara.
Diera reformasi menuju Indonesia baru mari kita berupaya semakin meningkatkan kualitas hidup. Salah satunya adalah bagaimana seharusnya kita bina atau menjalin hubungan toleransi dengan benar. Kita perlu dan wajib membina dan menjalin kehidupan yang penuh dengan toleransi. Apalagi kita sebagai manusia, secara kodrat tidak bisa hidup sendiri. Hal ini berarti seseorang tidak hidup sendirian, tetapi ia berteman, bertetangga, bahkan ajaran agama mengatakan kita tidak boleh membedakan warna kulit, ras, dan golongan. Sikap dan perilaku toleransi dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, di manapun kita berada, baik di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, bahkan berbangsa dan bernegara.
Maka harus dikembangkan budaya toleransi, saling menghormati dan menghargai antar pemeluk. Semua pihak mesti meneguhkan dan mengembangkan sikap-sikap terbuka yang dapat menjadi pintu masuk untuk membangun pondasi keberagaman yang kuat untuk kesejahteraan semua umat. Kerjasama antar pemeluk sangat diperlukan.
BAB II
PEMBAHASAN
Belakangan ini marak berbagai bentuk tindak kekerasan sebagai wujud sikap intoleran terhadap sesama, yang berbeda agama, keyakinan dan suku. Tindak kekerasan terhadap kelompok Ahmadiah, pengrusakan gereja di Temanggung, bom buku, bom bunuh diri di Cirebon telah menodai rasa aman di ruang publik dan merusak kerukunan hidup bersama di tanah air kita. Situasi seperti ini harus menjadi keprihatinan semua warga Indonesia terlebih pihak-pihak yang bertanggungjawab dan patut dicermati secara jeli guna mengambil langkah-langkah bijak untuk pencegahan. Salah satu langkah bijak untuk mencegah segala bentuk tindakan intoleransi adalah membangun budaya toleransi. Membangun budaya toleransi itulah menjadi tema pembahasan dalam tulisan ini. Namun sebelum membahas tentang budaya toleransi, terlebih dahulu harus dibahas tentang budaya intoleransi.
Intoleransi sama seperti toleransi merupakan sikap manusia. Sikap dalam ilmu psikologi sosial diartikan sebagai suatu kecenderungan untuk berperilaku yang dipelajari dan sifatnya bertahan dalam relasi dengan obyek sosial tertentu. Krech D. dan Crutchfield R.S mendefinisikan sikap sebagai suatu sistem evaluasi positif atau negatif yang sifatnya bertahan, perasaan-perasaan dan kecenderungan-kecenderungan pro dan kontra terhadap obyek sosial tertentu (Sikap Manusia, Prof Dr. Mar’at, hal. 9). Dalam kerangka definisi sikap tersebut di atas, intoleransi dapat dipahami sebagai suatu kecenderungan manusia yang kontra terhadap objek sosial tertentu, dalam hal ini sesama manusia, karena dia berseberangan dalam eksistensinya.
Intoleransi sebagai suatu sikap mengandung tiga unsur atau aspek yakni aspek kognitif, aspek affektif, dan aspek psikomotoris. Sikap intoleransi dibangun berdasarkan evaluasi, pemahaman, keyakinan negatif seseorang terhadap orang dari kelompok lain. Pemahaman yang menyulut sikap intoleransi tidak hanya bersifat negatif, tetapi juga keliru. Pemahaman itu karena sifatnya negatif, akan membangkitkan emosi negatif (affektif) yakni rasa tidak senang, antipati, membenci dlsb dan pada gilirannya akan memicu kecenderungan berperilaku (psikomotoris) yang kontra terhadap orang tertentu berupa kekerasan dalam berbagai bentuk.
Intoleransi jelas terbentuk dari pemahaman negatif bahkan keliru yang diterima atau diindokrinasikan dalam diri seseorang. Pemahaman negatif dan keliru itu bisa berasal dari sebuah ideologi atau paham tertentu yang dicetuskan oleh orang tertentu. Pemahaman itu perlahan mengental dalam diri seseorang karena pengulangan dan penguatan yang dilakukan secara terus-menerus. Proses internalisasi seperti itu dapat berupa pencucian otak, sehingga otak orang itu hanya diisi oleh pemahaman yang diterimanya. Pemahaman negatif tentang kelompok tertentu yang berbasis agama atau kepercayaan atau suku tertentu seperti misalnya dianggap kafir dan dikutuk oleh Allah, pasti akan mengobarkan perasaan benci dan menyulut tindak kekerasan terhadap orang-orang dari kelompok yang dibenci itu.
Tindakan intoleran kalau dibiarkan, akan dianggap biasa. Lalu lahirlah budaya intoleransi. Bila intoleransi sudah menjadi budaya, maka upaya untuk membasminya menjadi mustahil. Budaya intoleransi termasuk budaya kematian, karena intoleransi membuahkan kematian pada keolompok tertentu, agama atau keyakinan tertentu. Agama atau keyakinan lain dilihat sebagai momok atau musuh yang harus diganyang dan tidak bisa diberi tempat untuk boleh berada di bumi manusia ini. Jelas, budaya intoleransi bertentangan dengan hak asasi manusia, karena setiap orang dari kodratnya berhak untuk memilih dan menghayati agama atau keyakinannya. Hak asasi itu dijamin oleh konstitusi bahkan oleh piagam PBB. Karena itu budaya intoleransi tidak boleh ditolerir.
Setelah dijabarkan mengenai budaya intoleransi maka kita juga perlu memahami apa itu budaya toleransi. Toleransi berasal dari bahasa Latin yakni dari kata kerja tolerare yang berati membiarkan, menyabarkan. Dari kosa kata bahasa Latin itulah lahir kata toleransi. Tentu saja toleransi yang dibangun menjadi satu budaya tidak dalam arti sempit seperti itu yakni hanya sekedar membiarkan orang lain, kelompok lain, agama atau keyakinan lain berada di bumi manusia ini. Menurut Frans Magnis Suseno, “Toleransi bukan dalam arti asal membiarkan saja, melainkan sebagai penerimaan tulus terhadap saudara dalam kekhasannya, bahkan dalam kelainannya. Baru itu toleransi, di mana kita menerima yang lain sebagai yang lain.” ( Menggalang Persatuan Indonesia Baru, hal 57).
Toleransi dalam arti seperti itu oleh Magnis Suseno dimaksudkan sebagai toleransi positif. Toleransi positif menghormati pihak lain dalam kekhasannya, dalam identitas mereka, dalam kelainan mereka. Kita tidak beriman sama. Kita tidak meyakini hal-hal yang paling khas bagi mereka, tetapi kita menghormati mereka. Kita menerima bahwa mereka dengan jujur meyakini sesuatu yang tidak mungkin kita yakini. Dalam hal ini kita sadar bahwa Allah Bapa kita jauh lebih agung dan luas daripada hati kita dan kita menyerahkan kepada Allah bagaimana Ia memandang saudara-saudara yang berlainan agamanya.
Dasar dari sikap toleransi adalah anggapan atau keyakinan bahwa keberagaman (pluriformitas) adalah ciptaan dan karunia Tuhan yang patut kita syukuri. Seandainya Tuhan tidak menghendaki adanya keberagaman, sudah lama dibasmi oleh Tuhan atau tidak akan diciptakan. Kenyataan lain yang tak dapat diingkari adalah tidak seorang pun sebelum lahir ke dunia, diminta untuk memilih suku, agama atau keyakinan yang akan dianuti sesudah kelahiran. Setiap orang menerima apa yang sudah diberikan Tuhan kepadanya. Keberagaman adalah suatu keniscayaan yang harus diterima setiap penghuni bumi ini. Kalau keyakinan dasar ini bisa diterima dan dihayati semua orang, orang akan saling menghargai dan mengasihi. Orang yang berbeda bukan musuh tetapi adalah saudara dalam keluarga Allah.
Hak untuk berbeda dalam eksistensi bukan suatu pemberian dari seseorang, tetapi melekat pada kodrat manusia itu sendiri atau dengan kata lain merupakan pemberian Tuhan. Karena itu mau tidak mau hak untuk berbeda harus diakui dan dihargai oleh setiap orang. Sebab itu budaya intoleransi merupakan suatu pengingkaran terhadap kodrat manusia. Budaya intoleransi dengan demikian merupakan suatu bentuk alienasi dari diri sendiri, karena sadar atau tidak sadar seseorang telah mengingkari apa yang melekat pada dirinya.
Budaya toleransi terbentuk dari rangkaian kebiasaan berperilaku yang mengkristalkan sikap saling menghargai dan mengasihi di antara orang-orang dengan latar belakang pluriformistis. Sudah pasti membangun budaya toleransi membutuhkan sebuah proses yang kadang memakan waktu yang cukup panjang. Hal terpenting dalam membangun budaya toleransi adalah menularkan perilaku saling menghargai dan mengasihi di tengah masyarakat Indonesia yang beranekaragam ini.
Intoleransi dan toleransi dibangun berdasarkan keyakinan atau pemahaman yang diperoleh seseorang dan diinternalisir dalam dirinya. Karena itu hal terpenting yang harus diupayakan dalam membangun budaya toleransi adalah mentransferkan pemahaman atau keyakinan yang benar dan positif tentang keanekaan manusia yakni sebagai suatu anugerah Tuhan yang membuat bumi ini indah untuk dihuni bersama. Keanekaragaman umat manusia dalam berbagai aspek seperti suku, agama dan keyakinan harus dipandang sebagai aneka kembang warna-warni yang membuat bumi ini menjadi sebuah taman yang luar biasa indah bagi umat manusia.
Dari berbagai aspek keanekaragaman itu agama merupakan unsur yang sangat sensitif dan mudah menyulut perasaan negatif terhadap kelompok agama lain. Karena itu toleransi positif harus dibangun terutama dalam konteks keragaman agama. Para pemuka agama harus menanamkan pandangan yang positif terhadap agama-agama di dunia dalam diri setiap umatnya sejak dini. Untuk itu dibutuhkan suatu pembaharuan pandangan terhadap agama-agama di dunia. Gereja Katolik sejak Konsili Vatikan II telah mencanangkan perubahan sikap terhadap agama-agama non Kristen di dunia. “Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkan sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang.” (Nostra Aetate, Dokumen Konsili Vatikan II, hal. 311). Perubahan serupa diharapkan diembuskan dalam semua agama di dunia. Sehingga tidak ada pemeluk agama yang mengkafirkan pemeluk agama yang lain.
Perubahan pandangan terhadap agama lain dan pemeluknya harus ditanamkan sejak usia dini mulai dari keluarga dan berlanjut dalam pendidikan formal sejak TK. Perubahan pandangan itu harus dimantapkan dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat. Para pemuka dan tokoh agama diharapkan memainkan peran strategis sebagai agen perubahan itu lewat mimbar resmi maupun tak resmi di tengah masyarakat.
Perubahan pandangan itu harus diperkuat dengan perilaku yang mendukung. Umat beragama harus berupaya untuk saling mengenal dengan mengadakan silahturahmi kepada saudara-saudara dari agama lain. Misalnya, pada hari raya agama tertentu. Pada hari raya Idulfitri umat non islam bersilahturahmi kepada saudara-saudara umat muslim. Sebaliknya pada hari raya Natal umat muslim dan non Kristen lain bersilahturahmi kepada saudara-saudara yang beragama Kristen. Perilaku kunjung mengunjung seperti itu kiranya tidak hanya terbatas pada hari raya, tetapi juga bilamana tetangga yang beragama lain mengalami duka atau kemalangan atau acara-acara lainnya. Budaya silahturahmi kiranya melahirkan belarasa dengan sesama tanpa peduli latar belakang agama dan sukunya.
Selain perilaku seperti saling mengunjungi, dapat diadakan dialog iman di antara umat yang berbeda agama. Dalam dialog iman setiap orang diajak untuk mensharingkan atau membagikan kekayaan pengalaman imannya kepada yang lain. Dengan demikian orang boleh berbeda agama tetapi dapat bersatu dalam iman. Karena sesungguhnya kita mengimani Allah yang sama sebagai Bapa dari semua orang beriman, yang mengasihi semua orang, tidak hanya orang baik tetapi juga orang jahat (Mt. 5: 45). Dialog iman memperluas wawasan iman seseorang. Teologi yang dianuti pun dapat diperkaya. Allah diyakini sebagai Bapa yang kasih-Nya tak terbatas. Dialah yang menciptakan semua umat manusia di dunia dengan keanekaragamannya. Allah adalah Bapa dari semua orang dan semua orang adalah saudara. Dialog iman memberikan pencerahan kepada semua umat beragama untuk melihat umat beragama lain sebagai saudara. “Manusia adalah umat yang satu” al-Quran II:213 (Johan Effendy, Menggalang Persatuan Indonesia Baru, hal. 44).
Dialog iman harus didukung juga dengan dialog kehidupan. Dialog kehidupan merupakan penerjemahan atau penghayatan iman dalam kehidupan. Dalam dialog kehidupan orang berjumpa untuk saling berbagi kasih, kebaikan, suka dan duka. Dialog kehidupan dapat dilakukan ketika terjadi bencana alam seperti banjir atau gunung meletus sebagaimana ketika gunung Merapi meletus. Di saat seperti itu sekat-sekat agama yang sering memisahkan umat beragama tersingkir secara spontan. Dan tampillah manusia dalam kehakikiannya tanpa sekat-sekat keragaman yang memisahkan. Itulah fitrah dasar kita umat manusia yang harus menjadi mimpi kita bersama. Dialog kehidupan tidak harus menunggu sampai terjadi suatu bencana bersama atau musuh bersama, tetapi harus terjadi dalam keseharian hidup lewat hal kecil atau yang biasa. Kalau ada tetangga yang sakit atau punya hajatan, orang dapat ikut berbagi untuk saling membantu. Lewat dialog kehidupan dalam keseharian perlahan menghapus sekat-sekat pemisahan dan akan menyuburkan budaya toleransi di antara umat manusia.
Perubahan pandangan tentang keragaman dan perilaku yang mengikutinya, harus dilakukan berulang-ulang sampai tertanam kuat dalam diri setiap umat beragama dan menjadi kebiasaan. Hidup bersama dengan orang lain dalam perbedaannya diterima sebagai suatu keniscayaan yang tidak lagi dipermasalahkan, karena tidak berpotensi mewnimbulkan masalah. Maka lahirlah budaya toleransi. Tentu saja harus dicamkan bahwa budaya toleransi membutuhkan suatu proses yang panjang. Karena itu dibutuhkan ketekunan dan komitmen untuk berbuat member kontribusi bagi mantapnya budaya toleransi. Ada sebuah ungkapan mengatakan, “Daripada mengutuki kegelapan, lebih baik menyalakan sebatang lilin”. Senada dengan itu dapat dikatakan juga, “Daripada mengutuki budaya intoleransi, lebih baik melakukan satu hal kecil untuk untuk membangun budaya toleransi.
BAB III
KESIMPULAN
Keberagaman adalah anugerah yang bersifat kodrati. Ia adalah sebuah keniscayaan yang pasti akan terjadi di dalam kehidupan sekitar walau sekeras apapun masyarakat menentang. Sungguh, betapa indahnya hidup damai dalam keberagaman, namun di era reformasai keragaman atau kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban, hal ini terlihat dari munculnya berbagai masalah yang sumbernya berbau keragamanan, khusunya bidang agama. Agama yang seharusnya menjadi solusi atas berbagai masalah sosial, justru memicu timbunya masalah sosial.
Untuk mencegah dan menanggulangi berbagai permasalahan sosial perlu dibangun dan dikembangkan toleransi dalam kehidupan pada masyarakat majemuk. Untuk membangunn budaya toleransi perlu adanya dialog antar umat beragama dimana masing-masing bisa saling menghargai dan menghormati perbedaan diantara mereka. Dengan berkembangnya budaya toleransi maka akan terjalinnya hubungan antar anggota dari berbagai kelompok, hal ini dapat menetralisir terjadinya konflik-konflik sosial dan tidak khawatir akan terjadinya fanatisme sempit serta sentiment yang bersifat primordial
Keanekaragaman itu bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan. Dari perbedaan-perbedaan itu seharusnya kita memiliki tujuan dan cita-cita perjuangan yang sama, yaitu mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual tentram dan damai berdasarkan Pancasila. Apalagi situasi negara kita sedang menata kehidupan yang lebih baik, melakukan reformasi di semua bidang menuju Indonesia Baru yang demokratis adil dan makmur serta berkedaulatan rakyat. Hal seperti ini sangat diperlukan kesadaran bertoleransi yang tinggi untuk saling menghargai guna menciptakan kehidupan yang tenteram dan damai.
Indahnya bumi ini untuk dihuni bersama tidak datang dari langit, tapi harus diupayakan bersama oleh semua penghuni bumi dengan latar belakang yang sangat beraneka. Itu berarti memberi kontribusi guna terciptanya sebuah bumi baru yang lebih indah bukan lagi merupakan suatu pilihan tetapi suatu keharusan. Bumi ini akan menjadi firdaus atau neraka tergantung pada setiap penghuninya. Karena itu membangun budaya toleransi merupakan pilihan yang tidak bisa ditawar-tawar dan menuntut komitmen total dari semua orang. Semoga firdaus yang hilang akan ditemukan kembali dalam kebersamaan hidup yang penuh toleransi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mar’at Dr, Prof, Sikap Manusia Perubahan serta Pengukurannya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981.
2. Widyahadi Seputra et al (ed), Menggalang persatuan Indonesia Baru, Komisi PSE/APP, Jakarta, 2000.
3. Hardawiryana, R, SJ, Dokumen Konsili Vatikan II (terj), OBOR, Jakarta, 1993
4. Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1981.
http://elcom.umy.ac.id/elschool/muallimin_muhammadiyah/file.php/1/materi/PPKn/TOLERANSI.pdf
MEMBANGUN BUDAYA TOLERANSI
BAB I
PENDAHULUAN
Negara dan bangsa Indonesia pernah digoncang oleh perpecahan yang berawal dari kemajemukan masyarakat. Di dalam kemajemukan itu ada kelompok-kelompok tertentu yang mau memisahkan diri dari negara kesatuan. Konflik-konflik tersebut dapat terjadi karena satu faktor perbedaan, misalnya faktor agama. Namun tidak jarang perpecahan itu disebabkan oleh beberapa faktor secara bersama, misalnya kerusuhan ras yang ditunjang oleh perbedaan kondisi ekonomi, agama, dan budaya. Cobalah kita renungkan mengapa terjadi peristiwa perkelahian, tawuran bahkan permusuhan antar etnis di negeri kita. Contoh di Aceh, peristiwa di Sampit, Sambas, Ambon dan lain-lainnya yang kalau ditulis sungguh memalukan dan memilukan hati dan perasaan kita. Dari contoh peristiwa yang tidak semuanya disebutkan itu, bagaimana menurut pendapat Anda? Pasti Anda tidak menghendaki peristiwa itu terjadi bukan? Karena peristiwa itu apapun alasannya yang pasti akan menghancurkan masa depan anak-anak bangsa, martabat serta harga diri bangsa. Kita tidak ingin bangsa Indonesia terpecah-pecah saling bermusuhan satu sama lain karena masalah agama. Kita ingin hidup tertib, aman, dan damai, saling menghormati dan saling menghargai agama dan keyakinan masing-masing. Untuk itu kita harus dapat menciptakan kehidupan umat beragama yang serasi, selaras, dan seimbang, sebagai umat beragama, sebagai masyarakat maupun warga negara.
Diera reformasi menuju Indonesia baru mari kita berupaya semakin meningkatkan kualitas hidup. Salah satunya adalah bagaimana seharusnya kita bina atau menjalin hubungan toleransi dengan benar. Kita perlu dan wajib membina dan menjalin kehidupan yang penuh dengan toleransi. Apalagi kita sebagai manusia, secara kodrat tidak bisa hidup sendiri. Hal ini berarti seseorang tidak hidup sendirian, tetapi ia berteman, bertetangga, bahkan ajaran agama mengatakan kita tidak boleh membedakan warna kulit, ras, dan golongan. Sikap dan perilaku toleransi dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, di manapun kita berada, baik di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, bahkan berbangsa dan bernegara.
Maka harus dikembangkan budaya toleransi, saling menghormati dan menghargai antar pemeluk. Semua pihak mesti meneguhkan dan mengembangkan sikap-sikap terbuka yang dapat menjadi pintu masuk untuk membangun pondasi keberagaman yang kuat untuk kesejahteraan semua umat. Kerjasama antar pemeluk sangat diperlukan.
BAB II
PEMBAHASAN
Belakangan ini marak berbagai bentuk tindak kekerasan sebagai wujud sikap intoleran terhadap sesama, yang berbeda agama, keyakinan dan suku. Tindak kekerasan terhadap kelompok Ahmadiah, pengrusakan gereja di Temanggung, bom buku, bom bunuh diri di Cirebon telah menodai rasa aman di ruang publik dan merusak kerukunan hidup bersama di tanah air kita. Situasi seperti ini harus menjadi keprihatinan semua warga Indonesia terlebih pihak-pihak yang bertanggungjawab dan patut dicermati secara jeli guna mengambil langkah-langkah bijak untuk pencegahan. Salah satu langkah bijak untuk mencegah segala bentuk tindakan intoleransi adalah membangun budaya toleransi. Membangun budaya toleransi itulah menjadi tema pembahasan dalam tulisan ini. Namun sebelum membahas tentang budaya toleransi, terlebih dahulu harus dibahas tentang budaya intoleransi.
Intoleransi sama seperti toleransi merupakan sikap manusia. Sikap dalam ilmu psikologi sosial diartikan sebagai suatu kecenderungan untuk berperilaku yang dipelajari dan sifatnya bertahan dalam relasi dengan obyek sosial tertentu. Krech D. dan Crutchfield R.S mendefinisikan sikap sebagai suatu sistem evaluasi positif atau negatif yang sifatnya bertahan, perasaan-perasaan dan kecenderungan-kecenderungan pro dan kontra terhadap obyek sosial tertentu (Sikap Manusia, Prof Dr. Mar’at, hal. 9). Dalam kerangka definisi sikap tersebut di atas, intoleransi dapat dipahami sebagai suatu kecenderungan manusia yang kontra terhadap objek sosial tertentu, dalam hal ini sesama manusia, karena dia berseberangan dalam eksistensinya.
Intoleransi sebagai suatu sikap mengandung tiga unsur atau aspek yakni aspek kognitif, aspek affektif, dan aspek psikomotoris. Sikap intoleransi dibangun berdasarkan evaluasi, pemahaman, keyakinan negatif seseorang terhadap orang dari kelompok lain. Pemahaman yang menyulut sikap intoleransi tidak hanya bersifat negatif, tetapi juga keliru. Pemahaman itu karena sifatnya negatif, akan membangkitkan emosi negatif (affektif) yakni rasa tidak senang, antipati, membenci dlsb dan pada gilirannya akan memicu kecenderungan berperilaku (psikomotoris) yang kontra terhadap orang tertentu berupa kekerasan dalam berbagai bentuk.
Intoleransi jelas terbentuk dari pemahaman negatif bahkan keliru yang diterima atau diindokrinasikan dalam diri seseorang. Pemahaman negatif dan keliru itu bisa berasal dari sebuah ideologi atau paham tertentu yang dicetuskan oleh orang tertentu. Pemahaman itu perlahan mengental dalam diri seseorang karena pengulangan dan penguatan yang dilakukan secara terus-menerus. Proses internalisasi seperti itu dapat berupa pencucian otak, sehingga otak orang itu hanya diisi oleh pemahaman yang diterimanya. Pemahaman negatif tentang kelompok tertentu yang berbasis agama atau kepercayaan atau suku tertentu seperti misalnya dianggap kafir dan dikutuk oleh Allah, pasti akan mengobarkan perasaan benci dan menyulut tindak kekerasan terhadap orang-orang dari kelompok yang dibenci itu.
Tindakan intoleran kalau dibiarkan, akan dianggap biasa. Lalu lahirlah budaya intoleransi. Bila intoleransi sudah menjadi budaya, maka upaya untuk membasminya menjadi mustahil. Budaya intoleransi termasuk budaya kematian, karena intoleransi membuahkan kematian pada keolompok tertentu, agama atau keyakinan tertentu. Agama atau keyakinan lain dilihat sebagai momok atau musuh yang harus diganyang dan tidak bisa diberi tempat untuk boleh berada di bumi manusia ini. Jelas, budaya intoleransi bertentangan dengan hak asasi manusia, karena setiap orang dari kodratnya berhak untuk memilih dan menghayati agama atau keyakinannya. Hak asasi itu dijamin oleh konstitusi bahkan oleh piagam PBB. Karena itu budaya intoleransi tidak boleh ditolerir.
Setelah dijabarkan mengenai budaya intoleransi maka kita juga perlu memahami apa itu budaya toleransi. Toleransi berasal dari bahasa Latin yakni dari kata kerja tolerare yang berati membiarkan, menyabarkan. Dari kosa kata bahasa Latin itulah lahir kata toleransi. Tentu saja toleransi yang dibangun menjadi satu budaya tidak dalam arti sempit seperti itu yakni hanya sekedar membiarkan orang lain, kelompok lain, agama atau keyakinan lain berada di bumi manusia ini. Menurut Frans Magnis Suseno, “Toleransi bukan dalam arti asal membiarkan saja, melainkan sebagai penerimaan tulus terhadap saudara dalam kekhasannya, bahkan dalam kelainannya. Baru itu toleransi, di mana kita menerima yang lain sebagai yang lain.” ( Menggalang Persatuan Indonesia Baru, hal 57).
Toleransi dalam arti seperti itu oleh Magnis Suseno dimaksudkan sebagai toleransi positif. Toleransi positif menghormati pihak lain dalam kekhasannya, dalam identitas mereka, dalam kelainan mereka. Kita tidak beriman sama. Kita tidak meyakini hal-hal yang paling khas bagi mereka, tetapi kita menghormati mereka. Kita menerima bahwa mereka dengan jujur meyakini sesuatu yang tidak mungkin kita yakini. Dalam hal ini kita sadar bahwa Allah Bapa kita jauh lebih agung dan luas daripada hati kita dan kita menyerahkan kepada Allah bagaimana Ia memandang saudara-saudara yang berlainan agamanya.
Dasar dari sikap toleransi adalah anggapan atau keyakinan bahwa keberagaman (pluriformitas) adalah ciptaan dan karunia Tuhan yang patut kita syukuri. Seandainya Tuhan tidak menghendaki adanya keberagaman, sudah lama dibasmi oleh Tuhan atau tidak akan diciptakan. Kenyataan lain yang tak dapat diingkari adalah tidak seorang pun sebelum lahir ke dunia, diminta untuk memilih suku, agama atau keyakinan yang akan dianuti sesudah kelahiran. Setiap orang menerima apa yang sudah diberikan Tuhan kepadanya. Keberagaman adalah suatu keniscayaan yang harus diterima setiap penghuni bumi ini. Kalau keyakinan dasar ini bisa diterima dan dihayati semua orang, orang akan saling menghargai dan mengasihi. Orang yang berbeda bukan musuh tetapi adalah saudara dalam keluarga Allah.
Hak untuk berbeda dalam eksistensi bukan suatu pemberian dari seseorang, tetapi melekat pada kodrat manusia itu sendiri atau dengan kata lain merupakan pemberian Tuhan. Karena itu mau tidak mau hak untuk berbeda harus diakui dan dihargai oleh setiap orang. Sebab itu budaya intoleransi merupakan suatu pengingkaran terhadap kodrat manusia. Budaya intoleransi dengan demikian merupakan suatu bentuk alienasi dari diri sendiri, karena sadar atau tidak sadar seseorang telah mengingkari apa yang melekat pada dirinya.
Budaya toleransi terbentuk dari rangkaian kebiasaan berperilaku yang mengkristalkan sikap saling menghargai dan mengasihi di antara orang-orang dengan latar belakang pluriformistis. Sudah pasti membangun budaya toleransi membutuhkan sebuah proses yang kadang memakan waktu yang cukup panjang. Hal terpenting dalam membangun budaya toleransi adalah menularkan perilaku saling menghargai dan mengasihi di tengah masyarakat Indonesia yang beranekaragam ini.
Intoleransi dan toleransi dibangun berdasarkan keyakinan atau pemahaman yang diperoleh seseorang dan diinternalisir dalam dirinya. Karena itu hal terpenting yang harus diupayakan dalam membangun budaya toleransi adalah mentransferkan pemahaman atau keyakinan yang benar dan positif tentang keanekaan manusia yakni sebagai suatu anugerah Tuhan yang membuat bumi ini indah untuk dihuni bersama. Keanekaragaman umat manusia dalam berbagai aspek seperti suku, agama dan keyakinan harus dipandang sebagai aneka kembang warna-warni yang membuat bumi ini menjadi sebuah taman yang luar biasa indah bagi umat manusia.
Dari berbagai aspek keanekaragaman itu agama merupakan unsur yang sangat sensitif dan mudah menyulut perasaan negatif terhadap kelompok agama lain. Karena itu toleransi positif harus dibangun terutama dalam konteks keragaman agama. Para pemuka agama harus menanamkan pandangan yang positif terhadap agama-agama di dunia dalam diri setiap umatnya sejak dini. Untuk itu dibutuhkan suatu pembaharuan pandangan terhadap agama-agama di dunia. Gereja Katolik sejak Konsili Vatikan II telah mencanangkan perubahan sikap terhadap agama-agama non Kristen di dunia. “Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkan sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang.” (Nostra Aetate, Dokumen Konsili Vatikan II, hal. 311). Perubahan serupa diharapkan diembuskan dalam semua agama di dunia. Sehingga tidak ada pemeluk agama yang mengkafirkan pemeluk agama yang lain.
Perubahan pandangan terhadap agama lain dan pemeluknya harus ditanamkan sejak usia dini mulai dari keluarga dan berlanjut dalam pendidikan formal sejak TK. Perubahan pandangan itu harus dimantapkan dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat. Para pemuka dan tokoh agama diharapkan memainkan peran strategis sebagai agen perubahan itu lewat mimbar resmi maupun tak resmi di tengah masyarakat.
Perubahan pandangan itu harus diperkuat dengan perilaku yang mendukung. Umat beragama harus berupaya untuk saling mengenal dengan mengadakan silahturahmi kepada saudara-saudara dari agama lain. Misalnya, pada hari raya agama tertentu. Pada hari raya Idulfitri umat non islam bersilahturahmi kepada saudara-saudara umat muslim. Sebaliknya pada hari raya Natal umat muslim dan non Kristen lain bersilahturahmi kepada saudara-saudara yang beragama Kristen. Perilaku kunjung mengunjung seperti itu kiranya tidak hanya terbatas pada hari raya, tetapi juga bilamana tetangga yang beragama lain mengalami duka atau kemalangan atau acara-acara lainnya. Budaya silahturahmi kiranya melahirkan belarasa dengan sesama tanpa peduli latar belakang agama dan sukunya.
Selain perilaku seperti saling mengunjungi, dapat diadakan dialog iman di antara umat yang berbeda agama. Dalam dialog iman setiap orang diajak untuk mensharingkan atau membagikan kekayaan pengalaman imannya kepada yang lain. Dengan demikian orang boleh berbeda agama tetapi dapat bersatu dalam iman. Karena sesungguhnya kita mengimani Allah yang sama sebagai Bapa dari semua orang beriman, yang mengasihi semua orang, tidak hanya orang baik tetapi juga orang jahat (Mt. 5: 45). Dialog iman memperluas wawasan iman seseorang. Teologi yang dianuti pun dapat diperkaya. Allah diyakini sebagai Bapa yang kasih-Nya tak terbatas. Dialah yang menciptakan semua umat manusia di dunia dengan keanekaragamannya. Allah adalah Bapa dari semua orang dan semua orang adalah saudara. Dialog iman memberikan pencerahan kepada semua umat beragama untuk melihat umat beragama lain sebagai saudara. “Manusia adalah umat yang satu” al-Quran II:213 (Johan Effendy, Menggalang Persatuan Indonesia Baru, hal. 44).
Dialog iman harus didukung juga dengan dialog kehidupan. Dialog kehidupan merupakan penerjemahan atau penghayatan iman dalam kehidupan. Dalam dialog kehidupan orang berjumpa untuk saling berbagi kasih, kebaikan, suka dan duka. Dialog kehidupan dapat dilakukan ketika terjadi bencana alam seperti banjir atau gunung meletus sebagaimana ketika gunung Merapi meletus. Di saat seperti itu sekat-sekat agama yang sering memisahkan umat beragama tersingkir secara spontan. Dan tampillah manusia dalam kehakikiannya tanpa sekat-sekat keragaman yang memisahkan. Itulah fitrah dasar kita umat manusia yang harus menjadi mimpi kita bersama. Dialog kehidupan tidak harus menunggu sampai terjadi suatu bencana bersama atau musuh bersama, tetapi harus terjadi dalam keseharian hidup lewat hal kecil atau yang biasa. Kalau ada tetangga yang sakit atau punya hajatan, orang dapat ikut berbagi untuk saling membantu. Lewat dialog kehidupan dalam keseharian perlahan menghapus sekat-sekat pemisahan dan akan menyuburkan budaya toleransi di antara umat manusia.
Perubahan pandangan tentang keragaman dan perilaku yang mengikutinya, harus dilakukan berulang-ulang sampai tertanam kuat dalam diri setiap umat beragama dan menjadi kebiasaan. Hidup bersama dengan orang lain dalam perbedaannya diterima sebagai suatu keniscayaan yang tidak lagi dipermasalahkan, karena tidak berpotensi mewnimbulkan masalah. Maka lahirlah budaya toleransi. Tentu saja harus dicamkan bahwa budaya toleransi membutuhkan suatu proses yang panjang. Karena itu dibutuhkan ketekunan dan komitmen untuk berbuat member kontribusi bagi mantapnya budaya toleransi. Ada sebuah ungkapan mengatakan, “Daripada mengutuki kegelapan, lebih baik menyalakan sebatang lilin”. Senada dengan itu dapat dikatakan juga, “Daripada mengutuki budaya intoleransi, lebih baik melakukan satu hal kecil untuk untuk membangun budaya toleransi.
BAB III
KESIMPULAN
Keberagaman adalah anugerah yang bersifat kodrati. Ia adalah sebuah keniscayaan yang pasti akan terjadi di dalam kehidupan sekitar walau sekeras apapun masyarakat menentang. Sungguh, betapa indahnya hidup damai dalam keberagaman, namun di era reformasai keragaman atau kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban, hal ini terlihat dari munculnya berbagai masalah yang sumbernya berbau keragamanan, khusunya bidang agama. Agama yang seharusnya menjadi solusi atas berbagai masalah sosial, justru memicu timbunya masalah sosial.
Untuk mencegah dan menanggulangi berbagai permasalahan sosial perlu dibangun dan dikembangkan toleransi dalam kehidupan pada masyarakat majemuk. Untuk membangunn budaya toleransi perlu adanya dialog antar umat beragama dimana masing-masing bisa saling menghargai dan menghormati perbedaan diantara mereka. Dengan berkembangnya budaya toleransi maka akan terjalinnya hubungan antar anggota dari berbagai kelompok, hal ini dapat menetralisir terjadinya konflik-konflik sosial dan tidak khawatir akan terjadinya fanatisme sempit serta sentiment yang bersifat primordial
Keanekaragaman itu bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan. Dari perbedaan-perbedaan itu seharusnya kita memiliki tujuan dan cita-cita perjuangan yang sama, yaitu mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual tentram dan damai berdasarkan Pancasila. Apalagi situasi negara kita sedang menata kehidupan yang lebih baik, melakukan reformasi di semua bidang menuju Indonesia Baru yang demokratis adil dan makmur serta berkedaulatan rakyat. Hal seperti ini sangat diperlukan kesadaran bertoleransi yang tinggi untuk saling menghargai guna menciptakan kehidupan yang tenteram dan damai.
Indahnya bumi ini untuk dihuni bersama tidak datang dari langit, tapi harus diupayakan bersama oleh semua penghuni bumi dengan latar belakang yang sangat beraneka. Itu berarti memberi kontribusi guna terciptanya sebuah bumi baru yang lebih indah bukan lagi merupakan suatu pilihan tetapi suatu keharusan. Bumi ini akan menjadi firdaus atau neraka tergantung pada setiap penghuninya. Karena itu membangun budaya toleransi merupakan pilihan yang tidak bisa ditawar-tawar dan menuntut komitmen total dari semua orang. Semoga firdaus yang hilang akan ditemukan kembali dalam kebersamaan hidup yang penuh toleransi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mar’at Dr, Prof, Sikap Manusia Perubahan serta Pengukurannya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981.
2. Widyahadi Seputra et al (ed), Menggalang persatuan Indonesia Baru, Komisi PSE/APP, Jakarta, 2000.
3. Hardawiryana, R, SJ, Dokumen Konsili Vatikan II (terj), OBOR, Jakarta, 1993
4. Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1981.
http://elcom.umy.ac.id/elschool/muallimin_muhammadiyah/file.php/1/materi/PPKn/TOLERANSI.pdf
MEMBANGUN BUDAYA TOLERANSI
BAB I
PENDAHULUAN
Negara dan bangsa Indonesia pernah digoncang oleh perpecahan yang berawal dari kemajemukan masyarakat. Di dalam kemajemukan itu ada kelompok-kelompok tertentu yang mau memisahkan diri dari negara kesatuan. Konflik-konflik tersebut dapat terjadi karena satu faktor perbedaan, misalnya faktor agama. Namun tidak jarang perpecahan itu disebabkan oleh beberapa faktor secara bersama, misalnya kerusuhan ras yang ditunjang oleh perbedaan kondisi ekonomi, agama, dan budaya. Cobalah kita renungkan mengapa terjadi peristiwa perkelahian, tawuran bahkan permusuhan antar etnis di negeri kita. Contoh di Aceh, peristiwa di Sampit, Sambas, Ambon dan lain-lainnya yang kalau ditulis sungguh memalukan dan memilukan hati dan perasaan kita. Dari contoh peristiwa yang tidak semuanya disebutkan itu, bagaimana menurut pendapat Anda? Pasti Anda tidak menghendaki peristiwa itu terjadi bukan? Karena peristiwa itu apapun alasannya yang pasti akan menghancurkan masa depan anak-anak bangsa, martabat serta harga diri bangsa. Kita tidak ingin bangsa Indonesia terpecah-pecah saling bermusuhan satu sama lain karena masalah agama. Kita ingin hidup tertib, aman, dan damai, saling menghormati dan saling menghargai agama dan keyakinan masing-masing. Untuk itu kita harus dapat menciptakan kehidupan umat beragama yang serasi, selaras, dan seimbang, sebagai umat beragama, sebagai masyarakat maupun warga negara.
Diera reformasi menuju Indonesia baru mari kita berupaya semakin meningkatkan kualitas hidup. Salah satunya adalah bagaimana seharusnya kita bina atau menjalin hubungan toleransi dengan benar. Kita perlu dan wajib membina dan menjalin kehidupan yang penuh dengan toleransi. Apalagi kita sebagai manusia, secara kodrat tidak bisa hidup sendiri. Hal ini berarti seseorang tidak hidup sendirian, tetapi ia berteman, bertetangga, bahkan ajaran agama mengatakan kita tidak boleh membedakan warna kulit, ras, dan golongan. Sikap dan perilaku toleransi dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, di manapun kita berada, baik di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, bahkan berbangsa dan bernegara.
Maka harus dikembangkan budaya toleransi, saling menghormati dan menghargai antar pemeluk. Semua pihak mesti meneguhkan dan mengembangkan sikap-sikap terbuka yang dapat menjadi pintu masuk untuk membangun pondasi keberagaman yang kuat untuk kesejahteraan semua umat. Kerjasama antar pemeluk sangat diperlukan.
BAB II
PEMBAHASAN
Belakangan ini marak berbagai bentuk tindak kekerasan sebagai wujud sikap intoleran terhadap sesama, yang berbeda agama, keyakinan dan suku. Tindak kekerasan terhadap kelompok Ahmadiah, pengrusakan gereja di Temanggung, bom buku, bom bunuh diri di Cirebon telah menodai rasa aman di ruang publik dan merusak kerukunan hidup bersama di tanah air kita. Situasi seperti ini harus menjadi keprihatinan semua warga Indonesia terlebih pihak-pihak yang bertanggungjawab dan patut dicermati secara jeli guna mengambil langkah-langkah bijak untuk pencegahan. Salah satu langkah bijak untuk mencegah segala bentuk tindakan intoleransi adalah membangun budaya toleransi. Membangun budaya toleransi itulah menjadi tema pembahasan dalam tulisan ini. Namun sebelum membahas tentang budaya toleransi, terlebih dahulu harus dibahas tentang budaya intoleransi.
Intoleransi sama seperti toleransi merupakan sikap manusia. Sikap dalam ilmu psikologi sosial diartikan sebagai suatu kecenderungan untuk berperilaku yang dipelajari dan sifatnya bertahan dalam relasi dengan obyek sosial tertentu. Krech D. dan Crutchfield R.S mendefinisikan sikap sebagai suatu sistem evaluasi positif atau negatif yang sifatnya bertahan, perasaan-perasaan dan kecenderungan-kecenderungan pro dan kontra terhadap obyek sosial tertentu (Sikap Manusia, Prof Dr. Mar’at, hal. 9). Dalam kerangka definisi sikap tersebut di atas, intoleransi dapat dipahami sebagai suatu kecenderungan manusia yang kontra terhadap objek sosial tertentu, dalam hal ini sesama manusia, karena dia berseberangan dalam eksistensinya.
Intoleransi sebagai suatu sikap mengandung tiga unsur atau aspek yakni aspek kognitif, aspek affektif, dan aspek psikomotoris. Sikap intoleransi dibangun berdasarkan evaluasi, pemahaman, keyakinan negatif seseorang terhadap orang dari kelompok lain. Pemahaman yang menyulut sikap intoleransi tidak hanya bersifat negatif, tetapi juga keliru. Pemahaman itu karena sifatnya negatif, akan membangkitkan emosi negatif (affektif) yakni rasa tidak senang, antipati, membenci dlsb dan pada gilirannya akan memicu kecenderungan berperilaku (psikomotoris) yang kontra terhadap orang tertentu berupa kekerasan dalam berbagai bentuk.
Intoleransi jelas terbentuk dari pemahaman negatif bahkan keliru yang diterima atau diindokrinasikan dalam diri seseorang. Pemahaman negatif dan keliru itu bisa berasal dari sebuah ideologi atau paham tertentu yang dicetuskan oleh orang tertentu. Pemahaman itu perlahan mengental dalam diri seseorang karena pengulangan dan penguatan yang dilakukan secara terus-menerus. Proses internalisasi seperti itu dapat berupa pencucian otak, sehingga otak orang itu hanya diisi oleh pemahaman yang diterimanya. Pemahaman negatif tentang kelompok tertentu yang berbasis agama atau kepercayaan atau suku tertentu seperti misalnya dianggap kafir dan dikutuk oleh Allah, pasti akan mengobarkan perasaan benci dan menyulut tindak kekerasan terhadap orang-orang dari kelompok yang dibenci itu.
Tindakan intoleran kalau dibiarkan, akan dianggap biasa. Lalu lahirlah budaya intoleransi. Bila intoleransi sudah menjadi budaya, maka upaya untuk membasminya menjadi mustahil. Budaya intoleransi termasuk budaya kematian, karena intoleransi membuahkan kematian pada keolompok tertentu, agama atau keyakinan tertentu. Agama atau keyakinan lain dilihat sebagai momok atau musuh yang harus diganyang dan tidak bisa diberi tempat untuk boleh berada di bumi manusia ini. Jelas, budaya intoleransi bertentangan dengan hak asasi manusia, karena setiap orang dari kodratnya berhak untuk memilih dan menghayati agama atau keyakinannya. Hak asasi itu dijamin oleh konstitusi bahkan oleh piagam PBB. Karena itu budaya intoleransi tidak boleh ditolerir.
Setelah dijabarkan mengenai budaya intoleransi maka kita juga perlu memahami apa itu budaya toleransi. Toleransi berasal dari bahasa Latin yakni dari kata kerja tolerare yang berati membiarkan, menyabarkan. Dari kosa kata bahasa Latin itulah lahir kata toleransi. Tentu saja toleransi yang dibangun menjadi satu budaya tidak dalam arti sempit seperti itu yakni hanya sekedar membiarkan orang lain, kelompok lain, agama atau keyakinan lain berada di bumi manusia ini. Menurut Frans Magnis Suseno, “Toleransi bukan dalam arti asal membiarkan saja, melainkan sebagai penerimaan tulus terhadap saudara dalam kekhasannya, bahkan dalam kelainannya. Baru itu toleransi, di mana kita menerima yang lain sebagai yang lain.” ( Menggalang Persatuan Indonesia Baru, hal 57).
Toleransi dalam arti seperti itu oleh Magnis Suseno dimaksudkan sebagai toleransi positif. Toleransi positif menghormati pihak lain dalam kekhasannya, dalam identitas mereka, dalam kelainan mereka. Kita tidak beriman sama. Kita tidak meyakini hal-hal yang paling khas bagi mereka, tetapi kita menghormati mereka. Kita menerima bahwa mereka dengan jujur meyakini sesuatu yang tidak mungkin kita yakini. Dalam hal ini kita sadar bahwa Allah Bapa kita jauh lebih agung dan luas daripada hati kita dan kita menyerahkan kepada Allah bagaimana Ia memandang saudara-saudara yang berlainan agamanya.
Dasar dari sikap toleransi adalah anggapan atau keyakinan bahwa keberagaman (pluriformitas) adalah ciptaan dan karunia Tuhan yang patut kita syukuri. Seandainya Tuhan tidak menghendaki adanya keberagaman, sudah lama dibasmi oleh Tuhan atau tidak akan diciptakan. Kenyataan lain yang tak dapat diingkari adalah tidak seorang pun sebelum lahir ke dunia, diminta untuk memilih suku, agama atau keyakinan yang akan dianuti sesudah kelahiran. Setiap orang menerima apa yang sudah diberikan Tuhan kepadanya. Keberagaman adalah suatu keniscayaan yang harus diterima setiap penghuni bumi ini. Kalau keyakinan dasar ini bisa diterima dan dihayati semua orang, orang akan saling menghargai dan mengasihi. Orang yang berbeda bukan musuh tetapi adalah saudara dalam keluarga Allah.
Hak untuk berbeda dalam eksistensi bukan suatu pemberian dari seseorang, tetapi melekat pada kodrat manusia itu sendiri atau dengan kata lain merupakan pemberian Tuhan. Karena itu mau tidak mau hak untuk berbeda harus diakui dan dihargai oleh setiap orang. Sebab itu budaya intoleransi merupakan suatu pengingkaran terhadap kodrat manusia. Budaya intoleransi dengan demikian merupakan suatu bentuk alienasi dari diri sendiri, karena sadar atau tidak sadar seseorang telah mengingkari apa yang melekat pada dirinya.
Budaya toleransi terbentuk dari rangkaian kebiasaan berperilaku yang mengkristalkan sikap saling menghargai dan mengasihi di antara orang-orang dengan latar belakang pluriformistis. Sudah pasti membangun budaya toleransi membutuhkan sebuah proses yang kadang memakan waktu yang cukup panjang. Hal terpenting dalam membangun budaya toleransi adalah menularkan perilaku saling menghargai dan mengasihi di tengah masyarakat Indonesia yang beranekaragam ini.
Intoleransi dan toleransi dibangun berdasarkan keyakinan atau pemahaman yang diperoleh seseorang dan diinternalisir dalam dirinya. Karena itu hal terpenting yang harus diupayakan dalam membangun budaya toleransi adalah mentransferkan pemahaman atau keyakinan yang benar dan positif tentang keanekaan manusia yakni sebagai suatu anugerah Tuhan yang membuat bumi ini indah untuk dihuni bersama. Keanekaragaman umat manusia dalam berbagai aspek seperti suku, agama dan keyakinan harus dipandang sebagai aneka kembang warna-warni yang membuat bumi ini menjadi sebuah taman yang luar biasa indah bagi umat manusia.
Dari berbagai aspek keanekaragaman itu agama merupakan unsur yang sangat sensitif dan mudah menyulut perasaan negatif terhadap kelompok agama lain. Karena itu toleransi positif harus dibangun terutama dalam konteks keragaman agama. Para pemuka agama harus menanamkan pandangan yang positif terhadap agama-agama di dunia dalam diri setiap umatnya sejak dini. Untuk itu dibutuhkan suatu pembaharuan pandangan terhadap agama-agama di dunia. Gereja Katolik sejak Konsili Vatikan II telah mencanangkan perubahan sikap terhadap agama-agama non Kristen di dunia. “Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkan sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang.” (Nostra Aetate, Dokumen Konsili Vatikan II, hal. 311). Perubahan serupa diharapkan diembuskan dalam semua agama di dunia. Sehingga tidak ada pemeluk agama yang mengkafirkan pemeluk agama yang lain.
Perubahan pandangan terhadap agama lain dan pemeluknya harus ditanamkan sejak usia dini mulai dari keluarga dan berlanjut dalam pendidikan formal sejak TK. Perubahan pandangan itu harus dimantapkan dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat. Para pemuka dan tokoh agama diharapkan memainkan peran strategis sebagai agen perubahan itu lewat mimbar resmi maupun tak resmi di tengah masyarakat.
Perubahan pandangan itu harus diperkuat dengan perilaku yang mendukung. Umat beragama harus berupaya untuk saling mengenal dengan mengadakan silahturahmi kepada saudara-saudara dari agama lain. Misalnya, pada hari raya agama tertentu. Pada hari raya Idulfitri umat non islam bersilahturahmi kepada saudara-saudara umat muslim. Sebaliknya pada hari raya Natal umat muslim dan non Kristen lain bersilahturahmi kepada saudara-saudara yang beragama Kristen. Perilaku kunjung mengunjung seperti itu kiranya tidak hanya terbatas pada hari raya, tetapi juga bilamana tetangga yang beragama lain mengalami duka atau kemalangan atau acara-acara lainnya. Budaya silahturahmi kiranya melahirkan belarasa dengan sesama tanpa peduli latar belakang agama dan sukunya.
Selain perilaku seperti saling mengunjungi, dapat diadakan dialog iman di antara umat yang berbeda agama. Dalam dialog iman setiap orang diajak untuk mensharingkan atau membagikan kekayaan pengalaman imannya kepada yang lain. Dengan demikian orang boleh berbeda agama tetapi dapat bersatu dalam iman. Karena sesungguhnya kita mengimani Allah yang sama sebagai Bapa dari semua orang beriman, yang mengasihi semua orang, tidak hanya orang baik tetapi juga orang jahat (Mt. 5: 45). Dialog iman memperluas wawasan iman seseorang. Teologi yang dianuti pun dapat diperkaya. Allah diyakini sebagai Bapa yang kasih-Nya tak terbatas. Dialah yang menciptakan semua umat manusia di dunia dengan keanekaragamannya. Allah adalah Bapa dari semua orang dan semua orang adalah saudara. Dialog iman memberikan pencerahan kepada semua umat beragama untuk melihat umat beragama lain sebagai saudara. “Manusia adalah umat yang satu” al-Quran II:213 (Johan Effendy, Menggalang Persatuan Indonesia Baru, hal. 44).
Dialog iman harus didukung juga dengan dialog kehidupan. Dialog kehidupan merupakan penerjemahan atau penghayatan iman dalam kehidupan. Dalam dialog kehidupan orang berjumpa untuk saling berbagi kasih, kebaikan, suka dan duka. Dialog kehidupan dapat dilakukan ketika terjadi bencana alam seperti banjir atau gunung meletus sebagaimana ketika gunung Merapi meletus. Di saat seperti itu sekat-sekat agama yang sering memisahkan umat beragama tersingkir secara spontan. Dan tampillah manusia dalam kehakikiannya tanpa sekat-sekat keragaman yang memisahkan. Itulah fitrah dasar kita umat manusia yang harus menjadi mimpi kita bersama. Dialog kehidupan tidak harus menunggu sampai terjadi suatu bencana bersama atau musuh bersama, tetapi harus terjadi dalam keseharian hidup lewat hal kecil atau yang biasa. Kalau ada tetangga yang sakit atau punya hajatan, orang dapat ikut berbagi untuk saling membantu. Lewat dialog kehidupan dalam keseharian perlahan menghapus sekat-sekat pemisahan dan akan menyuburkan budaya toleransi di antara umat manusia.
Perubahan pandangan tentang keragaman dan perilaku yang mengikutinya, harus dilakukan berulang-ulang sampai tertanam kuat dalam diri setiap umat beragama dan menjadi kebiasaan. Hidup bersama dengan orang lain dalam perbedaannya diterima sebagai suatu keniscayaan yang tidak lagi dipermasalahkan, karena tidak berpotensi mewnimbulkan masalah. Maka lahirlah budaya toleransi. Tentu saja harus dicamkan bahwa budaya toleransi membutuhkan suatu proses yang panjang. Karena itu dibutuhkan ketekunan dan komitmen untuk berbuat member kontribusi bagi mantapnya budaya toleransi. Ada sebuah ungkapan mengatakan, “Daripada mengutuki kegelapan, lebih baik menyalakan sebatang lilin”. Senada dengan itu dapat dikatakan juga, “Daripada mengutuki budaya intoleransi, lebih baik melakukan satu hal kecil untuk untuk membangun budaya toleransi.
BAB III
KESIMPULAN
Keberagaman adalah anugerah yang bersifat kodrati. Ia adalah sebuah keniscayaan yang pasti akan terjadi di dalam kehidupan sekitar walau sekeras apapun masyarakat menentang. Sungguh, betapa indahnya hidup damai dalam keberagaman, namun di era reformasai keragaman atau kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban, hal ini terlihat dari munculnya berbagai masalah yang sumbernya berbau keragamanan, khusunya bidang agama. Agama yang seharusnya menjadi solusi atas berbagai masalah sosial, justru memicu timbunya masalah sosial.
Untuk mencegah dan menanggulangi berbagai permasalahan sosial perlu dibangun dan dikembangkan toleransi dalam kehidupan pada masyarakat majemuk. Untuk membangunn budaya toleransi perlu adanya dialog antar umat beragama dimana masing-masing bisa saling menghargai dan menghormati perbedaan diantara mereka. Dengan berkembangnya budaya toleransi maka akan terjalinnya hubungan antar anggota dari berbagai kelompok, hal ini dapat menetralisir terjadinya konflik-konflik sosial dan tidak khawatir akan terjadinya fanatisme sempit serta sentiment yang bersifat primordial
Keanekaragaman itu bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan. Dari perbedaan-perbedaan itu seharusnya kita memiliki tujuan dan cita-cita perjuangan yang sama, yaitu mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual tentram dan damai berdasarkan Pancasila. Apalagi situasi negara kita sedang menata kehidupan yang lebih baik, melakukan reformasi di semua bidang menuju Indonesia Baru yang demokratis adil dan makmur serta berkedaulatan rakyat. Hal seperti ini sangat diperlukan kesadaran bertoleransi yang tinggi untuk saling menghargai guna menciptakan kehidupan yang tenteram dan damai.
Indahnya bumi ini untuk dihuni bersama tidak datang dari langit, tapi harus diupayakan bersama oleh semua penghuni bumi dengan latar belakang yang sangat beraneka. Itu berarti memberi kontribusi guna terciptanya sebuah bumi baru yang lebih indah bukan lagi merupakan suatu pilihan tetapi suatu keharusan. Bumi ini akan menjadi firdaus atau neraka tergantung pada setiap penghuninya. Karena itu membangun budaya toleransi merupakan pilihan yang tidak bisa ditawar-tawar dan menuntut komitmen total dari semua orang. Semoga firdaus yang hilang akan ditemukan kembali dalam kebersamaan hidup yang penuh toleransi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mar’at Dr, Prof, Sikap Manusia Perubahan serta Pengukurannya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981.
2. Widyahadi Seputra et al (ed), Menggalang persatuan Indonesia Baru, Komisi PSE/APP, Jakarta, 2000.
3. Hardawiryana, R, SJ, Dokumen Konsili Vatikan II (terj), OBOR, Jakarta, 1993
4. Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1981.
http://elcom.umy.ac.id/elschool/muallimin_muhammadiyah/file.php/1/materi/PPKn/TOLERANSI.pdf
MEMBANGUN BUDAYA TOLERANSI
BAB I
PENDAHULUAN
Negara dan bangsa Indonesia pernah digoncang oleh perpecahan yang berawal dari kemajemukan masyarakat. Di dalam kemajemukan itu ada kelompok-kelompok tertentu yang mau memisahkan diri dari negara kesatuan. Konflik-konflik tersebut dapat terjadi karena satu faktor perbedaan, misalnya faktor agama. Namun tidak jarang perpecahan itu disebabkan oleh beberapa faktor secara bersama, misalnya kerusuhan ras yang ditunjang oleh perbedaan kondisi ekonomi, agama, dan budaya. Cobalah kita renungkan mengapa terjadi peristiwa perkelahian, tawuran bahkan permusuhan antar etnis di negeri kita. Contoh di Aceh, peristiwa di Sampit, Sambas, Ambon dan lain-lainnya yang kalau ditulis sungguh memalukan dan memilukan hati dan perasaan kita. Dari contoh peristiwa yang tidak semuanya disebutkan itu, bagaimana menurut pendapat Anda? Pasti Anda tidak menghendaki peristiwa itu terjadi bukan? Karena peristiwa itu apapun alasannya yang pasti akan menghancurkan masa depan anak-anak bangsa, martabat serta harga diri bangsa. Kita tidak ingin bangsa Indonesia terpecah-pecah saling bermusuhan satu sama lain karena masalah agama. Kita ingin hidup tertib, aman, dan damai, saling menghormati dan saling menghargai agama dan keyakinan masing-masing. Untuk itu kita harus dapat menciptakan kehidupan umat beragama yang serasi, selaras, dan seimbang, sebagai umat beragama, sebagai masyarakat maupun warga negara.
Diera reformasi menuju Indonesia baru mari kita berupaya semakin meningkatkan kualitas hidup. Salah satunya adalah bagaimana seharusnya kita bina atau menjalin hubungan toleransi dengan benar. Kita perlu dan wajib membina dan menjalin kehidupan yang penuh dengan toleransi. Apalagi kita sebagai manusia, secara kodrat tidak bisa hidup sendiri. Hal ini berarti seseorang tidak hidup sendirian, tetapi ia berteman, bertetangga, bahkan ajaran agama mengatakan kita tidak boleh membedakan warna kulit, ras, dan golongan. Sikap dan perilaku toleransi dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, di manapun kita berada, baik di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, bahkan berbangsa dan bernegara.
Maka harus dikembangkan budaya toleransi, saling menghormati dan menghargai antar pemeluk. Semua pihak mesti meneguhkan dan mengembangkan sikap-sikap terbuka yang dapat menjadi pintu masuk untuk membangun pondasi keberagaman yang kuat untuk kesejahteraan semua umat. Kerjasama antar pemeluk sangat diperlukan.
BAB II
PEMBAHASAN
Belakangan ini marak berbagai bentuk tindak kekerasan sebagai wujud sikap intoleran terhadap sesama, yang berbeda agama, keyakinan dan suku. Tindak kekerasan terhadap kelompok Ahmadiah, pengrusakan gereja di Temanggung, bom buku, bom bunuh diri di Cirebon telah menodai rasa aman di ruang publik dan merusak kerukunan hidup bersama di tanah air kita. Situasi seperti ini harus menjadi keprihatinan semua warga Indonesia terlebih pihak-pihak yang bertanggungjawab dan patut dicermati secara jeli guna mengambil langkah-langkah bijak untuk pencegahan. Salah satu langkah bijak untuk mencegah segala bentuk tindakan intoleransi adalah membangun budaya toleransi. Membangun budaya toleransi itulah menjadi tema pembahasan dalam tulisan ini. Namun sebelum membahas tentang budaya toleransi, terlebih dahulu harus dibahas tentang budaya intoleransi.
Intoleransi sama seperti toleransi merupakan sikap manusia. Sikap dalam ilmu psikologi sosial diartikan sebagai suatu kecenderungan untuk berperilaku yang dipelajari dan sifatnya bertahan dalam relasi dengan obyek sosial tertentu. Krech D. dan Crutchfield R.S mendefinisikan sikap sebagai suatu sistem evaluasi positif atau negatif yang sifatnya bertahan, perasaan-perasaan dan kecenderungan-kecenderungan pro dan kontra terhadap obyek sosial tertentu (Sikap Manusia, Prof Dr. Mar’at, hal. 9). Dalam kerangka definisi sikap tersebut di atas, intoleransi dapat dipahami sebagai suatu kecenderungan manusia yang kontra terhadap objek sosial tertentu, dalam hal ini sesama manusia, karena dia berseberangan dalam eksistensinya.
Intoleransi sebagai suatu sikap mengandung tiga unsur atau aspek yakni aspek kognitif, aspek affektif, dan aspek psikomotoris. Sikap intoleransi dibangun berdasarkan evaluasi, pemahaman, keyakinan negatif seseorang terhadap orang dari kelompok lain. Pemahaman yang menyulut sikap intoleransi tidak hanya bersifat negatif, tetapi juga keliru. Pemahaman itu karena sifatnya negatif, akan membangkitkan emosi negatif (affektif) yakni rasa tidak senang, antipati, membenci dlsb dan pada gilirannya akan memicu kecenderungan berperilaku (psikomotoris) yang kontra terhadap orang tertentu berupa kekerasan dalam berbagai bentuk.
Intoleransi jelas terbentuk dari pemahaman negatif bahkan keliru yang diterima atau diindokrinasikan dalam diri seseorang. Pemahaman negatif dan keliru itu bisa berasal dari sebuah ideologi atau paham tertentu yang dicetuskan oleh orang tertentu. Pemahaman itu perlahan mengental dalam diri seseorang karena pengulangan dan penguatan yang dilakukan secara terus-menerus. Proses internalisasi seperti itu dapat berupa pencucian otak, sehingga otak orang itu hanya diisi oleh pemahaman yang diterimanya. Pemahaman negatif tentang kelompok tertentu yang berbasis agama atau kepercayaan atau suku tertentu seperti misalnya dianggap kafir dan dikutuk oleh Allah, pasti akan mengobarkan perasaan benci dan menyulut tindak kekerasan terhadap orang-orang dari kelompok yang dibenci itu.
Tindakan intoleran kalau dibiarkan, akan dianggap biasa. Lalu lahirlah budaya intoleransi. Bila intoleransi sudah menjadi budaya, maka upaya untuk membasminya menjadi mustahil. Budaya intoleransi termasuk budaya kematian, karena intoleransi membuahkan kematian pada keolompok tertentu, agama atau keyakinan tertentu. Agama atau keyakinan lain dilihat sebagai momok atau musuh yang harus diganyang dan tidak bisa diberi tempat untuk boleh berada di bumi manusia ini. Jelas, budaya intoleransi bertentangan dengan hak asasi manusia, karena setiap orang dari kodratnya berhak untuk memilih dan menghayati agama atau keyakinannya. Hak asasi itu dijamin oleh konstitusi bahkan oleh piagam PBB. Karena itu budaya intoleransi tidak boleh ditolerir.
Setelah dijabarkan mengenai budaya intoleransi maka kita juga perlu memahami apa itu budaya toleransi. Toleransi berasal dari bahasa Latin yakni dari kata kerja tolerare yang berati membiarkan, menyabarkan. Dari kosa kata bahasa Latin itulah lahir kata toleransi. Tentu saja toleransi yang dibangun menjadi satu budaya tidak dalam arti sempit seperti itu yakni hanya sekedar membiarkan orang lain, kelompok lain, agama atau keyakinan lain berada di bumi manusia ini. Menurut Frans Magnis Suseno, “Toleransi bukan dalam arti asal membiarkan saja, melainkan sebagai penerimaan tulus terhadap saudara dalam kekhasannya, bahkan dalam kelainannya. Baru itu toleransi, di mana kita menerima yang lain sebagai yang lain.” ( Menggalang Persatuan Indonesia Baru, hal 57).
Toleransi dalam arti seperti itu oleh Magnis Suseno dimaksudkan sebagai toleransi positif. Toleransi positif menghormati pihak lain dalam kekhasannya, dalam identitas mereka, dalam kelainan mereka. Kita tidak beriman sama. Kita tidak meyakini hal-hal yang paling khas bagi mereka, tetapi kita menghormati mereka. Kita menerima bahwa mereka dengan jujur meyakini sesuatu yang tidak mungkin kita yakini. Dalam hal ini kita sadar bahwa Allah Bapa kita jauh lebih agung dan luas daripada hati kita dan kita menyerahkan kepada Allah bagaimana Ia memandang saudara-saudara yang berlainan agamanya.
Dasar dari sikap toleransi adalah anggapan atau keyakinan bahwa keberagaman (pluriformitas) adalah ciptaan dan karunia Tuhan yang patut kita syukuri. Seandainya Tuhan tidak menghendaki adanya keberagaman, sudah lama dibasmi oleh Tuhan atau tidak akan diciptakan. Kenyataan lain yang tak dapat diingkari adalah tidak seorang pun sebelum lahir ke dunia, diminta untuk memilih suku, agama atau keyakinan yang akan dianuti sesudah kelahiran. Setiap orang menerima apa yang sudah diberikan Tuhan kepadanya. Keberagaman adalah suatu keniscayaan yang harus diterima setiap penghuni bumi ini. Kalau keyakinan dasar ini bisa diterima dan dihayati semua orang, orang akan saling menghargai dan mengasihi. Orang yang berbeda bukan musuh tetapi adalah saudara dalam keluarga Allah.
Hak untuk berbeda dalam eksistensi bukan suatu pemberian dari seseorang, tetapi melekat pada kodrat manusia itu sendiri atau dengan kata lain merupakan pemberian Tuhan. Karena itu mau tidak mau hak untuk berbeda harus diakui dan dihargai oleh setiap orang. Sebab itu budaya intoleransi merupakan suatu pengingkaran terhadap kodrat manusia. Budaya intoleransi dengan demikian merupakan suatu bentuk alienasi dari diri sendiri, karena sadar atau tidak sadar seseorang telah mengingkari apa yang melekat pada dirinya.
Budaya toleransi terbentuk dari rangkaian kebiasaan berperilaku yang mengkristalkan sikap saling menghargai dan mengasihi di antara orang-orang dengan latar belakang pluriformistis. Sudah pasti membangun budaya toleransi membutuhkan sebuah proses yang kadang memakan waktu yang cukup panjang. Hal terpenting dalam membangun budaya toleransi adalah menularkan perilaku saling menghargai dan mengasihi di tengah masyarakat Indonesia yang beranekaragam ini.
Intoleransi dan toleransi dibangun berdasarkan keyakinan atau pemahaman yang diperoleh seseorang dan diinternalisir dalam dirinya. Karena itu hal terpenting yang harus diupayakan dalam membangun budaya toleransi adalah mentransferkan pemahaman atau keyakinan yang benar dan positif tentang keanekaan manusia yakni sebagai suatu anugerah Tuhan yang membuat bumi ini indah untuk dihuni bersama. Keanekaragaman umat manusia dalam berbagai aspek seperti suku, agama dan keyakinan harus dipandang sebagai aneka kembang warna-warni yang membuat bumi ini menjadi sebuah taman yang luar biasa indah bagi umat manusia.
Dari berbagai aspek keanekaragaman itu agama merupakan unsur yang sangat sensitif dan mudah menyulut perasaan negatif terhadap kelompok agama lain. Karena itu toleransi positif harus dibangun terutama dalam konteks keragaman agama. Para pemuka agama harus menanamkan pandangan yang positif terhadap agama-agama di dunia dalam diri setiap umatnya sejak dini. Untuk itu dibutuhkan suatu pembaharuan pandangan terhadap agama-agama di dunia. Gereja Katolik sejak Konsili Vatikan II telah mencanangkan perubahan sikap terhadap agama-agama non Kristen di dunia. “Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkan sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang.” (Nostra Aetate, Dokumen Konsili Vatikan II, hal. 311). Perubahan serupa diharapkan diembuskan dalam semua agama di dunia. Sehingga tidak ada pemeluk agama yang mengkafirkan pemeluk agama yang lain.
Perubahan pandangan terhadap agama lain dan pemeluknya harus ditanamkan sejak usia dini mulai dari keluarga dan berlanjut dalam pendidikan formal sejak TK. Perubahan pandangan itu harus dimantapkan dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat. Para pemuka dan tokoh agama diharapkan memainkan peran strategis sebagai agen perubahan itu lewat mimbar resmi maupun tak resmi di tengah masyarakat.
Perubahan pandangan itu harus diperkuat dengan perilaku yang mendukung. Umat beragama harus berupaya untuk saling mengenal dengan mengadakan silahturahmi kepada saudara-saudara dari agama lain. Misalnya, pada hari raya agama tertentu. Pada hari raya Idulfitri umat non islam bersilahturahmi kepada saudara-saudara umat muslim. Sebaliknya pada hari raya Natal umat muslim dan non Kristen lain bersilahturahmi kepada saudara-saudara yang beragama Kristen. Perilaku kunjung mengunjung seperti itu kiranya tidak hanya terbatas pada hari raya, tetapi juga bilamana tetangga yang beragama lain mengalami duka atau kemalangan atau acara-acara lainnya. Budaya silahturahmi kiranya melahirkan belarasa dengan sesama tanpa peduli latar belakang agama dan sukunya.
Selain perilaku seperti saling mengunjungi, dapat diadakan dialog iman di antara umat yang berbeda agama. Dalam dialog iman setiap orang diajak untuk mensharingkan atau membagikan kekayaan pengalaman imannya kepada yang lain. Dengan demikian orang boleh berbeda agama tetapi dapat bersatu dalam iman. Karena sesungguhnya kita mengimani Allah yang sama sebagai Bapa dari semua orang beriman, yang mengasihi semua orang, tidak hanya orang baik tetapi juga orang jahat (Mt. 5: 45). Dialog iman memperluas wawasan iman seseorang. Teologi yang dianuti pun dapat diperkaya. Allah diyakini sebagai Bapa yang kasih-Nya tak terbatas. Dialah yang menciptakan semua umat manusia di dunia dengan keanekaragamannya. Allah adalah Bapa dari semua orang dan semua orang adalah saudara. Dialog iman memberikan pencerahan kepada semua umat beragama untuk melihat umat beragama lain sebagai saudara. “Manusia adalah umat yang satu” al-Quran II:213 (Johan Effendy, Menggalang Persatuan Indonesia Baru, hal. 44).
Dialog iman harus didukung juga dengan dialog kehidupan. Dialog kehidupan merupakan penerjemahan atau penghayatan iman dalam kehidupan. Dalam dialog kehidupan orang berjumpa untuk saling berbagi kasih, kebaikan, suka dan duka. Dialog kehidupan dapat dilakukan ketika terjadi bencana alam seperti banjir atau gunung meletus sebagaimana ketika gunung Merapi meletus. Di saat seperti itu sekat-sekat agama yang sering memisahkan umat beragama tersingkir secara spontan. Dan tampillah manusia dalam kehakikiannya tanpa sekat-sekat keragaman yang memisahkan. Itulah fitrah dasar kita umat manusia yang harus menjadi mimpi kita bersama. Dialog kehidupan tidak harus menunggu sampai terjadi suatu bencana bersama atau musuh bersama, tetapi harus terjadi dalam keseharian hidup lewat hal kecil atau yang biasa. Kalau ada tetangga yang sakit atau punya hajatan, orang dapat ikut berbagi untuk saling membantu. Lewat dialog kehidupan dalam keseharian perlahan menghapus sekat-sekat pemisahan dan akan menyuburkan budaya toleransi di antara umat manusia.
Perubahan pandangan tentang keragaman dan perilaku yang mengikutinya, harus dilakukan berulang-ulang sampai tertanam kuat dalam diri setiap umat beragama dan menjadi kebiasaan. Hidup bersama dengan orang lain dalam perbedaannya diterima sebagai suatu keniscayaan yang tidak lagi dipermasalahkan, karena tidak berpotensi mewnimbulkan masalah. Maka lahirlah budaya toleransi. Tentu saja harus dicamkan bahwa budaya toleransi membutuhkan suatu proses yang panjang. Karena itu dibutuhkan ketekunan dan komitmen untuk berbuat member kontribusi bagi mantapnya budaya toleransi. Ada sebuah ungkapan mengatakan, “Daripada mengutuki kegelapan, lebih baik menyalakan sebatang lilin”. Senada dengan itu dapat dikatakan juga, “Daripada mengutuki budaya intoleransi, lebih baik melakukan satu hal kecil untuk untuk membangun budaya toleransi.
BAB III
KESIMPULAN
Keberagaman adalah anugerah yang bersifat kodrati. Ia adalah sebuah keniscayaan yang pasti akan terjadi di dalam kehidupan sekitar walau sekeras apapun masyarakat menentang. Sungguh, betapa indahnya hidup damai dalam keberagaman, namun di era reformasai keragaman atau kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban, hal ini terlihat dari munculnya berbagai masalah yang sumbernya berbau keragamanan, khusunya bidang agama. Agama yang seharusnya menjadi solusi atas berbagai masalah sosial, justru memicu timbunya masalah sosial.
Untuk mencegah dan menanggulangi berbagai permasalahan sosial perlu dibangun dan dikembangkan toleransi dalam kehidupan pada masyarakat majemuk. Untuk membangunn budaya toleransi perlu adanya dialog antar umat beragama dimana masing-masing bisa saling menghargai dan menghormati perbedaan diantara mereka. Dengan berkembangnya budaya toleransi maka akan terjalinnya hubungan antar anggota dari berbagai kelompok, hal ini dapat menetralisir terjadinya konflik-konflik sosial dan tidak khawatir akan terjadinya fanatisme sempit serta sentiment yang bersifat primordial
Keanekaragaman itu bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan. Dari perbedaan-perbedaan itu seharusnya kita memiliki tujuan dan cita-cita perjuangan yang sama, yaitu mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual tentram dan damai berdasarkan Pancasila. Apalagi situasi negara kita sedang menata kehidupan yang lebih baik, melakukan reformasi di semua bidang menuju Indonesia Baru yang demokratis adil dan makmur serta berkedaulatan rakyat. Hal seperti ini sangat diperlukan kesadaran bertoleransi yang tinggi untuk saling menghargai guna menciptakan kehidupan yang tenteram dan damai.
Indahnya bumi ini untuk dihuni bersama tidak datang dari langit, tapi harus diupayakan bersama oleh semua penghuni bumi dengan latar belakang yang sangat beraneka. Itu berarti memberi kontribusi guna terciptanya sebuah bumi baru yang lebih indah bukan lagi merupakan suatu pilihan tetapi suatu keharusan. Bumi ini akan menjadi firdaus atau neraka tergantung pada setiap penghuninya. Karena itu membangun budaya toleransi merupakan pilihan yang tidak bisa ditawar-tawar dan menuntut komitmen total dari semua orang. Semoga firdaus yang hilang akan ditemukan kembali dalam kebersamaan hidup yang penuh toleransi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mar’at Dr, Prof, Sikap Manusia Perubahan serta Pengukurannya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981.
2. Widyahadi Seputra et al (ed), Menggalang persatuan Indonesia Baru, Komisi PSE/APP, Jakarta, 2000.
3. Hardawiryana, R, SJ, Dokumen Konsili Vatikan II (terj), OBOR, Jakarta, 1993
4. Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1981.
http://elcom.umy.ac.id/elschool/muallimin_muhammadiyah/file.php/1/materi/PPKn/TOLERANSI.pdf
BAB I
PENDAHULUAN
Negara dan bangsa Indonesia pernah digoncang oleh perpecahan yang berawal dari kemajemukan masyarakat. Di dalam kemajemukan itu ada kelompok-kelompok tertentu yang mau memisahkan diri dari negara kesatuan. Konflik-konflik tersebut dapat terjadi karena satu faktor perbedaan, misalnya faktor agama. Namun tidak jarang perpecahan itu disebabkan oleh beberapa faktor secara bersama, misalnya kerusuhan ras yang ditunjang oleh perbedaan kondisi ekonomi, agama, dan budaya. Cobalah kita renungkan mengapa terjadi peristiwa perkelahian, tawuran bahkan permusuhan antar etnis di negeri kita. Contoh di Aceh, peristiwa di Sampit, Sambas, Ambon dan lain-lainnya yang kalau ditulis sungguh memalukan dan memilukan hati dan perasaan kita. Dari contoh peristiwa yang tidak semuanya disebutkan itu, bagaimana menurut pendapat Anda? Pasti Anda tidak menghendaki peristiwa itu terjadi bukan? Karena peristiwa itu apapun alasannya yang pasti akan menghancurkan masa depan anak-anak bangsa, martabat serta harga diri bangsa. Kita tidak ingin bangsa Indonesia terpecah-pecah saling bermusuhan satu sama lain karena masalah agama. Kita ingin hidup tertib, aman, dan damai, saling menghormati dan saling menghargai agama dan keyakinan masing-masing. Untuk itu kita harus dapat menciptakan kehidupan umat beragama yang serasi, selaras, dan seimbang, sebagai umat beragama, sebagai masyarakat maupun warga negara.
Diera reformasi menuju Indonesia baru mari kita berupaya semakin meningkatkan kualitas hidup. Salah satunya adalah bagaimana seharusnya kita bina atau menjalin hubungan toleransi dengan benar. Kita perlu dan wajib membina dan menjalin kehidupan yang penuh dengan toleransi. Apalagi kita sebagai manusia, secara kodrat tidak bisa hidup sendiri. Hal ini berarti seseorang tidak hidup sendirian, tetapi ia berteman, bertetangga, bahkan ajaran agama mengatakan kita tidak boleh membedakan warna kulit, ras, dan golongan. Sikap dan perilaku toleransi dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, di manapun kita berada, baik di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, bahkan berbangsa dan bernegara.
Maka harus dikembangkan budaya toleransi, saling menghormati dan menghargai antar pemeluk. Semua pihak mesti meneguhkan dan mengembangkan sikap-sikap terbuka yang dapat menjadi pintu masuk untuk membangun pondasi keberagaman yang kuat untuk kesejahteraan semua umat. Kerjasama antar pemeluk sangat diperlukan.
BAB II
PEMBAHASAN
Belakangan ini marak berbagai bentuk tindak kekerasan sebagai wujud sikap intoleran terhadap sesama, yang berbeda agama, keyakinan dan suku. Tindak kekerasan terhadap kelompok Ahmadiah, pengrusakan gereja di Temanggung, bom buku, bom bunuh diri di Cirebon telah menodai rasa aman di ruang publik dan merusak kerukunan hidup bersama di tanah air kita. Situasi seperti ini harus menjadi keprihatinan semua warga Indonesia terlebih pihak-pihak yang bertanggungjawab dan patut dicermati secara jeli guna mengambil langkah-langkah bijak untuk pencegahan. Salah satu langkah bijak untuk mencegah segala bentuk tindakan intoleransi adalah membangun budaya toleransi. Membangun budaya toleransi itulah menjadi tema pembahasan dalam tulisan ini. Namun sebelum membahas tentang budaya toleransi, terlebih dahulu harus dibahas tentang budaya intoleransi.
Intoleransi sama seperti toleransi merupakan sikap manusia. Sikap dalam ilmu psikologi sosial diartikan sebagai suatu kecenderungan untuk berperilaku yang dipelajari dan sifatnya bertahan dalam relasi dengan obyek sosial tertentu. Krech D. dan Crutchfield R.S mendefinisikan sikap sebagai suatu sistem evaluasi positif atau negatif yang sifatnya bertahan, perasaan-perasaan dan kecenderungan-kecenderungan pro dan kontra terhadap obyek sosial tertentu (Sikap Manusia, Prof Dr. Mar’at, hal. 9). Dalam kerangka definisi sikap tersebut di atas, intoleransi dapat dipahami sebagai suatu kecenderungan manusia yang kontra terhadap objek sosial tertentu, dalam hal ini sesama manusia, karena dia berseberangan dalam eksistensinya.
Intoleransi sebagai suatu sikap mengandung tiga unsur atau aspek yakni aspek kognitif, aspek affektif, dan aspek psikomotoris. Sikap intoleransi dibangun berdasarkan evaluasi, pemahaman, keyakinan negatif seseorang terhadap orang dari kelompok lain. Pemahaman yang menyulut sikap intoleransi tidak hanya bersifat negatif, tetapi juga keliru. Pemahaman itu karena sifatnya negatif, akan membangkitkan emosi negatif (affektif) yakni rasa tidak senang, antipati, membenci dlsb dan pada gilirannya akan memicu kecenderungan berperilaku (psikomotoris) yang kontra terhadap orang tertentu berupa kekerasan dalam berbagai bentuk.
Intoleransi jelas terbentuk dari pemahaman negatif bahkan keliru yang diterima atau diindokrinasikan dalam diri seseorang. Pemahaman negatif dan keliru itu bisa berasal dari sebuah ideologi atau paham tertentu yang dicetuskan oleh orang tertentu. Pemahaman itu perlahan mengental dalam diri seseorang karena pengulangan dan penguatan yang dilakukan secara terus-menerus. Proses internalisasi seperti itu dapat berupa pencucian otak, sehingga otak orang itu hanya diisi oleh pemahaman yang diterimanya. Pemahaman negatif tentang kelompok tertentu yang berbasis agama atau kepercayaan atau suku tertentu seperti misalnya dianggap kafir dan dikutuk oleh Allah, pasti akan mengobarkan perasaan benci dan menyulut tindak kekerasan terhadap orang-orang dari kelompok yang dibenci itu.
Tindakan intoleran kalau dibiarkan, akan dianggap biasa. Lalu lahirlah budaya intoleransi. Bila intoleransi sudah menjadi budaya, maka upaya untuk membasminya menjadi mustahil. Budaya intoleransi termasuk budaya kematian, karena intoleransi membuahkan kematian pada keolompok tertentu, agama atau keyakinan tertentu. Agama atau keyakinan lain dilihat sebagai momok atau musuh yang harus diganyang dan tidak bisa diberi tempat untuk boleh berada di bumi manusia ini. Jelas, budaya intoleransi bertentangan dengan hak asasi manusia, karena setiap orang dari kodratnya berhak untuk memilih dan menghayati agama atau keyakinannya. Hak asasi itu dijamin oleh konstitusi bahkan oleh piagam PBB. Karena itu budaya intoleransi tidak boleh ditolerir.
Setelah dijabarkan mengenai budaya intoleransi maka kita juga perlu memahami apa itu budaya toleransi. Toleransi berasal dari bahasa Latin yakni dari kata kerja tolerare yang berati membiarkan, menyabarkan. Dari kosa kata bahasa Latin itulah lahir kata toleransi. Tentu saja toleransi yang dibangun menjadi satu budaya tidak dalam arti sempit seperti itu yakni hanya sekedar membiarkan orang lain, kelompok lain, agama atau keyakinan lain berada di bumi manusia ini. Menurut Frans Magnis Suseno, “Toleransi bukan dalam arti asal membiarkan saja, melainkan sebagai penerimaan tulus terhadap saudara dalam kekhasannya, bahkan dalam kelainannya. Baru itu toleransi, di mana kita menerima yang lain sebagai yang lain.” ( Menggalang Persatuan Indonesia Baru, hal 57).
Toleransi dalam arti seperti itu oleh Magnis Suseno dimaksudkan sebagai toleransi positif. Toleransi positif menghormati pihak lain dalam kekhasannya, dalam identitas mereka, dalam kelainan mereka. Kita tidak beriman sama. Kita tidak meyakini hal-hal yang paling khas bagi mereka, tetapi kita menghormati mereka. Kita menerima bahwa mereka dengan jujur meyakini sesuatu yang tidak mungkin kita yakini. Dalam hal ini kita sadar bahwa Allah Bapa kita jauh lebih agung dan luas daripada hati kita dan kita menyerahkan kepada Allah bagaimana Ia memandang saudara-saudara yang berlainan agamanya.
Dasar dari sikap toleransi adalah anggapan atau keyakinan bahwa keberagaman (pluriformitas) adalah ciptaan dan karunia Tuhan yang patut kita syukuri. Seandainya Tuhan tidak menghendaki adanya keberagaman, sudah lama dibasmi oleh Tuhan atau tidak akan diciptakan. Kenyataan lain yang tak dapat diingkari adalah tidak seorang pun sebelum lahir ke dunia, diminta untuk memilih suku, agama atau keyakinan yang akan dianuti sesudah kelahiran. Setiap orang menerima apa yang sudah diberikan Tuhan kepadanya. Keberagaman adalah suatu keniscayaan yang harus diterima setiap penghuni bumi ini. Kalau keyakinan dasar ini bisa diterima dan dihayati semua orang, orang akan saling menghargai dan mengasihi. Orang yang berbeda bukan musuh tetapi adalah saudara dalam keluarga Allah.
Hak untuk berbeda dalam eksistensi bukan suatu pemberian dari seseorang, tetapi melekat pada kodrat manusia itu sendiri atau dengan kata lain merupakan pemberian Tuhan. Karena itu mau tidak mau hak untuk berbeda harus diakui dan dihargai oleh setiap orang. Sebab itu budaya intoleransi merupakan suatu pengingkaran terhadap kodrat manusia. Budaya intoleransi dengan demikian merupakan suatu bentuk alienasi dari diri sendiri, karena sadar atau tidak sadar seseorang telah mengingkari apa yang melekat pada dirinya.
Budaya toleransi terbentuk dari rangkaian kebiasaan berperilaku yang mengkristalkan sikap saling menghargai dan mengasihi di antara orang-orang dengan latar belakang pluriformistis. Sudah pasti membangun budaya toleransi membutuhkan sebuah proses yang kadang memakan waktu yang cukup panjang. Hal terpenting dalam membangun budaya toleransi adalah menularkan perilaku saling menghargai dan mengasihi di tengah masyarakat Indonesia yang beranekaragam ini.
Intoleransi dan toleransi dibangun berdasarkan keyakinan atau pemahaman yang diperoleh seseorang dan diinternalisir dalam dirinya. Karena itu hal terpenting yang harus diupayakan dalam membangun budaya toleransi adalah mentransferkan pemahaman atau keyakinan yang benar dan positif tentang keanekaan manusia yakni sebagai suatu anugerah Tuhan yang membuat bumi ini indah untuk dihuni bersama. Keanekaragaman umat manusia dalam berbagai aspek seperti suku, agama dan keyakinan harus dipandang sebagai aneka kembang warna-warni yang membuat bumi ini menjadi sebuah taman yang luar biasa indah bagi umat manusia.
Dari berbagai aspek keanekaragaman itu agama merupakan unsur yang sangat sensitif dan mudah menyulut perasaan negatif terhadap kelompok agama lain. Karena itu toleransi positif harus dibangun terutama dalam konteks keragaman agama. Para pemuka agama harus menanamkan pandangan yang positif terhadap agama-agama di dunia dalam diri setiap umatnya sejak dini. Untuk itu dibutuhkan suatu pembaharuan pandangan terhadap agama-agama di dunia. Gereja Katolik sejak Konsili Vatikan II telah mencanangkan perubahan sikap terhadap agama-agama non Kristen di dunia. “Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkan sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang.” (Nostra Aetate, Dokumen Konsili Vatikan II, hal. 311). Perubahan serupa diharapkan diembuskan dalam semua agama di dunia. Sehingga tidak ada pemeluk agama yang mengkafirkan pemeluk agama yang lain.
Perubahan pandangan terhadap agama lain dan pemeluknya harus ditanamkan sejak usia dini mulai dari keluarga dan berlanjut dalam pendidikan formal sejak TK. Perubahan pandangan itu harus dimantapkan dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat. Para pemuka dan tokoh agama diharapkan memainkan peran strategis sebagai agen perubahan itu lewat mimbar resmi maupun tak resmi di tengah masyarakat.
Perubahan pandangan itu harus diperkuat dengan perilaku yang mendukung. Umat beragama harus berupaya untuk saling mengenal dengan mengadakan silahturahmi kepada saudara-saudara dari agama lain. Misalnya, pada hari raya agama tertentu. Pada hari raya Idulfitri umat non islam bersilahturahmi kepada saudara-saudara umat muslim. Sebaliknya pada hari raya Natal umat muslim dan non Kristen lain bersilahturahmi kepada saudara-saudara yang beragama Kristen. Perilaku kunjung mengunjung seperti itu kiranya tidak hanya terbatas pada hari raya, tetapi juga bilamana tetangga yang beragama lain mengalami duka atau kemalangan atau acara-acara lainnya. Budaya silahturahmi kiranya melahirkan belarasa dengan sesama tanpa peduli latar belakang agama dan sukunya.
Selain perilaku seperti saling mengunjungi, dapat diadakan dialog iman di antara umat yang berbeda agama. Dalam dialog iman setiap orang diajak untuk mensharingkan atau membagikan kekayaan pengalaman imannya kepada yang lain. Dengan demikian orang boleh berbeda agama tetapi dapat bersatu dalam iman. Karena sesungguhnya kita mengimani Allah yang sama sebagai Bapa dari semua orang beriman, yang mengasihi semua orang, tidak hanya orang baik tetapi juga orang jahat (Mt. 5: 45). Dialog iman memperluas wawasan iman seseorang. Teologi yang dianuti pun dapat diperkaya. Allah diyakini sebagai Bapa yang kasih-Nya tak terbatas. Dialah yang menciptakan semua umat manusia di dunia dengan keanekaragamannya. Allah adalah Bapa dari semua orang dan semua orang adalah saudara. Dialog iman memberikan pencerahan kepada semua umat beragama untuk melihat umat beragama lain sebagai saudara. “Manusia adalah umat yang satu” al-Quran II:213 (Johan Effendy, Menggalang Persatuan Indonesia Baru, hal. 44).
Dialog iman harus didukung juga dengan dialog kehidupan. Dialog kehidupan merupakan penerjemahan atau penghayatan iman dalam kehidupan. Dalam dialog kehidupan orang berjumpa untuk saling berbagi kasih, kebaikan, suka dan duka. Dialog kehidupan dapat dilakukan ketika terjadi bencana alam seperti banjir atau gunung meletus sebagaimana ketika gunung Merapi meletus. Di saat seperti itu sekat-sekat agama yang sering memisahkan umat beragama tersingkir secara spontan. Dan tampillah manusia dalam kehakikiannya tanpa sekat-sekat keragaman yang memisahkan. Itulah fitrah dasar kita umat manusia yang harus menjadi mimpi kita bersama. Dialog kehidupan tidak harus menunggu sampai terjadi suatu bencana bersama atau musuh bersama, tetapi harus terjadi dalam keseharian hidup lewat hal kecil atau yang biasa. Kalau ada tetangga yang sakit atau punya hajatan, orang dapat ikut berbagi untuk saling membantu. Lewat dialog kehidupan dalam keseharian perlahan menghapus sekat-sekat pemisahan dan akan menyuburkan budaya toleransi di antara umat manusia.
Perubahan pandangan tentang keragaman dan perilaku yang mengikutinya, harus dilakukan berulang-ulang sampai tertanam kuat dalam diri setiap umat beragama dan menjadi kebiasaan. Hidup bersama dengan orang lain dalam perbedaannya diterima sebagai suatu keniscayaan yang tidak lagi dipermasalahkan, karena tidak berpotensi mewnimbulkan masalah. Maka lahirlah budaya toleransi. Tentu saja harus dicamkan bahwa budaya toleransi membutuhkan suatu proses yang panjang. Karena itu dibutuhkan ketekunan dan komitmen untuk berbuat member kontribusi bagi mantapnya budaya toleransi. Ada sebuah ungkapan mengatakan, “Daripada mengutuki kegelapan, lebih baik menyalakan sebatang lilin”. Senada dengan itu dapat dikatakan juga, “Daripada mengutuki budaya intoleransi, lebih baik melakukan satu hal kecil untuk untuk membangun budaya toleransi.
BAB III
KESIMPULAN
Keberagaman adalah anugerah yang bersifat kodrati. Ia adalah sebuah keniscayaan yang pasti akan terjadi di dalam kehidupan sekitar walau sekeras apapun masyarakat menentang. Sungguh, betapa indahnya hidup damai dalam keberagaman, namun di era reformasai keragaman atau kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban, hal ini terlihat dari munculnya berbagai masalah yang sumbernya berbau keragamanan, khusunya bidang agama. Agama yang seharusnya menjadi solusi atas berbagai masalah sosial, justru memicu timbunya masalah sosial.
Untuk mencegah dan menanggulangi berbagai permasalahan sosial perlu dibangun dan dikembangkan toleransi dalam kehidupan pada masyarakat majemuk. Untuk membangunn budaya toleransi perlu adanya dialog antar umat beragama dimana masing-masing bisa saling menghargai dan menghormati perbedaan diantara mereka. Dengan berkembangnya budaya toleransi maka akan terjalinnya hubungan antar anggota dari berbagai kelompok, hal ini dapat menetralisir terjadinya konflik-konflik sosial dan tidak khawatir akan terjadinya fanatisme sempit serta sentiment yang bersifat primordial
Keanekaragaman itu bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan. Dari perbedaan-perbedaan itu seharusnya kita memiliki tujuan dan cita-cita perjuangan yang sama, yaitu mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual tentram dan damai berdasarkan Pancasila. Apalagi situasi negara kita sedang menata kehidupan yang lebih baik, melakukan reformasi di semua bidang menuju Indonesia Baru yang demokratis adil dan makmur serta berkedaulatan rakyat. Hal seperti ini sangat diperlukan kesadaran bertoleransi yang tinggi untuk saling menghargai guna menciptakan kehidupan yang tenteram dan damai.
Indahnya bumi ini untuk dihuni bersama tidak datang dari langit, tapi harus diupayakan bersama oleh semua penghuni bumi dengan latar belakang yang sangat beraneka. Itu berarti memberi kontribusi guna terciptanya sebuah bumi baru yang lebih indah bukan lagi merupakan suatu pilihan tetapi suatu keharusan. Bumi ini akan menjadi firdaus atau neraka tergantung pada setiap penghuninya. Karena itu membangun budaya toleransi merupakan pilihan yang tidak bisa ditawar-tawar dan menuntut komitmen total dari semua orang. Semoga firdaus yang hilang akan ditemukan kembali dalam kebersamaan hidup yang penuh toleransi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mar’at Dr, Prof, Sikap Manusia Perubahan serta Pengukurannya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981.
2. Widyahadi Seputra et al (ed), Menggalang persatuan Indonesia Baru, Komisi PSE/APP, Jakarta, 2000.
3. Hardawiryana, R, SJ, Dokumen Konsili Vatikan II (terj), OBOR, Jakarta, 1993
4. Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1981.
http://elcom.umy.ac.id/elschool/muallimin_muhammadiyah/file.php/1/materi/PPKn/TOLERANSI.pdf
MEMBANGUN BUDAYA TOLERANSI
BAB I
PENDAHULUAN
Negara dan bangsa Indonesia pernah digoncang oleh perpecahan yang berawal dari kemajemukan masyarakat. Di dalam kemajemukan itu ada kelompok-kelompok tertentu yang mau memisahkan diri dari negara kesatuan. Konflik-konflik tersebut dapat terjadi karena satu faktor perbedaan, misalnya faktor agama. Namun tidak jarang perpecahan itu disebabkan oleh beberapa faktor secara bersama, misalnya kerusuhan ras yang ditunjang oleh perbedaan kondisi ekonomi, agama, dan budaya. Cobalah kita renungkan mengapa terjadi peristiwa perkelahian, tawuran bahkan permusuhan antar etnis di negeri kita. Contoh di Aceh, peristiwa di Sampit, Sambas, Ambon dan lain-lainnya yang kalau ditulis sungguh memalukan dan memilukan hati dan perasaan kita. Dari contoh peristiwa yang tidak semuanya disebutkan itu, bagaimana menurut pendapat Anda? Pasti Anda tidak menghendaki peristiwa itu terjadi bukan? Karena peristiwa itu apapun alasannya yang pasti akan menghancurkan masa depan anak-anak bangsa, martabat serta harga diri bangsa. Kita tidak ingin bangsa Indonesia terpecah-pecah saling bermusuhan satu sama lain karena masalah agama. Kita ingin hidup tertib, aman, dan damai, saling menghormati dan saling menghargai agama dan keyakinan masing-masing. Untuk itu kita harus dapat menciptakan kehidupan umat beragama yang serasi, selaras, dan seimbang, sebagai umat beragama, sebagai masyarakat maupun warga negara.
Diera reformasi menuju Indonesia baru mari kita berupaya semakin meningkatkan kualitas hidup. Salah satunya adalah bagaimana seharusnya kita bina atau menjalin hubungan toleransi dengan benar. Kita perlu dan wajib membina dan menjalin kehidupan yang penuh dengan toleransi. Apalagi kita sebagai manusia, secara kodrat tidak bisa hidup sendiri. Hal ini berarti seseorang tidak hidup sendirian, tetapi ia berteman, bertetangga, bahkan ajaran agama mengatakan kita tidak boleh membedakan warna kulit, ras, dan golongan. Sikap dan perilaku toleransi dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, di manapun kita berada, baik di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, bahkan berbangsa dan bernegara.
Maka harus dikembangkan budaya toleransi, saling menghormati dan menghargai antar pemeluk. Semua pihak mesti meneguhkan dan mengembangkan sikap-sikap terbuka yang dapat menjadi pintu masuk untuk membangun pondasi keberagaman yang kuat untuk kesejahteraan semua umat. Kerjasama antar pemeluk sangat diperlukan.
BAB II
PEMBAHASAN
Belakangan ini marak berbagai bentuk tindak kekerasan sebagai wujud sikap intoleran terhadap sesama, yang berbeda agama, keyakinan dan suku. Tindak kekerasan terhadap kelompok Ahmadiah, pengrusakan gereja di Temanggung, bom buku, bom bunuh diri di Cirebon telah menodai rasa aman di ruang publik dan merusak kerukunan hidup bersama di tanah air kita. Situasi seperti ini harus menjadi keprihatinan semua warga Indonesia terlebih pihak-pihak yang bertanggungjawab dan patut dicermati secara jeli guna mengambil langkah-langkah bijak untuk pencegahan. Salah satu langkah bijak untuk mencegah segala bentuk tindakan intoleransi adalah membangun budaya toleransi. Membangun budaya toleransi itulah menjadi tema pembahasan dalam tulisan ini. Namun sebelum membahas tentang budaya toleransi, terlebih dahulu harus dibahas tentang budaya intoleransi.
Intoleransi sama seperti toleransi merupakan sikap manusia. Sikap dalam ilmu psikologi sosial diartikan sebagai suatu kecenderungan untuk berperilaku yang dipelajari dan sifatnya bertahan dalam relasi dengan obyek sosial tertentu. Krech D. dan Crutchfield R.S mendefinisikan sikap sebagai suatu sistem evaluasi positif atau negatif yang sifatnya bertahan, perasaan-perasaan dan kecenderungan-kecenderungan pro dan kontra terhadap obyek sosial tertentu (Sikap Manusia, Prof Dr. Mar’at, hal. 9). Dalam kerangka definisi sikap tersebut di atas, intoleransi dapat dipahami sebagai suatu kecenderungan manusia yang kontra terhadap objek sosial tertentu, dalam hal ini sesama manusia, karena dia berseberangan dalam eksistensinya.
Intoleransi sebagai suatu sikap mengandung tiga unsur atau aspek yakni aspek kognitif, aspek affektif, dan aspek psikomotoris. Sikap intoleransi dibangun berdasarkan evaluasi, pemahaman, keyakinan negatif seseorang terhadap orang dari kelompok lain. Pemahaman yang menyulut sikap intoleransi tidak hanya bersifat negatif, tetapi juga keliru. Pemahaman itu karena sifatnya negatif, akan membangkitkan emosi negatif (affektif) yakni rasa tidak senang, antipati, membenci dlsb dan pada gilirannya akan memicu kecenderungan berperilaku (psikomotoris) yang kontra terhadap orang tertentu berupa kekerasan dalam berbagai bentuk.
Intoleransi jelas terbentuk dari pemahaman negatif bahkan keliru yang diterima atau diindokrinasikan dalam diri seseorang. Pemahaman negatif dan keliru itu bisa berasal dari sebuah ideologi atau paham tertentu yang dicetuskan oleh orang tertentu. Pemahaman itu perlahan mengental dalam diri seseorang karena pengulangan dan penguatan yang dilakukan secara terus-menerus. Proses internalisasi seperti itu dapat berupa pencucian otak, sehingga otak orang itu hanya diisi oleh pemahaman yang diterimanya. Pemahaman negatif tentang kelompok tertentu yang berbasis agama atau kepercayaan atau suku tertentu seperti misalnya dianggap kafir dan dikutuk oleh Allah, pasti akan mengobarkan perasaan benci dan menyulut tindak kekerasan terhadap orang-orang dari kelompok yang dibenci itu.
Tindakan intoleran kalau dibiarkan, akan dianggap biasa. Lalu lahirlah budaya intoleransi. Bila intoleransi sudah menjadi budaya, maka upaya untuk membasminya menjadi mustahil. Budaya intoleransi termasuk budaya kematian, karena intoleransi membuahkan kematian pada keolompok tertentu, agama atau keyakinan tertentu. Agama atau keyakinan lain dilihat sebagai momok atau musuh yang harus diganyang dan tidak bisa diberi tempat untuk boleh berada di bumi manusia ini. Jelas, budaya intoleransi bertentangan dengan hak asasi manusia, karena setiap orang dari kodratnya berhak untuk memilih dan menghayati agama atau keyakinannya. Hak asasi itu dijamin oleh konstitusi bahkan oleh piagam PBB. Karena itu budaya intoleransi tidak boleh ditolerir.
Setelah dijabarkan mengenai budaya intoleransi maka kita juga perlu memahami apa itu budaya toleransi. Toleransi berasal dari bahasa Latin yakni dari kata kerja tolerare yang berati membiarkan, menyabarkan. Dari kosa kata bahasa Latin itulah lahir kata toleransi. Tentu saja toleransi yang dibangun menjadi satu budaya tidak dalam arti sempit seperti itu yakni hanya sekedar membiarkan orang lain, kelompok lain, agama atau keyakinan lain berada di bumi manusia ini. Menurut Frans Magnis Suseno, “Toleransi bukan dalam arti asal membiarkan saja, melainkan sebagai penerimaan tulus terhadap saudara dalam kekhasannya, bahkan dalam kelainannya. Baru itu toleransi, di mana kita menerima yang lain sebagai yang lain.” ( Menggalang Persatuan Indonesia Baru, hal 57).
Toleransi dalam arti seperti itu oleh Magnis Suseno dimaksudkan sebagai toleransi positif. Toleransi positif menghormati pihak lain dalam kekhasannya, dalam identitas mereka, dalam kelainan mereka. Kita tidak beriman sama. Kita tidak meyakini hal-hal yang paling khas bagi mereka, tetapi kita menghormati mereka. Kita menerima bahwa mereka dengan jujur meyakini sesuatu yang tidak mungkin kita yakini. Dalam hal ini kita sadar bahwa Allah Bapa kita jauh lebih agung dan luas daripada hati kita dan kita menyerahkan kepada Allah bagaimana Ia memandang saudara-saudara yang berlainan agamanya.
Dasar dari sikap toleransi adalah anggapan atau keyakinan bahwa keberagaman (pluriformitas) adalah ciptaan dan karunia Tuhan yang patut kita syukuri. Seandainya Tuhan tidak menghendaki adanya keberagaman, sudah lama dibasmi oleh Tuhan atau tidak akan diciptakan. Kenyataan lain yang tak dapat diingkari adalah tidak seorang pun sebelum lahir ke dunia, diminta untuk memilih suku, agama atau keyakinan yang akan dianuti sesudah kelahiran. Setiap orang menerima apa yang sudah diberikan Tuhan kepadanya. Keberagaman adalah suatu keniscayaan yang harus diterima setiap penghuni bumi ini. Kalau keyakinan dasar ini bisa diterima dan dihayati semua orang, orang akan saling menghargai dan mengasihi. Orang yang berbeda bukan musuh tetapi adalah saudara dalam keluarga Allah.
Hak untuk berbeda dalam eksistensi bukan suatu pemberian dari seseorang, tetapi melekat pada kodrat manusia itu sendiri atau dengan kata lain merupakan pemberian Tuhan. Karena itu mau tidak mau hak untuk berbeda harus diakui dan dihargai oleh setiap orang. Sebab itu budaya intoleransi merupakan suatu pengingkaran terhadap kodrat manusia. Budaya intoleransi dengan demikian merupakan suatu bentuk alienasi dari diri sendiri, karena sadar atau tidak sadar seseorang telah mengingkari apa yang melekat pada dirinya.
Budaya toleransi terbentuk dari rangkaian kebiasaan berperilaku yang mengkristalkan sikap saling menghargai dan mengasihi di antara orang-orang dengan latar belakang pluriformistis. Sudah pasti membangun budaya toleransi membutuhkan sebuah proses yang kadang memakan waktu yang cukup panjang. Hal terpenting dalam membangun budaya toleransi adalah menularkan perilaku saling menghargai dan mengasihi di tengah masyarakat Indonesia yang beranekaragam ini.
Intoleransi dan toleransi dibangun berdasarkan keyakinan atau pemahaman yang diperoleh seseorang dan diinternalisir dalam dirinya. Karena itu hal terpenting yang harus diupayakan dalam membangun budaya toleransi adalah mentransferkan pemahaman atau keyakinan yang benar dan positif tentang keanekaan manusia yakni sebagai suatu anugerah Tuhan yang membuat bumi ini indah untuk dihuni bersama. Keanekaragaman umat manusia dalam berbagai aspek seperti suku, agama dan keyakinan harus dipandang sebagai aneka kembang warna-warni yang membuat bumi ini menjadi sebuah taman yang luar biasa indah bagi umat manusia.
Dari berbagai aspek keanekaragaman itu agama merupakan unsur yang sangat sensitif dan mudah menyulut perasaan negatif terhadap kelompok agama lain. Karena itu toleransi positif harus dibangun terutama dalam konteks keragaman agama. Para pemuka agama harus menanamkan pandangan yang positif terhadap agama-agama di dunia dalam diri setiap umatnya sejak dini. Untuk itu dibutuhkan suatu pembaharuan pandangan terhadap agama-agama di dunia. Gereja Katolik sejak Konsili Vatikan II telah mencanangkan perubahan sikap terhadap agama-agama non Kristen di dunia. “Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkan sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang.” (Nostra Aetate, Dokumen Konsili Vatikan II, hal. 311). Perubahan serupa diharapkan diembuskan dalam semua agama di dunia. Sehingga tidak ada pemeluk agama yang mengkafirkan pemeluk agama yang lain.
Perubahan pandangan terhadap agama lain dan pemeluknya harus ditanamkan sejak usia dini mulai dari keluarga dan berlanjut dalam pendidikan formal sejak TK. Perubahan pandangan itu harus dimantapkan dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat. Para pemuka dan tokoh agama diharapkan memainkan peran strategis sebagai agen perubahan itu lewat mimbar resmi maupun tak resmi di tengah masyarakat.
Perubahan pandangan itu harus diperkuat dengan perilaku yang mendukung. Umat beragama harus berupaya untuk saling mengenal dengan mengadakan silahturahmi kepada saudara-saudara dari agama lain. Misalnya, pada hari raya agama tertentu. Pada hari raya Idulfitri umat non islam bersilahturahmi kepada saudara-saudara umat muslim. Sebaliknya pada hari raya Natal umat muslim dan non Kristen lain bersilahturahmi kepada saudara-saudara yang beragama Kristen. Perilaku kunjung mengunjung seperti itu kiranya tidak hanya terbatas pada hari raya, tetapi juga bilamana tetangga yang beragama lain mengalami duka atau kemalangan atau acara-acara lainnya. Budaya silahturahmi kiranya melahirkan belarasa dengan sesama tanpa peduli latar belakang agama dan sukunya.
Selain perilaku seperti saling mengunjungi, dapat diadakan dialog iman di antara umat yang berbeda agama. Dalam dialog iman setiap orang diajak untuk mensharingkan atau membagikan kekayaan pengalaman imannya kepada yang lain. Dengan demikian orang boleh berbeda agama tetapi dapat bersatu dalam iman. Karena sesungguhnya kita mengimani Allah yang sama sebagai Bapa dari semua orang beriman, yang mengasihi semua orang, tidak hanya orang baik tetapi juga orang jahat (Mt. 5: 45). Dialog iman memperluas wawasan iman seseorang. Teologi yang dianuti pun dapat diperkaya. Allah diyakini sebagai Bapa yang kasih-Nya tak terbatas. Dialah yang menciptakan semua umat manusia di dunia dengan keanekaragamannya. Allah adalah Bapa dari semua orang dan semua orang adalah saudara. Dialog iman memberikan pencerahan kepada semua umat beragama untuk melihat umat beragama lain sebagai saudara. “Manusia adalah umat yang satu” al-Quran II:213 (Johan Effendy, Menggalang Persatuan Indonesia Baru, hal. 44).
Dialog iman harus didukung juga dengan dialog kehidupan. Dialog kehidupan merupakan penerjemahan atau penghayatan iman dalam kehidupan. Dalam dialog kehidupan orang berjumpa untuk saling berbagi kasih, kebaikan, suka dan duka. Dialog kehidupan dapat dilakukan ketika terjadi bencana alam seperti banjir atau gunung meletus sebagaimana ketika gunung Merapi meletus. Di saat seperti itu sekat-sekat agama yang sering memisahkan umat beragama tersingkir secara spontan. Dan tampillah manusia dalam kehakikiannya tanpa sekat-sekat keragaman yang memisahkan. Itulah fitrah dasar kita umat manusia yang harus menjadi mimpi kita bersama. Dialog kehidupan tidak harus menunggu sampai terjadi suatu bencana bersama atau musuh bersama, tetapi harus terjadi dalam keseharian hidup lewat hal kecil atau yang biasa. Kalau ada tetangga yang sakit atau punya hajatan, orang dapat ikut berbagi untuk saling membantu. Lewat dialog kehidupan dalam keseharian perlahan menghapus sekat-sekat pemisahan dan akan menyuburkan budaya toleransi di antara umat manusia.
Perubahan pandangan tentang keragaman dan perilaku yang mengikutinya, harus dilakukan berulang-ulang sampai tertanam kuat dalam diri setiap umat beragama dan menjadi kebiasaan. Hidup bersama dengan orang lain dalam perbedaannya diterima sebagai suatu keniscayaan yang tidak lagi dipermasalahkan, karena tidak berpotensi mewnimbulkan masalah. Maka lahirlah budaya toleransi. Tentu saja harus dicamkan bahwa budaya toleransi membutuhkan suatu proses yang panjang. Karena itu dibutuhkan ketekunan dan komitmen untuk berbuat member kontribusi bagi mantapnya budaya toleransi. Ada sebuah ungkapan mengatakan, “Daripada mengutuki kegelapan, lebih baik menyalakan sebatang lilin”. Senada dengan itu dapat dikatakan juga, “Daripada mengutuki budaya intoleransi, lebih baik melakukan satu hal kecil untuk untuk membangun budaya toleransi.
BAB III
KESIMPULAN
Keberagaman adalah anugerah yang bersifat kodrati. Ia adalah sebuah keniscayaan yang pasti akan terjadi di dalam kehidupan sekitar walau sekeras apapun masyarakat menentang. Sungguh, betapa indahnya hidup damai dalam keberagaman, namun di era reformasai keragaman atau kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban, hal ini terlihat dari munculnya berbagai masalah yang sumbernya berbau keragamanan, khusunya bidang agama. Agama yang seharusnya menjadi solusi atas berbagai masalah sosial, justru memicu timbunya masalah sosial.
Untuk mencegah dan menanggulangi berbagai permasalahan sosial perlu dibangun dan dikembangkan toleransi dalam kehidupan pada masyarakat majemuk. Untuk membangunn budaya toleransi perlu adanya dialog antar umat beragama dimana masing-masing bisa saling menghargai dan menghormati perbedaan diantara mereka. Dengan berkembangnya budaya toleransi maka akan terjalinnya hubungan antar anggota dari berbagai kelompok, hal ini dapat menetralisir terjadinya konflik-konflik sosial dan tidak khawatir akan terjadinya fanatisme sempit serta sentiment yang bersifat primordial
Keanekaragaman itu bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan. Dari perbedaan-perbedaan itu seharusnya kita memiliki tujuan dan cita-cita perjuangan yang sama, yaitu mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual tentram dan damai berdasarkan Pancasila. Apalagi situasi negara kita sedang menata kehidupan yang lebih baik, melakukan reformasi di semua bidang menuju Indonesia Baru yang demokratis adil dan makmur serta berkedaulatan rakyat. Hal seperti ini sangat diperlukan kesadaran bertoleransi yang tinggi untuk saling menghargai guna menciptakan kehidupan yang tenteram dan damai.
Indahnya bumi ini untuk dihuni bersama tidak datang dari langit, tapi harus diupayakan bersama oleh semua penghuni bumi dengan latar belakang yang sangat beraneka. Itu berarti memberi kontribusi guna terciptanya sebuah bumi baru yang lebih indah bukan lagi merupakan suatu pilihan tetapi suatu keharusan. Bumi ini akan menjadi firdaus atau neraka tergantung pada setiap penghuninya. Karena itu membangun budaya toleransi merupakan pilihan yang tidak bisa ditawar-tawar dan menuntut komitmen total dari semua orang. Semoga firdaus yang hilang akan ditemukan kembali dalam kebersamaan hidup yang penuh toleransi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mar’at Dr, Prof, Sikap Manusia Perubahan serta Pengukurannya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981.
2. Widyahadi Seputra et al (ed), Menggalang persatuan Indonesia Baru, Komisi PSE/APP, Jakarta, 2000.
3. Hardawiryana, R, SJ, Dokumen Konsili Vatikan II (terj), OBOR, Jakarta, 1993
4. Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1981.
http://elcom.umy.ac.id/elschool/muallimin_muhammadiyah/file.php/1/materi/PPKn/TOLERANSI.pdf
MEMBANGUN BUDAYA TOLERANSI
BAB I
PENDAHULUAN
Negara dan bangsa Indonesia pernah digoncang oleh perpecahan yang berawal dari kemajemukan masyarakat. Di dalam kemajemukan itu ada kelompok-kelompok tertentu yang mau memisahkan diri dari negara kesatuan. Konflik-konflik tersebut dapat terjadi karena satu faktor perbedaan, misalnya faktor agama. Namun tidak jarang perpecahan itu disebabkan oleh beberapa faktor secara bersama, misalnya kerusuhan ras yang ditunjang oleh perbedaan kondisi ekonomi, agama, dan budaya. Cobalah kita renungkan mengapa terjadi peristiwa perkelahian, tawuran bahkan permusuhan antar etnis di negeri kita. Contoh di Aceh, peristiwa di Sampit, Sambas, Ambon dan lain-lainnya yang kalau ditulis sungguh memalukan dan memilukan hati dan perasaan kita. Dari contoh peristiwa yang tidak semuanya disebutkan itu, bagaimana menurut pendapat Anda? Pasti Anda tidak menghendaki peristiwa itu terjadi bukan? Karena peristiwa itu apapun alasannya yang pasti akan menghancurkan masa depan anak-anak bangsa, martabat serta harga diri bangsa. Kita tidak ingin bangsa Indonesia terpecah-pecah saling bermusuhan satu sama lain karena masalah agama. Kita ingin hidup tertib, aman, dan damai, saling menghormati dan saling menghargai agama dan keyakinan masing-masing. Untuk itu kita harus dapat menciptakan kehidupan umat beragama yang serasi, selaras, dan seimbang, sebagai umat beragama, sebagai masyarakat maupun warga negara.
Diera reformasi menuju Indonesia baru mari kita berupaya semakin meningkatkan kualitas hidup. Salah satunya adalah bagaimana seharusnya kita bina atau menjalin hubungan toleransi dengan benar. Kita perlu dan wajib membina dan menjalin kehidupan yang penuh dengan toleransi. Apalagi kita sebagai manusia, secara kodrat tidak bisa hidup sendiri. Hal ini berarti seseorang tidak hidup sendirian, tetapi ia berteman, bertetangga, bahkan ajaran agama mengatakan kita tidak boleh membedakan warna kulit, ras, dan golongan. Sikap dan perilaku toleransi dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, di manapun kita berada, baik di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, bahkan berbangsa dan bernegara.
Maka harus dikembangkan budaya toleransi, saling menghormati dan menghargai antar pemeluk. Semua pihak mesti meneguhkan dan mengembangkan sikap-sikap terbuka yang dapat menjadi pintu masuk untuk membangun pondasi keberagaman yang kuat untuk kesejahteraan semua umat. Kerjasama antar pemeluk sangat diperlukan.
BAB II
PEMBAHASAN
Belakangan ini marak berbagai bentuk tindak kekerasan sebagai wujud sikap intoleran terhadap sesama, yang berbeda agama, keyakinan dan suku. Tindak kekerasan terhadap kelompok Ahmadiah, pengrusakan gereja di Temanggung, bom buku, bom bunuh diri di Cirebon telah menodai rasa aman di ruang publik dan merusak kerukunan hidup bersama di tanah air kita. Situasi seperti ini harus menjadi keprihatinan semua warga Indonesia terlebih pihak-pihak yang bertanggungjawab dan patut dicermati secara jeli guna mengambil langkah-langkah bijak untuk pencegahan. Salah satu langkah bijak untuk mencegah segala bentuk tindakan intoleransi adalah membangun budaya toleransi. Membangun budaya toleransi itulah menjadi tema pembahasan dalam tulisan ini. Namun sebelum membahas tentang budaya toleransi, terlebih dahulu harus dibahas tentang budaya intoleransi.
Intoleransi sama seperti toleransi merupakan sikap manusia. Sikap dalam ilmu psikologi sosial diartikan sebagai suatu kecenderungan untuk berperilaku yang dipelajari dan sifatnya bertahan dalam relasi dengan obyek sosial tertentu. Krech D. dan Crutchfield R.S mendefinisikan sikap sebagai suatu sistem evaluasi positif atau negatif yang sifatnya bertahan, perasaan-perasaan dan kecenderungan-kecenderungan pro dan kontra terhadap obyek sosial tertentu (Sikap Manusia, Prof Dr. Mar’at, hal. 9). Dalam kerangka definisi sikap tersebut di atas, intoleransi dapat dipahami sebagai suatu kecenderungan manusia yang kontra terhadap objek sosial tertentu, dalam hal ini sesama manusia, karena dia berseberangan dalam eksistensinya.
Intoleransi sebagai suatu sikap mengandung tiga unsur atau aspek yakni aspek kognitif, aspek affektif, dan aspek psikomotoris. Sikap intoleransi dibangun berdasarkan evaluasi, pemahaman, keyakinan negatif seseorang terhadap orang dari kelompok lain. Pemahaman yang menyulut sikap intoleransi tidak hanya bersifat negatif, tetapi juga keliru. Pemahaman itu karena sifatnya negatif, akan membangkitkan emosi negatif (affektif) yakni rasa tidak senang, antipati, membenci dlsb dan pada gilirannya akan memicu kecenderungan berperilaku (psikomotoris) yang kontra terhadap orang tertentu berupa kekerasan dalam berbagai bentuk.
Intoleransi jelas terbentuk dari pemahaman negatif bahkan keliru yang diterima atau diindokrinasikan dalam diri seseorang. Pemahaman negatif dan keliru itu bisa berasal dari sebuah ideologi atau paham tertentu yang dicetuskan oleh orang tertentu. Pemahaman itu perlahan mengental dalam diri seseorang karena pengulangan dan penguatan yang dilakukan secara terus-menerus. Proses internalisasi seperti itu dapat berupa pencucian otak, sehingga otak orang itu hanya diisi oleh pemahaman yang diterimanya. Pemahaman negatif tentang kelompok tertentu yang berbasis agama atau kepercayaan atau suku tertentu seperti misalnya dianggap kafir dan dikutuk oleh Allah, pasti akan mengobarkan perasaan benci dan menyulut tindak kekerasan terhadap orang-orang dari kelompok yang dibenci itu.
Tindakan intoleran kalau dibiarkan, akan dianggap biasa. Lalu lahirlah budaya intoleransi. Bila intoleransi sudah menjadi budaya, maka upaya untuk membasminya menjadi mustahil. Budaya intoleransi termasuk budaya kematian, karena intoleransi membuahkan kematian pada keolompok tertentu, agama atau keyakinan tertentu. Agama atau keyakinan lain dilihat sebagai momok atau musuh yang harus diganyang dan tidak bisa diberi tempat untuk boleh berada di bumi manusia ini. Jelas, budaya intoleransi bertentangan dengan hak asasi manusia, karena setiap orang dari kodratnya berhak untuk memilih dan menghayati agama atau keyakinannya. Hak asasi itu dijamin oleh konstitusi bahkan oleh piagam PBB. Karena itu budaya intoleransi tidak boleh ditolerir.
Setelah dijabarkan mengenai budaya intoleransi maka kita juga perlu memahami apa itu budaya toleransi. Toleransi berasal dari bahasa Latin yakni dari kata kerja tolerare yang berati membiarkan, menyabarkan. Dari kosa kata bahasa Latin itulah lahir kata toleransi. Tentu saja toleransi yang dibangun menjadi satu budaya tidak dalam arti sempit seperti itu yakni hanya sekedar membiarkan orang lain, kelompok lain, agama atau keyakinan lain berada di bumi manusia ini. Menurut Frans Magnis Suseno, “Toleransi bukan dalam arti asal membiarkan saja, melainkan sebagai penerimaan tulus terhadap saudara dalam kekhasannya, bahkan dalam kelainannya. Baru itu toleransi, di mana kita menerima yang lain sebagai yang lain.” ( Menggalang Persatuan Indonesia Baru, hal 57).
Toleransi dalam arti seperti itu oleh Magnis Suseno dimaksudkan sebagai toleransi positif. Toleransi positif menghormati pihak lain dalam kekhasannya, dalam identitas mereka, dalam kelainan mereka. Kita tidak beriman sama. Kita tidak meyakini hal-hal yang paling khas bagi mereka, tetapi kita menghormati mereka. Kita menerima bahwa mereka dengan jujur meyakini sesuatu yang tidak mungkin kita yakini. Dalam hal ini kita sadar bahwa Allah Bapa kita jauh lebih agung dan luas daripada hati kita dan kita menyerahkan kepada Allah bagaimana Ia memandang saudara-saudara yang berlainan agamanya.
Dasar dari sikap toleransi adalah anggapan atau keyakinan bahwa keberagaman (pluriformitas) adalah ciptaan dan karunia Tuhan yang patut kita syukuri. Seandainya Tuhan tidak menghendaki adanya keberagaman, sudah lama dibasmi oleh Tuhan atau tidak akan diciptakan. Kenyataan lain yang tak dapat diingkari adalah tidak seorang pun sebelum lahir ke dunia, diminta untuk memilih suku, agama atau keyakinan yang akan dianuti sesudah kelahiran. Setiap orang menerima apa yang sudah diberikan Tuhan kepadanya. Keberagaman adalah suatu keniscayaan yang harus diterima setiap penghuni bumi ini. Kalau keyakinan dasar ini bisa diterima dan dihayati semua orang, orang akan saling menghargai dan mengasihi. Orang yang berbeda bukan musuh tetapi adalah saudara dalam keluarga Allah.
Hak untuk berbeda dalam eksistensi bukan suatu pemberian dari seseorang, tetapi melekat pada kodrat manusia itu sendiri atau dengan kata lain merupakan pemberian Tuhan. Karena itu mau tidak mau hak untuk berbeda harus diakui dan dihargai oleh setiap orang. Sebab itu budaya intoleransi merupakan suatu pengingkaran terhadap kodrat manusia. Budaya intoleransi dengan demikian merupakan suatu bentuk alienasi dari diri sendiri, karena sadar atau tidak sadar seseorang telah mengingkari apa yang melekat pada dirinya.
Budaya toleransi terbentuk dari rangkaian kebiasaan berperilaku yang mengkristalkan sikap saling menghargai dan mengasihi di antara orang-orang dengan latar belakang pluriformistis. Sudah pasti membangun budaya toleransi membutuhkan sebuah proses yang kadang memakan waktu yang cukup panjang. Hal terpenting dalam membangun budaya toleransi adalah menularkan perilaku saling menghargai dan mengasihi di tengah masyarakat Indonesia yang beranekaragam ini.
Intoleransi dan toleransi dibangun berdasarkan keyakinan atau pemahaman yang diperoleh seseorang dan diinternalisir dalam dirinya. Karena itu hal terpenting yang harus diupayakan dalam membangun budaya toleransi adalah mentransferkan pemahaman atau keyakinan yang benar dan positif tentang keanekaan manusia yakni sebagai suatu anugerah Tuhan yang membuat bumi ini indah untuk dihuni bersama. Keanekaragaman umat manusia dalam berbagai aspek seperti suku, agama dan keyakinan harus dipandang sebagai aneka kembang warna-warni yang membuat bumi ini menjadi sebuah taman yang luar biasa indah bagi umat manusia.
Dari berbagai aspek keanekaragaman itu agama merupakan unsur yang sangat sensitif dan mudah menyulut perasaan negatif terhadap kelompok agama lain. Karena itu toleransi positif harus dibangun terutama dalam konteks keragaman agama. Para pemuka agama harus menanamkan pandangan yang positif terhadap agama-agama di dunia dalam diri setiap umatnya sejak dini. Untuk itu dibutuhkan suatu pembaharuan pandangan terhadap agama-agama di dunia. Gereja Katolik sejak Konsili Vatikan II telah mencanangkan perubahan sikap terhadap agama-agama non Kristen di dunia. “Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkan sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang.” (Nostra Aetate, Dokumen Konsili Vatikan II, hal. 311). Perubahan serupa diharapkan diembuskan dalam semua agama di dunia. Sehingga tidak ada pemeluk agama yang mengkafirkan pemeluk agama yang lain.
Perubahan pandangan terhadap agama lain dan pemeluknya harus ditanamkan sejak usia dini mulai dari keluarga dan berlanjut dalam pendidikan formal sejak TK. Perubahan pandangan itu harus dimantapkan dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat. Para pemuka dan tokoh agama diharapkan memainkan peran strategis sebagai agen perubahan itu lewat mimbar resmi maupun tak resmi di tengah masyarakat.
Perubahan pandangan itu harus diperkuat dengan perilaku yang mendukung. Umat beragama harus berupaya untuk saling mengenal dengan mengadakan silahturahmi kepada saudara-saudara dari agama lain. Misalnya, pada hari raya agama tertentu. Pada hari raya Idulfitri umat non islam bersilahturahmi kepada saudara-saudara umat muslim. Sebaliknya pada hari raya Natal umat muslim dan non Kristen lain bersilahturahmi kepada saudara-saudara yang beragama Kristen. Perilaku kunjung mengunjung seperti itu kiranya tidak hanya terbatas pada hari raya, tetapi juga bilamana tetangga yang beragama lain mengalami duka atau kemalangan atau acara-acara lainnya. Budaya silahturahmi kiranya melahirkan belarasa dengan sesama tanpa peduli latar belakang agama dan sukunya.
Selain perilaku seperti saling mengunjungi, dapat diadakan dialog iman di antara umat yang berbeda agama. Dalam dialog iman setiap orang diajak untuk mensharingkan atau membagikan kekayaan pengalaman imannya kepada yang lain. Dengan demikian orang boleh berbeda agama tetapi dapat bersatu dalam iman. Karena sesungguhnya kita mengimani Allah yang sama sebagai Bapa dari semua orang beriman, yang mengasihi semua orang, tidak hanya orang baik tetapi juga orang jahat (Mt. 5: 45). Dialog iman memperluas wawasan iman seseorang. Teologi yang dianuti pun dapat diperkaya. Allah diyakini sebagai Bapa yang kasih-Nya tak terbatas. Dialah yang menciptakan semua umat manusia di dunia dengan keanekaragamannya. Allah adalah Bapa dari semua orang dan semua orang adalah saudara. Dialog iman memberikan pencerahan kepada semua umat beragama untuk melihat umat beragama lain sebagai saudara. “Manusia adalah umat yang satu” al-Quran II:213 (Johan Effendy, Menggalang Persatuan Indonesia Baru, hal. 44).
Dialog iman harus didukung juga dengan dialog kehidupan. Dialog kehidupan merupakan penerjemahan atau penghayatan iman dalam kehidupan. Dalam dialog kehidupan orang berjumpa untuk saling berbagi kasih, kebaikan, suka dan duka. Dialog kehidupan dapat dilakukan ketika terjadi bencana alam seperti banjir atau gunung meletus sebagaimana ketika gunung Merapi meletus. Di saat seperti itu sekat-sekat agama yang sering memisahkan umat beragama tersingkir secara spontan. Dan tampillah manusia dalam kehakikiannya tanpa sekat-sekat keragaman yang memisahkan. Itulah fitrah dasar kita umat manusia yang harus menjadi mimpi kita bersama. Dialog kehidupan tidak harus menunggu sampai terjadi suatu bencana bersama atau musuh bersama, tetapi harus terjadi dalam keseharian hidup lewat hal kecil atau yang biasa. Kalau ada tetangga yang sakit atau punya hajatan, orang dapat ikut berbagi untuk saling membantu. Lewat dialog kehidupan dalam keseharian perlahan menghapus sekat-sekat pemisahan dan akan menyuburkan budaya toleransi di antara umat manusia.
Perubahan pandangan tentang keragaman dan perilaku yang mengikutinya, harus dilakukan berulang-ulang sampai tertanam kuat dalam diri setiap umat beragama dan menjadi kebiasaan. Hidup bersama dengan orang lain dalam perbedaannya diterima sebagai suatu keniscayaan yang tidak lagi dipermasalahkan, karena tidak berpotensi mewnimbulkan masalah. Maka lahirlah budaya toleransi. Tentu saja harus dicamkan bahwa budaya toleransi membutuhkan suatu proses yang panjang. Karena itu dibutuhkan ketekunan dan komitmen untuk berbuat member kontribusi bagi mantapnya budaya toleransi. Ada sebuah ungkapan mengatakan, “Daripada mengutuki kegelapan, lebih baik menyalakan sebatang lilin”. Senada dengan itu dapat dikatakan juga, “Daripada mengutuki budaya intoleransi, lebih baik melakukan satu hal kecil untuk untuk membangun budaya toleransi.
BAB III
KESIMPULAN
Keberagaman adalah anugerah yang bersifat kodrati. Ia adalah sebuah keniscayaan yang pasti akan terjadi di dalam kehidupan sekitar walau sekeras apapun masyarakat menentang. Sungguh, betapa indahnya hidup damai dalam keberagaman, namun di era reformasai keragaman atau kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban, hal ini terlihat dari munculnya berbagai masalah yang sumbernya berbau keragamanan, khusunya bidang agama. Agama yang seharusnya menjadi solusi atas berbagai masalah sosial, justru memicu timbunya masalah sosial.
Untuk mencegah dan menanggulangi berbagai permasalahan sosial perlu dibangun dan dikembangkan toleransi dalam kehidupan pada masyarakat majemuk. Untuk membangunn budaya toleransi perlu adanya dialog antar umat beragama dimana masing-masing bisa saling menghargai dan menghormati perbedaan diantara mereka. Dengan berkembangnya budaya toleransi maka akan terjalinnya hubungan antar anggota dari berbagai kelompok, hal ini dapat menetralisir terjadinya konflik-konflik sosial dan tidak khawatir akan terjadinya fanatisme sempit serta sentiment yang bersifat primordial
Keanekaragaman itu bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan. Dari perbedaan-perbedaan itu seharusnya kita memiliki tujuan dan cita-cita perjuangan yang sama, yaitu mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual tentram dan damai berdasarkan Pancasila. Apalagi situasi negara kita sedang menata kehidupan yang lebih baik, melakukan reformasi di semua bidang menuju Indonesia Baru yang demokratis adil dan makmur serta berkedaulatan rakyat. Hal seperti ini sangat diperlukan kesadaran bertoleransi yang tinggi untuk saling menghargai guna menciptakan kehidupan yang tenteram dan damai.
Indahnya bumi ini untuk dihuni bersama tidak datang dari langit, tapi harus diupayakan bersama oleh semua penghuni bumi dengan latar belakang yang sangat beraneka. Itu berarti memberi kontribusi guna terciptanya sebuah bumi baru yang lebih indah bukan lagi merupakan suatu pilihan tetapi suatu keharusan. Bumi ini akan menjadi firdaus atau neraka tergantung pada setiap penghuninya. Karena itu membangun budaya toleransi merupakan pilihan yang tidak bisa ditawar-tawar dan menuntut komitmen total dari semua orang. Semoga firdaus yang hilang akan ditemukan kembali dalam kebersamaan hidup yang penuh toleransi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mar’at Dr, Prof, Sikap Manusia Perubahan serta Pengukurannya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981.
2. Widyahadi Seputra et al (ed), Menggalang persatuan Indonesia Baru, Komisi PSE/APP, Jakarta, 2000.
3. Hardawiryana, R, SJ, Dokumen Konsili Vatikan II (terj), OBOR, Jakarta, 1993
4. Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1981.
http://elcom.umy.ac.id/elschool/muallimin_muhammadiyah/file.php/1/materi/PPKn/TOLERANSI.pdf
MEMBANGUN BUDAYA TOLERANSI
BAB I
PENDAHULUAN
Negara dan bangsa Indonesia pernah digoncang oleh perpecahan yang berawal dari kemajemukan masyarakat. Di dalam kemajemukan itu ada kelompok-kelompok tertentu yang mau memisahkan diri dari negara kesatuan. Konflik-konflik tersebut dapat terjadi karena satu faktor perbedaan, misalnya faktor agama. Namun tidak jarang perpecahan itu disebabkan oleh beberapa faktor secara bersama, misalnya kerusuhan ras yang ditunjang oleh perbedaan kondisi ekonomi, agama, dan budaya. Cobalah kita renungkan mengapa terjadi peristiwa perkelahian, tawuran bahkan permusuhan antar etnis di negeri kita. Contoh di Aceh, peristiwa di Sampit, Sambas, Ambon dan lain-lainnya yang kalau ditulis sungguh memalukan dan memilukan hati dan perasaan kita. Dari contoh peristiwa yang tidak semuanya disebutkan itu, bagaimana menurut pendapat Anda? Pasti Anda tidak menghendaki peristiwa itu terjadi bukan? Karena peristiwa itu apapun alasannya yang pasti akan menghancurkan masa depan anak-anak bangsa, martabat serta harga diri bangsa. Kita tidak ingin bangsa Indonesia terpecah-pecah saling bermusuhan satu sama lain karena masalah agama. Kita ingin hidup tertib, aman, dan damai, saling menghormati dan saling menghargai agama dan keyakinan masing-masing. Untuk itu kita harus dapat menciptakan kehidupan umat beragama yang serasi, selaras, dan seimbang, sebagai umat beragama, sebagai masyarakat maupun warga negara.
Diera reformasi menuju Indonesia baru mari kita berupaya semakin meningkatkan kualitas hidup. Salah satunya adalah bagaimana seharusnya kita bina atau menjalin hubungan toleransi dengan benar. Kita perlu dan wajib membina dan menjalin kehidupan yang penuh dengan toleransi. Apalagi kita sebagai manusia, secara kodrat tidak bisa hidup sendiri. Hal ini berarti seseorang tidak hidup sendirian, tetapi ia berteman, bertetangga, bahkan ajaran agama mengatakan kita tidak boleh membedakan warna kulit, ras, dan golongan. Sikap dan perilaku toleransi dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, di manapun kita berada, baik di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, bahkan berbangsa dan bernegara.
Maka harus dikembangkan budaya toleransi, saling menghormati dan menghargai antar pemeluk. Semua pihak mesti meneguhkan dan mengembangkan sikap-sikap terbuka yang dapat menjadi pintu masuk untuk membangun pondasi keberagaman yang kuat untuk kesejahteraan semua umat. Kerjasama antar pemeluk sangat diperlukan.
BAB II
PEMBAHASAN
Belakangan ini marak berbagai bentuk tindak kekerasan sebagai wujud sikap intoleran terhadap sesama, yang berbeda agama, keyakinan dan suku. Tindak kekerasan terhadap kelompok Ahmadiah, pengrusakan gereja di Temanggung, bom buku, bom bunuh diri di Cirebon telah menodai rasa aman di ruang publik dan merusak kerukunan hidup bersama di tanah air kita. Situasi seperti ini harus menjadi keprihatinan semua warga Indonesia terlebih pihak-pihak yang bertanggungjawab dan patut dicermati secara jeli guna mengambil langkah-langkah bijak untuk pencegahan. Salah satu langkah bijak untuk mencegah segala bentuk tindakan intoleransi adalah membangun budaya toleransi. Membangun budaya toleransi itulah menjadi tema pembahasan dalam tulisan ini. Namun sebelum membahas tentang budaya toleransi, terlebih dahulu harus dibahas tentang budaya intoleransi.
Intoleransi sama seperti toleransi merupakan sikap manusia. Sikap dalam ilmu psikologi sosial diartikan sebagai suatu kecenderungan untuk berperilaku yang dipelajari dan sifatnya bertahan dalam relasi dengan obyek sosial tertentu. Krech D. dan Crutchfield R.S mendefinisikan sikap sebagai suatu sistem evaluasi positif atau negatif yang sifatnya bertahan, perasaan-perasaan dan kecenderungan-kecenderungan pro dan kontra terhadap obyek sosial tertentu (Sikap Manusia, Prof Dr. Mar’at, hal. 9). Dalam kerangka definisi sikap tersebut di atas, intoleransi dapat dipahami sebagai suatu kecenderungan manusia yang kontra terhadap objek sosial tertentu, dalam hal ini sesama manusia, karena dia berseberangan dalam eksistensinya.
Intoleransi sebagai suatu sikap mengandung tiga unsur atau aspek yakni aspek kognitif, aspek affektif, dan aspek psikomotoris. Sikap intoleransi dibangun berdasarkan evaluasi, pemahaman, keyakinan negatif seseorang terhadap orang dari kelompok lain. Pemahaman yang menyulut sikap intoleransi tidak hanya bersifat negatif, tetapi juga keliru. Pemahaman itu karena sifatnya negatif, akan membangkitkan emosi negatif (affektif) yakni rasa tidak senang, antipati, membenci dlsb dan pada gilirannya akan memicu kecenderungan berperilaku (psikomotoris) yang kontra terhadap orang tertentu berupa kekerasan dalam berbagai bentuk.
Intoleransi jelas terbentuk dari pemahaman negatif bahkan keliru yang diterima atau diindokrinasikan dalam diri seseorang. Pemahaman negatif dan keliru itu bisa berasal dari sebuah ideologi atau paham tertentu yang dicetuskan oleh orang tertentu. Pemahaman itu perlahan mengental dalam diri seseorang karena pengulangan dan penguatan yang dilakukan secara terus-menerus. Proses internalisasi seperti itu dapat berupa pencucian otak, sehingga otak orang itu hanya diisi oleh pemahaman yang diterimanya. Pemahaman negatif tentang kelompok tertentu yang berbasis agama atau kepercayaan atau suku tertentu seperti misalnya dianggap kafir dan dikutuk oleh Allah, pasti akan mengobarkan perasaan benci dan menyulut tindak kekerasan terhadap orang-orang dari kelompok yang dibenci itu.
Tindakan intoleran kalau dibiarkan, akan dianggap biasa. Lalu lahirlah budaya intoleransi. Bila intoleransi sudah menjadi budaya, maka upaya untuk membasminya menjadi mustahil. Budaya intoleransi termasuk budaya kematian, karena intoleransi membuahkan kematian pada keolompok tertentu, agama atau keyakinan tertentu. Agama atau keyakinan lain dilihat sebagai momok atau musuh yang harus diganyang dan tidak bisa diberi tempat untuk boleh berada di bumi manusia ini. Jelas, budaya intoleransi bertentangan dengan hak asasi manusia, karena setiap orang dari kodratnya berhak untuk memilih dan menghayati agama atau keyakinannya. Hak asasi itu dijamin oleh konstitusi bahkan oleh piagam PBB. Karena itu budaya intoleransi tidak boleh ditolerir.
Setelah dijabarkan mengenai budaya intoleransi maka kita juga perlu memahami apa itu budaya toleransi. Toleransi berasal dari bahasa Latin yakni dari kata kerja tolerare yang berati membiarkan, menyabarkan. Dari kosa kata bahasa Latin itulah lahir kata toleransi. Tentu saja toleransi yang dibangun menjadi satu budaya tidak dalam arti sempit seperti itu yakni hanya sekedar membiarkan orang lain, kelompok lain, agama atau keyakinan lain berada di bumi manusia ini. Menurut Frans Magnis Suseno, “Toleransi bukan dalam arti asal membiarkan saja, melainkan sebagai penerimaan tulus terhadap saudara dalam kekhasannya, bahkan dalam kelainannya. Baru itu toleransi, di mana kita menerima yang lain sebagai yang lain.” ( Menggalang Persatuan Indonesia Baru, hal 57).
Toleransi dalam arti seperti itu oleh Magnis Suseno dimaksudkan sebagai toleransi positif. Toleransi positif menghormati pihak lain dalam kekhasannya, dalam identitas mereka, dalam kelainan mereka. Kita tidak beriman sama. Kita tidak meyakini hal-hal yang paling khas bagi mereka, tetapi kita menghormati mereka. Kita menerima bahwa mereka dengan jujur meyakini sesuatu yang tidak mungkin kita yakini. Dalam hal ini kita sadar bahwa Allah Bapa kita jauh lebih agung dan luas daripada hati kita dan kita menyerahkan kepada Allah bagaimana Ia memandang saudara-saudara yang berlainan agamanya.
Dasar dari sikap toleransi adalah anggapan atau keyakinan bahwa keberagaman (pluriformitas) adalah ciptaan dan karunia Tuhan yang patut kita syukuri. Seandainya Tuhan tidak menghendaki adanya keberagaman, sudah lama dibasmi oleh Tuhan atau tidak akan diciptakan. Kenyataan lain yang tak dapat diingkari adalah tidak seorang pun sebelum lahir ke dunia, diminta untuk memilih suku, agama atau keyakinan yang akan dianuti sesudah kelahiran. Setiap orang menerima apa yang sudah diberikan Tuhan kepadanya. Keberagaman adalah suatu keniscayaan yang harus diterima setiap penghuni bumi ini. Kalau keyakinan dasar ini bisa diterima dan dihayati semua orang, orang akan saling menghargai dan mengasihi. Orang yang berbeda bukan musuh tetapi adalah saudara dalam keluarga Allah.
Hak untuk berbeda dalam eksistensi bukan suatu pemberian dari seseorang, tetapi melekat pada kodrat manusia itu sendiri atau dengan kata lain merupakan pemberian Tuhan. Karena itu mau tidak mau hak untuk berbeda harus diakui dan dihargai oleh setiap orang. Sebab itu budaya intoleransi merupakan suatu pengingkaran terhadap kodrat manusia. Budaya intoleransi dengan demikian merupakan suatu bentuk alienasi dari diri sendiri, karena sadar atau tidak sadar seseorang telah mengingkari apa yang melekat pada dirinya.
Budaya toleransi terbentuk dari rangkaian kebiasaan berperilaku yang mengkristalkan sikap saling menghargai dan mengasihi di antara orang-orang dengan latar belakang pluriformistis. Sudah pasti membangun budaya toleransi membutuhkan sebuah proses yang kadang memakan waktu yang cukup panjang. Hal terpenting dalam membangun budaya toleransi adalah menularkan perilaku saling menghargai dan mengasihi di tengah masyarakat Indonesia yang beranekaragam ini.
Intoleransi dan toleransi dibangun berdasarkan keyakinan atau pemahaman yang diperoleh seseorang dan diinternalisir dalam dirinya. Karena itu hal terpenting yang harus diupayakan dalam membangun budaya toleransi adalah mentransferkan pemahaman atau keyakinan yang benar dan positif tentang keanekaan manusia yakni sebagai suatu anugerah Tuhan yang membuat bumi ini indah untuk dihuni bersama. Keanekaragaman umat manusia dalam berbagai aspek seperti suku, agama dan keyakinan harus dipandang sebagai aneka kembang warna-warni yang membuat bumi ini menjadi sebuah taman yang luar biasa indah bagi umat manusia.
Dari berbagai aspek keanekaragaman itu agama merupakan unsur yang sangat sensitif dan mudah menyulut perasaan negatif terhadap kelompok agama lain. Karena itu toleransi positif harus dibangun terutama dalam konteks keragaman agama. Para pemuka agama harus menanamkan pandangan yang positif terhadap agama-agama di dunia dalam diri setiap umatnya sejak dini. Untuk itu dibutuhkan suatu pembaharuan pandangan terhadap agama-agama di dunia. Gereja Katolik sejak Konsili Vatikan II telah mencanangkan perubahan sikap terhadap agama-agama non Kristen di dunia. “Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkan sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang.” (Nostra Aetate, Dokumen Konsili Vatikan II, hal. 311). Perubahan serupa diharapkan diembuskan dalam semua agama di dunia. Sehingga tidak ada pemeluk agama yang mengkafirkan pemeluk agama yang lain.
Perubahan pandangan terhadap agama lain dan pemeluknya harus ditanamkan sejak usia dini mulai dari keluarga dan berlanjut dalam pendidikan formal sejak TK. Perubahan pandangan itu harus dimantapkan dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat. Para pemuka dan tokoh agama diharapkan memainkan peran strategis sebagai agen perubahan itu lewat mimbar resmi maupun tak resmi di tengah masyarakat.
Perubahan pandangan itu harus diperkuat dengan perilaku yang mendukung. Umat beragama harus berupaya untuk saling mengenal dengan mengadakan silahturahmi kepada saudara-saudara dari agama lain. Misalnya, pada hari raya agama tertentu. Pada hari raya Idulfitri umat non islam bersilahturahmi kepada saudara-saudara umat muslim. Sebaliknya pada hari raya Natal umat muslim dan non Kristen lain bersilahturahmi kepada saudara-saudara yang beragama Kristen. Perilaku kunjung mengunjung seperti itu kiranya tidak hanya terbatas pada hari raya, tetapi juga bilamana tetangga yang beragama lain mengalami duka atau kemalangan atau acara-acara lainnya. Budaya silahturahmi kiranya melahirkan belarasa dengan sesama tanpa peduli latar belakang agama dan sukunya.
Selain perilaku seperti saling mengunjungi, dapat diadakan dialog iman di antara umat yang berbeda agama. Dalam dialog iman setiap orang diajak untuk mensharingkan atau membagikan kekayaan pengalaman imannya kepada yang lain. Dengan demikian orang boleh berbeda agama tetapi dapat bersatu dalam iman. Karena sesungguhnya kita mengimani Allah yang sama sebagai Bapa dari semua orang beriman, yang mengasihi semua orang, tidak hanya orang baik tetapi juga orang jahat (Mt. 5: 45). Dialog iman memperluas wawasan iman seseorang. Teologi yang dianuti pun dapat diperkaya. Allah diyakini sebagai Bapa yang kasih-Nya tak terbatas. Dialah yang menciptakan semua umat manusia di dunia dengan keanekaragamannya. Allah adalah Bapa dari semua orang dan semua orang adalah saudara. Dialog iman memberikan pencerahan kepada semua umat beragama untuk melihat umat beragama lain sebagai saudara. “Manusia adalah umat yang satu” al-Quran II:213 (Johan Effendy, Menggalang Persatuan Indonesia Baru, hal. 44).
Dialog iman harus didukung juga dengan dialog kehidupan. Dialog kehidupan merupakan penerjemahan atau penghayatan iman dalam kehidupan. Dalam dialog kehidupan orang berjumpa untuk saling berbagi kasih, kebaikan, suka dan duka. Dialog kehidupan dapat dilakukan ketika terjadi bencana alam seperti banjir atau gunung meletus sebagaimana ketika gunung Merapi meletus. Di saat seperti itu sekat-sekat agama yang sering memisahkan umat beragama tersingkir secara spontan. Dan tampillah manusia dalam kehakikiannya tanpa sekat-sekat keragaman yang memisahkan. Itulah fitrah dasar kita umat manusia yang harus menjadi mimpi kita bersama. Dialog kehidupan tidak harus menunggu sampai terjadi suatu bencana bersama atau musuh bersama, tetapi harus terjadi dalam keseharian hidup lewat hal kecil atau yang biasa. Kalau ada tetangga yang sakit atau punya hajatan, orang dapat ikut berbagi untuk saling membantu. Lewat dialog kehidupan dalam keseharian perlahan menghapus sekat-sekat pemisahan dan akan menyuburkan budaya toleransi di antara umat manusia.
Perubahan pandangan tentang keragaman dan perilaku yang mengikutinya, harus dilakukan berulang-ulang sampai tertanam kuat dalam diri setiap umat beragama dan menjadi kebiasaan. Hidup bersama dengan orang lain dalam perbedaannya diterima sebagai suatu keniscayaan yang tidak lagi dipermasalahkan, karena tidak berpotensi mewnimbulkan masalah. Maka lahirlah budaya toleransi. Tentu saja harus dicamkan bahwa budaya toleransi membutuhkan suatu proses yang panjang. Karena itu dibutuhkan ketekunan dan komitmen untuk berbuat member kontribusi bagi mantapnya budaya toleransi. Ada sebuah ungkapan mengatakan, “Daripada mengutuki kegelapan, lebih baik menyalakan sebatang lilin”. Senada dengan itu dapat dikatakan juga, “Daripada mengutuki budaya intoleransi, lebih baik melakukan satu hal kecil untuk untuk membangun budaya toleransi.
BAB III
KESIMPULAN
Keberagaman adalah anugerah yang bersifat kodrati. Ia adalah sebuah keniscayaan yang pasti akan terjadi di dalam kehidupan sekitar walau sekeras apapun masyarakat menentang. Sungguh, betapa indahnya hidup damai dalam keberagaman, namun di era reformasai keragaman atau kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban, hal ini terlihat dari munculnya berbagai masalah yang sumbernya berbau keragamanan, khusunya bidang agama. Agama yang seharusnya menjadi solusi atas berbagai masalah sosial, justru memicu timbunya masalah sosial.
Untuk mencegah dan menanggulangi berbagai permasalahan sosial perlu dibangun dan dikembangkan toleransi dalam kehidupan pada masyarakat majemuk. Untuk membangunn budaya toleransi perlu adanya dialog antar umat beragama dimana masing-masing bisa saling menghargai dan menghormati perbedaan diantara mereka. Dengan berkembangnya budaya toleransi maka akan terjalinnya hubungan antar anggota dari berbagai kelompok, hal ini dapat menetralisir terjadinya konflik-konflik sosial dan tidak khawatir akan terjadinya fanatisme sempit serta sentiment yang bersifat primordial
Keanekaragaman itu bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan. Dari perbedaan-perbedaan itu seharusnya kita memiliki tujuan dan cita-cita perjuangan yang sama, yaitu mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual tentram dan damai berdasarkan Pancasila. Apalagi situasi negara kita sedang menata kehidupan yang lebih baik, melakukan reformasi di semua bidang menuju Indonesia Baru yang demokratis adil dan makmur serta berkedaulatan rakyat. Hal seperti ini sangat diperlukan kesadaran bertoleransi yang tinggi untuk saling menghargai guna menciptakan kehidupan yang tenteram dan damai.
Indahnya bumi ini untuk dihuni bersama tidak datang dari langit, tapi harus diupayakan bersama oleh semua penghuni bumi dengan latar belakang yang sangat beraneka. Itu berarti memberi kontribusi guna terciptanya sebuah bumi baru yang lebih indah bukan lagi merupakan suatu pilihan tetapi suatu keharusan. Bumi ini akan menjadi firdaus atau neraka tergantung pada setiap penghuninya. Karena itu membangun budaya toleransi merupakan pilihan yang tidak bisa ditawar-tawar dan menuntut komitmen total dari semua orang. Semoga firdaus yang hilang akan ditemukan kembali dalam kebersamaan hidup yang penuh toleransi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mar’at Dr, Prof, Sikap Manusia Perubahan serta Pengukurannya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981.
2. Widyahadi Seputra et al (ed), Menggalang persatuan Indonesia Baru, Komisi PSE/APP, Jakarta, 2000.
3. Hardawiryana, R, SJ, Dokumen Konsili Vatikan II (terj), OBOR, Jakarta, 1993
4. Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1981.
http://elcom.umy.ac.id/elschool/muallimin_muhammadiyah/file.php/1/materi/PPKn/TOLERANSI.pdf
MEMBANGUN BUDAYA TOLERANSI
BAB I
PENDAHULUAN
Negara dan bangsa Indonesia pernah digoncang oleh perpecahan yang berawal dari kemajemukan masyarakat. Di dalam kemajemukan itu ada kelompok-kelompok tertentu yang mau memisahkan diri dari negara kesatuan. Konflik-konflik tersebut dapat terjadi karena satu faktor perbedaan, misalnya faktor agama. Namun tidak jarang perpecahan itu disebabkan oleh beberapa faktor secara bersama, misalnya kerusuhan ras yang ditunjang oleh perbedaan kondisi ekonomi, agama, dan budaya. Cobalah kita renungkan mengapa terjadi peristiwa perkelahian, tawuran bahkan permusuhan antar etnis di negeri kita. Contoh di Aceh, peristiwa di Sampit, Sambas, Ambon dan lain-lainnya yang kalau ditulis sungguh memalukan dan memilukan hati dan perasaan kita. Dari contoh peristiwa yang tidak semuanya disebutkan itu, bagaimana menurut pendapat Anda? Pasti Anda tidak menghendaki peristiwa itu terjadi bukan? Karena peristiwa itu apapun alasannya yang pasti akan menghancurkan masa depan anak-anak bangsa, martabat serta harga diri bangsa. Kita tidak ingin bangsa Indonesia terpecah-pecah saling bermusuhan satu sama lain karena masalah agama. Kita ingin hidup tertib, aman, dan damai, saling menghormati dan saling menghargai agama dan keyakinan masing-masing. Untuk itu kita harus dapat menciptakan kehidupan umat beragama yang serasi, selaras, dan seimbang, sebagai umat beragama, sebagai masyarakat maupun warga negara.
Diera reformasi menuju Indonesia baru mari kita berupaya semakin meningkatkan kualitas hidup. Salah satunya adalah bagaimana seharusnya kita bina atau menjalin hubungan toleransi dengan benar. Kita perlu dan wajib membina dan menjalin kehidupan yang penuh dengan toleransi. Apalagi kita sebagai manusia, secara kodrat tidak bisa hidup sendiri. Hal ini berarti seseorang tidak hidup sendirian, tetapi ia berteman, bertetangga, bahkan ajaran agama mengatakan kita tidak boleh membedakan warna kulit, ras, dan golongan. Sikap dan perilaku toleransi dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, di manapun kita berada, baik di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, bahkan berbangsa dan bernegara.
Maka harus dikembangkan budaya toleransi, saling menghormati dan menghargai antar pemeluk. Semua pihak mesti meneguhkan dan mengembangkan sikap-sikap terbuka yang dapat menjadi pintu masuk untuk membangun pondasi keberagaman yang kuat untuk kesejahteraan semua umat. Kerjasama antar pemeluk sangat diperlukan.
BAB II
PEMBAHASAN
Belakangan ini marak berbagai bentuk tindak kekerasan sebagai wujud sikap intoleran terhadap sesama, yang berbeda agama, keyakinan dan suku. Tindak kekerasan terhadap kelompok Ahmadiah, pengrusakan gereja di Temanggung, bom buku, bom bunuh diri di Cirebon telah menodai rasa aman di ruang publik dan merusak kerukunan hidup bersama di tanah air kita. Situasi seperti ini harus menjadi keprihatinan semua warga Indonesia terlebih pihak-pihak yang bertanggungjawab dan patut dicermati secara jeli guna mengambil langkah-langkah bijak untuk pencegahan. Salah satu langkah bijak untuk mencegah segala bentuk tindakan intoleransi adalah membangun budaya toleransi. Membangun budaya toleransi itulah menjadi tema pembahasan dalam tulisan ini. Namun sebelum membahas tentang budaya toleransi, terlebih dahulu harus dibahas tentang budaya intoleransi.
Intoleransi sama seperti toleransi merupakan sikap manusia. Sikap dalam ilmu psikologi sosial diartikan sebagai suatu kecenderungan untuk berperilaku yang dipelajari dan sifatnya bertahan dalam relasi dengan obyek sosial tertentu. Krech D. dan Crutchfield R.S mendefinisikan sikap sebagai suatu sistem evaluasi positif atau negatif yang sifatnya bertahan, perasaan-perasaan dan kecenderungan-kecenderungan pro dan kontra terhadap obyek sosial tertentu (Sikap Manusia, Prof Dr. Mar’at, hal. 9). Dalam kerangka definisi sikap tersebut di atas, intoleransi dapat dipahami sebagai suatu kecenderungan manusia yang kontra terhadap objek sosial tertentu, dalam hal ini sesama manusia, karena dia berseberangan dalam eksistensinya.
Intoleransi sebagai suatu sikap mengandung tiga unsur atau aspek yakni aspek kognitif, aspek affektif, dan aspek psikomotoris. Sikap intoleransi dibangun berdasarkan evaluasi, pemahaman, keyakinan negatif seseorang terhadap orang dari kelompok lain. Pemahaman yang menyulut sikap intoleransi tidak hanya bersifat negatif, tetapi juga keliru. Pemahaman itu karena sifatnya negatif, akan membangkitkan emosi negatif (affektif) yakni rasa tidak senang, antipati, membenci dlsb dan pada gilirannya akan memicu kecenderungan berperilaku (psikomotoris) yang kontra terhadap orang tertentu berupa kekerasan dalam berbagai bentuk.
Intoleransi jelas terbentuk dari pemahaman negatif bahkan keliru yang diterima atau diindokrinasikan dalam diri seseorang. Pemahaman negatif dan keliru itu bisa berasal dari sebuah ideologi atau paham tertentu yang dicetuskan oleh orang tertentu. Pemahaman itu perlahan mengental dalam diri seseorang karena pengulangan dan penguatan yang dilakukan secara terus-menerus. Proses internalisasi seperti itu dapat berupa pencucian otak, sehingga otak orang itu hanya diisi oleh pemahaman yang diterimanya. Pemahaman negatif tentang kelompok tertentu yang berbasis agama atau kepercayaan atau suku tertentu seperti misalnya dianggap kafir dan dikutuk oleh Allah, pasti akan mengobarkan perasaan benci dan menyulut tindak kekerasan terhadap orang-orang dari kelompok yang dibenci itu.
Tindakan intoleran kalau dibiarkan, akan dianggap biasa. Lalu lahirlah budaya intoleransi. Bila intoleransi sudah menjadi budaya, maka upaya untuk membasminya menjadi mustahil. Budaya intoleransi termasuk budaya kematian, karena intoleransi membuahkan kematian pada keolompok tertentu, agama atau keyakinan tertentu. Agama atau keyakinan lain dilihat sebagai momok atau musuh yang harus diganyang dan tidak bisa diberi tempat untuk boleh berada di bumi manusia ini. Jelas, budaya intoleransi bertentangan dengan hak asasi manusia, karena setiap orang dari kodratnya berhak untuk memilih dan menghayati agama atau keyakinannya. Hak asasi itu dijamin oleh konstitusi bahkan oleh piagam PBB. Karena itu budaya intoleransi tidak boleh ditolerir.
Setelah dijabarkan mengenai budaya intoleransi maka kita juga perlu memahami apa itu budaya toleransi. Toleransi berasal dari bahasa Latin yakni dari kata kerja tolerare yang berati membiarkan, menyabarkan. Dari kosa kata bahasa Latin itulah lahir kata toleransi. Tentu saja toleransi yang dibangun menjadi satu budaya tidak dalam arti sempit seperti itu yakni hanya sekedar membiarkan orang lain, kelompok lain, agama atau keyakinan lain berada di bumi manusia ini. Menurut Frans Magnis Suseno, “Toleransi bukan dalam arti asal membiarkan saja, melainkan sebagai penerimaan tulus terhadap saudara dalam kekhasannya, bahkan dalam kelainannya. Baru itu toleransi, di mana kita menerima yang lain sebagai yang lain.” ( Menggalang Persatuan Indonesia Baru, hal 57).
Toleransi dalam arti seperti itu oleh Magnis Suseno dimaksudkan sebagai toleransi positif. Toleransi positif menghormati pihak lain dalam kekhasannya, dalam identitas mereka, dalam kelainan mereka. Kita tidak beriman sama. Kita tidak meyakini hal-hal yang paling khas bagi mereka, tetapi kita menghormati mereka. Kita menerima bahwa mereka dengan jujur meyakini sesuatu yang tidak mungkin kita yakini. Dalam hal ini kita sadar bahwa Allah Bapa kita jauh lebih agung dan luas daripada hati kita dan kita menyerahkan kepada Allah bagaimana Ia memandang saudara-saudara yang berlainan agamanya.
Dasar dari sikap toleransi adalah anggapan atau keyakinan bahwa keberagaman (pluriformitas) adalah ciptaan dan karunia Tuhan yang patut kita syukuri. Seandainya Tuhan tidak menghendaki adanya keberagaman, sudah lama dibasmi oleh Tuhan atau tidak akan diciptakan. Kenyataan lain yang tak dapat diingkari adalah tidak seorang pun sebelum lahir ke dunia, diminta untuk memilih suku, agama atau keyakinan yang akan dianuti sesudah kelahiran. Setiap orang menerima apa yang sudah diberikan Tuhan kepadanya. Keberagaman adalah suatu keniscayaan yang harus diterima setiap penghuni bumi ini. Kalau keyakinan dasar ini bisa diterima dan dihayati semua orang, orang akan saling menghargai dan mengasihi. Orang yang berbeda bukan musuh tetapi adalah saudara dalam keluarga Allah.
Hak untuk berbeda dalam eksistensi bukan suatu pemberian dari seseorang, tetapi melekat pada kodrat manusia itu sendiri atau dengan kata lain merupakan pemberian Tuhan. Karena itu mau tidak mau hak untuk berbeda harus diakui dan dihargai oleh setiap orang. Sebab itu budaya intoleransi merupakan suatu pengingkaran terhadap kodrat manusia. Budaya intoleransi dengan demikian merupakan suatu bentuk alienasi dari diri sendiri, karena sadar atau tidak sadar seseorang telah mengingkari apa yang melekat pada dirinya.
Budaya toleransi terbentuk dari rangkaian kebiasaan berperilaku yang mengkristalkan sikap saling menghargai dan mengasihi di antara orang-orang dengan latar belakang pluriformistis. Sudah pasti membangun budaya toleransi membutuhkan sebuah proses yang kadang memakan waktu yang cukup panjang. Hal terpenting dalam membangun budaya toleransi adalah menularkan perilaku saling menghargai dan mengasihi di tengah masyarakat Indonesia yang beranekaragam ini.
Intoleransi dan toleransi dibangun berdasarkan keyakinan atau pemahaman yang diperoleh seseorang dan diinternalisir dalam dirinya. Karena itu hal terpenting yang harus diupayakan dalam membangun budaya toleransi adalah mentransferkan pemahaman atau keyakinan yang benar dan positif tentang keanekaan manusia yakni sebagai suatu anugerah Tuhan yang membuat bumi ini indah untuk dihuni bersama. Keanekaragaman umat manusia dalam berbagai aspek seperti suku, agama dan keyakinan harus dipandang sebagai aneka kembang warna-warni yang membuat bumi ini menjadi sebuah taman yang luar biasa indah bagi umat manusia.
Dari berbagai aspek keanekaragaman itu agama merupakan unsur yang sangat sensitif dan mudah menyulut perasaan negatif terhadap kelompok agama lain. Karena itu toleransi positif harus dibangun terutama dalam konteks keragaman agama. Para pemuka agama harus menanamkan pandangan yang positif terhadap agama-agama di dunia dalam diri setiap umatnya sejak dini. Untuk itu dibutuhkan suatu pembaharuan pandangan terhadap agama-agama di dunia. Gereja Katolik sejak Konsili Vatikan II telah mencanangkan perubahan sikap terhadap agama-agama non Kristen di dunia. “Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkan sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang.” (Nostra Aetate, Dokumen Konsili Vatikan II, hal. 311). Perubahan serupa diharapkan diembuskan dalam semua agama di dunia. Sehingga tidak ada pemeluk agama yang mengkafirkan pemeluk agama yang lain.
Perubahan pandangan terhadap agama lain dan pemeluknya harus ditanamkan sejak usia dini mulai dari keluarga dan berlanjut dalam pendidikan formal sejak TK. Perubahan pandangan itu harus dimantapkan dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat. Para pemuka dan tokoh agama diharapkan memainkan peran strategis sebagai agen perubahan itu lewat mimbar resmi maupun tak resmi di tengah masyarakat.
Perubahan pandangan itu harus diperkuat dengan perilaku yang mendukung. Umat beragama harus berupaya untuk saling mengenal dengan mengadakan silahturahmi kepada saudara-saudara dari agama lain. Misalnya, pada hari raya agama tertentu. Pada hari raya Idulfitri umat non islam bersilahturahmi kepada saudara-saudara umat muslim. Sebaliknya pada hari raya Natal umat muslim dan non Kristen lain bersilahturahmi kepada saudara-saudara yang beragama Kristen. Perilaku kunjung mengunjung seperti itu kiranya tidak hanya terbatas pada hari raya, tetapi juga bilamana tetangga yang beragama lain mengalami duka atau kemalangan atau acara-acara lainnya. Budaya silahturahmi kiranya melahirkan belarasa dengan sesama tanpa peduli latar belakang agama dan sukunya.
Selain perilaku seperti saling mengunjungi, dapat diadakan dialog iman di antara umat yang berbeda agama. Dalam dialog iman setiap orang diajak untuk mensharingkan atau membagikan kekayaan pengalaman imannya kepada yang lain. Dengan demikian orang boleh berbeda agama tetapi dapat bersatu dalam iman. Karena sesungguhnya kita mengimani Allah yang sama sebagai Bapa dari semua orang beriman, yang mengasihi semua orang, tidak hanya orang baik tetapi juga orang jahat (Mt. 5: 45). Dialog iman memperluas wawasan iman seseorang. Teologi yang dianuti pun dapat diperkaya. Allah diyakini sebagai Bapa yang kasih-Nya tak terbatas. Dialah yang menciptakan semua umat manusia di dunia dengan keanekaragamannya. Allah adalah Bapa dari semua orang dan semua orang adalah saudara. Dialog iman memberikan pencerahan kepada semua umat beragama untuk melihat umat beragama lain sebagai saudara. “Manusia adalah umat yang satu” al-Quran II:213 (Johan Effendy, Menggalang Persatuan Indonesia Baru, hal. 44).
Dialog iman harus didukung juga dengan dialog kehidupan. Dialog kehidupan merupakan penerjemahan atau penghayatan iman dalam kehidupan. Dalam dialog kehidupan orang berjumpa untuk saling berbagi kasih, kebaikan, suka dan duka. Dialog kehidupan dapat dilakukan ketika terjadi bencana alam seperti banjir atau gunung meletus sebagaimana ketika gunung Merapi meletus. Di saat seperti itu sekat-sekat agama yang sering memisahkan umat beragama tersingkir secara spontan. Dan tampillah manusia dalam kehakikiannya tanpa sekat-sekat keragaman yang memisahkan. Itulah fitrah dasar kita umat manusia yang harus menjadi mimpi kita bersama. Dialog kehidupan tidak harus menunggu sampai terjadi suatu bencana bersama atau musuh bersama, tetapi harus terjadi dalam keseharian hidup lewat hal kecil atau yang biasa. Kalau ada tetangga yang sakit atau punya hajatan, orang dapat ikut berbagi untuk saling membantu. Lewat dialog kehidupan dalam keseharian perlahan menghapus sekat-sekat pemisahan dan akan menyuburkan budaya toleransi di antara umat manusia.
Perubahan pandangan tentang keragaman dan perilaku yang mengikutinya, harus dilakukan berulang-ulang sampai tertanam kuat dalam diri setiap umat beragama dan menjadi kebiasaan. Hidup bersama dengan orang lain dalam perbedaannya diterima sebagai suatu keniscayaan yang tidak lagi dipermasalahkan, karena tidak berpotensi mewnimbulkan masalah. Maka lahirlah budaya toleransi. Tentu saja harus dicamkan bahwa budaya toleransi membutuhkan suatu proses yang panjang. Karena itu dibutuhkan ketekunan dan komitmen untuk berbuat member kontribusi bagi mantapnya budaya toleransi. Ada sebuah ungkapan mengatakan, “Daripada mengutuki kegelapan, lebih baik menyalakan sebatang lilin”. Senada dengan itu dapat dikatakan juga, “Daripada mengutuki budaya intoleransi, lebih baik melakukan satu hal kecil untuk untuk membangun budaya toleransi.
BAB III
KESIMPULAN
Keberagaman adalah anugerah yang bersifat kodrati. Ia adalah sebuah keniscayaan yang pasti akan terjadi di dalam kehidupan sekitar walau sekeras apapun masyarakat menentang. Sungguh, betapa indahnya hidup damai dalam keberagaman, namun di era reformasai keragaman atau kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban, hal ini terlihat dari munculnya berbagai masalah yang sumbernya berbau keragamanan, khusunya bidang agama. Agama yang seharusnya menjadi solusi atas berbagai masalah sosial, justru memicu timbunya masalah sosial.
Untuk mencegah dan menanggulangi berbagai permasalahan sosial perlu dibangun dan dikembangkan toleransi dalam kehidupan pada masyarakat majemuk. Untuk membangunn budaya toleransi perlu adanya dialog antar umat beragama dimana masing-masing bisa saling menghargai dan menghormati perbedaan diantara mereka. Dengan berkembangnya budaya toleransi maka akan terjalinnya hubungan antar anggota dari berbagai kelompok, hal ini dapat menetralisir terjadinya konflik-konflik sosial dan tidak khawatir akan terjadinya fanatisme sempit serta sentiment yang bersifat primordial
Keanekaragaman itu bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan. Dari perbedaan-perbedaan itu seharusnya kita memiliki tujuan dan cita-cita perjuangan yang sama, yaitu mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual tentram dan damai berdasarkan Pancasila. Apalagi situasi negara kita sedang menata kehidupan yang lebih baik, melakukan reformasi di semua bidang menuju Indonesia Baru yang demokratis adil dan makmur serta berkedaulatan rakyat. Hal seperti ini sangat diperlukan kesadaran bertoleransi yang tinggi untuk saling menghargai guna menciptakan kehidupan yang tenteram dan damai.
Indahnya bumi ini untuk dihuni bersama tidak datang dari langit, tapi harus diupayakan bersama oleh semua penghuni bumi dengan latar belakang yang sangat beraneka. Itu berarti memberi kontribusi guna terciptanya sebuah bumi baru yang lebih indah bukan lagi merupakan suatu pilihan tetapi suatu keharusan. Bumi ini akan menjadi firdaus atau neraka tergantung pada setiap penghuninya. Karena itu membangun budaya toleransi merupakan pilihan yang tidak bisa ditawar-tawar dan menuntut komitmen total dari semua orang. Semoga firdaus yang hilang akan ditemukan kembali dalam kebersamaan hidup yang penuh toleransi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mar’at Dr, Prof, Sikap Manusia Perubahan serta Pengukurannya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981.
2. Widyahadi Seputra et al (ed), Menggalang persatuan Indonesia Baru, Komisi PSE/APP, Jakarta, 2000.
3. Hardawiryana, R, SJ, Dokumen Konsili Vatikan II (terj), OBOR, Jakarta, 1993
4. Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1981.
http://elcom.umy.ac.id/elschool/muallimin_muhammadiyah/file.php/1/materi/PPKn/TOLERANSI.pdf
Jumat, 29 April 2011
KEDIKTATORAN
KEDIKTATORAN, KEKERASAN DAN KESENGSARAAN
BAB I
PENDAHUUAN
Barangkali kita bersama tentu masih ingat beberapa Negara yang mengalami masa pemerintahan dengan adanya satu pemimpin yang mampu memerintah sekian tahun lamanya. Beberapa Negara seperti Jerman, Perancis, Rusia, Kamboja dan sebagainya. Kini persoalan yang sedang hangat dibicarakan tentang kasus Libya. Barangkali kita melihat bahkan mendengar perkembangan kasus tersebut. Sejenak kita akan membuka gagasan kita dengan adanya sebuah komentar di bawah ini.
Pemerintah Indonesia prihatin dan menyesalkan kekerasan di Libya yang mengatasnamakan perlindungan terhadap warga sipil. Seharusnya, perlindungan warga dengan cara yang tidak justru malah menimbulkan masalah baru yang lebih pelik.
Hal ini disampaikan Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa, di Kementerian Luar Negeri, Jakarta, pada Selasa, 22 Maret 2011. Natalegawa mengatakan situasi di Libya saat ini bukannya membaik, tapi malah memburuk. "Kita tentu prihatin, situasi dan kondisi di libya berkembang sedemikian rupa, sehingga semakin tampillah sosok penggunaan kekerasan," ujar Natalegawa.
Tentara Koalisi Dewan Keamanan PBB yang dipimpin oleh Amerika Serikat pada Minggu, 20 Maret 2011, menjatuhkan ratusan rudal ke komplek kediaman Khadafi dan sekitarnya di Tripoli. Akibatnya, 48 orang tewas dalam serangan tersebut. "Keadaaan ini sangat kita sesali, mengapa sampai harus menggunakan kekerasan," ujar Natalegawa
Natalegawa mengatakan, tindakan yang diambil dalam mengatasi krisis di Libya haruslah sesuai dengan hukum internasional dan Piagam PBB.
Resolusi Dewan Keamanan PBB tahun 1973 yang mencakup zona larangan terbang yang ditetapkan Kamis pekan lalu adalah untuk memberikan perlindungan bagi warga sipil yang tidak berdosa. "Namun tentunya kita ingin agar pelaksanaan resolusi itu dilakukan dengan terukur dan pas, jangan sampai menimbulkan masalah-masalah baru. Dalam arti, dampak kemanusiaan yang justru mempersulit dan memperumit permasalahan," tegas Natalegawa.
Dalam pelaksanaannya, saran natalegawa, perlu diselaraskan antara usaha untuk menyelamatkan warga sipil dengan upaya menciptakan kondisi yang kondusif untuk proses politik selanjutnya. Hal ini harus dilakukan secara bersama-sama, tidak bisa terpisah.
Natalegawa mengatakan konflik di Libya hanya bisa diselesaikan dengan jalan dialog demi terciptanya situasi yang aman, seperti yang terjadi di Mesir dan Tunisia. Hal ini haruslah dilakukan oleh pemerintah yang berdaulat tanpa campur tangan asing. "Campur tangan siapapun juga dalam proses politik ini tidak mungkin dibenarkan," tegas Natalegawa lagi. (adi)
Setelah kita bersama membaca tulisan di atas kiranya kita akan semakin terbuka wawasan kita bagaimana sebuah Negara akan dibawa dengan sebuah pola pemerintahaan. Ada berbagai bentuk pemerintahan di dunia ini, namun pembahasan kita sekarang ini adalah mengenai kediktatoran yang melahirkan kekerasan dan kesengsaraan bagi bangsanya sendiri. Tema ini diangkat sehubungan kepedulian hati terhadap sesama dengan harapan adanya hidup damai dalam berbangsa dan bernegara. Maka sejenak kita akan membahas beberapa hal sehubungan dengan tema di atas yakni mengenal “Pasifisme dan bagaimana Dalai Lama Berkeputusan meninggalkan jabatannya sebagai seorang pemimpin Negara?”
BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum masuk dalam pembahasan kita ini sejenak kita membahas seputar dictator dan beberapa contohnya. Diktator dapat dikatakan adalah seorang pemimpin negara yang memerintah dengan otoriter atau dengan membentuk tirani dengan seringkali menggunakan sikap penindasan terhadap rakyatnya. Tak jarang terjadi atau bahkan menjadi hal yang biasa kalau pencapaian sebuah kekuasaan atau tahta dilakukan dengan cara kekerasan. Kekerasan itu pun dapat terjadi dan dikenakan jika seseorang yang memiliki paham, sikap, juga pandangan yang berbeda dengan pemimpin tersebut. Niscaya tindakan kekerasan demi sebuah kekuasaan tak terelakkan.
Istilah Diktatorisme adalah sebuah paham yang artinya diambil dari kata "diktator" artinya orang yang memerintah suatu negara/pemerintahan dengan hak-hak dan kekuasaan absolut dan -isme yang berarti sebuah pemahaman maka disimpulkan diktatorisme adalah sebuah paham yang dianut oleh suatu negara untuk dipimpin oleh seorang pemimpin otoriter yang mempunyai hak dan kewajiban absolut. Adapun diktatorisme cenderung lebih banyak dipraktikkan di negara-negara Eropa seperti Jerman, Polandia, Perancis, dan Italia. "
Maka kita sejenak perlu melihat beberapa daftar para penguasa yang menerapkan paham diktatorisme dalam menjalankan roda pemerintahannya.
NO NAMA MULAI JABATAN AKHIR JABATAN NEGARA
1 Napoleon Bonaparte
1804 1814 Perancis
2 Adolf Hitler
1935 1945 Jerman
3 Josef Stalin
1922 1953 Uni Soviet
4 Fransisco Franco
1936 1975 Spanyol
5 Mao Zedong
1949 1976 Republik Rakyat Cina
6 Pol Pot
1976 1979 Kamboja
7 Jean Bédel Bokassa
1966 1979 Afrika Tengah
8 Idi Amin Dada
1971 1979 Uganda
9 Kim Il-sung
1948 1972 Korea Utara
10 Saddam Hussein
1979 2003 Irak
11 Nicolae Ceausescu
1967 1989 Rumania
12 Slobodan Milosevic
1989 1997 Yugoslavia
13 Mobutu Sese Seko
1965 1997 Kongo
14 Augusto José Ramón Pinochet Ugarte
1974 1990 Chili
15 Francois Duvalier
1957 1971 Haiti
16 Benito Amilcare Andrea Mussolini
1922 1943 Italia
17 Soeharto
1967 1998 Indonesia
18 Ho Chi Minh
1945 1969 Vietnam Utara
19 Hosni Mubarak
1881 2011 Mesir
Daftar para diktator di atas merupakan tokoh-tokoh dunia yang terkenal dan tidak asing bagi kita. Sejarah telah mencatat bahwa mereka adalah orang-orang yang menyumbangkan banyak hal bagi negaranya. Maka ada dua buah pandangan yang ditawarkan dalam tulisan ini yakni dengan adanya system Pasifisme dan belajar dari Dalai lama. Pembahasan yang pertama berkenaan dengan Pasifisme.
Pasifisme adalah perlawanan terhadap perang atau kekerasan sebagai sarana untuk menyelesaikan pertikaian. Pasifisme mencakup pandangan yang berspektrum luas yang merentang dari keyakinan bahwa pertikaian internasional dapat dan harus diselesaikan secara damai, hingga perlawanan mutlak terhadap penggunaan kekerasan, atau bahkan paksaan, dalam keadaan apapun.
Pasifisme dapat didasarkan pada prinsip atau pragmatisme. Pasifisme berprinsip (atau Deontologis) didasarkan pada keyakinan bahwa baik perang, penggunaan senjata maut, kekerasan atau kekuatan atau paksaan secara moral adalah salah. Pasifisme pragmatis (atau Konsekuensial) tidak memegang prinsip mutlak demikian melainkan menganggap ada cara-cara yang lebih baik untuk memecahkan suatu pertikaian daripada perang atau menganggap manfaat-manfaat perang tidak sebanding dengan ongkosnya
Sebagian orang, yang menganggap dirinya pasifis, kadang-kadang meskipun menentang perang, kenyataannya tidak menentang semua penggunaan kekerasan, kekuatan fisik terhadap orang lain atau perusakan terhadap harta milik. Kaum anti-militer, misalnya, secara spesifik wewenang lembaga-lembaga militer negara kebangsaan modern ketimbang mendukung "kekerasan" pada umumnya. Kaum pasifis lainnya mengikuti prinsip-prinsip anti-kekerasan, karena yakin bahwa hanya tindakan anti kekerasanlah yang dapat dibenarkan
Sekilas kita bisa membaca tulisan tentang Pasifisme bahwa ada beberapa istilah yang muncul dan menarik diperhatikan dari pandangan itu antara lain; damai, perang, kekerasan. Secara umum pasifisme cenderung mengarah ke arah damai dalam menyelesaikan permasalahan. Namun perlu kita lihat beberapa komentar dari tokoh-tokoh terkait pasifisme ini :
Mahatma Gandhi
Apa bedanya untuk yang mati, para yatim piatu, dan mereka yang kehilangan tempat bernaung, apakah penghancuran gila itu dilakukan atas nama totalitariansime atau nama yang suci dari kebebasan dan demokrasi?
Martin Luther King Jr.
Membalas kekerasan dengan kekerasan akan melipatgandakan kekerasan, menambahkan kekelaman yang lebih mendalam kepada malam yang sudah tidak berbintang. Kekelaman tidak dapat menghalau kekelaman: hanya terang yang dapat melakukannya. Kebencian tidak dapat menghalau kebencian: hanya cinta kasih yang dapat melakukannya. Kebencian melipatgandakan kebencian, kekerasan melipatgandakan kekerasan, dan ketegaran melipatgandakan ketegaran dalam lingkaran kehancuran yang kian mendalam ... Reaksi berantai dari kuasa jahat - kebencian melahirkan kebencian, peperangan menghasilkan lebih banyak lagi peperangan - harus dipatahkan, atau kita akan terjerumus ke dalam liang pemusnahan yang gelap.
George Jackson.
Konsep anti-kekerasan adalah sebuah gagasan keliru. Ia mempradugakan adanya cinta kasih dan rasa keadilan pada pihak lawan kita. Bila lawan ini hanya akan kehilangan segala-galanya dan tidak akan memetik keuntungan apapun dengan melaksanakan keadilan dan cinta kasih, reaksinya hanya mungkin negative
Ada banyak keragaman dan pendapat yang muncul dari para tokoh sehubungan dengan pasifisme tersebut namun bukan berarti pasifisme adalah satu-satunya pandangan atau sistem yang dipakai dalam mewujudkan sebuah perdamaian Negara.
Kemudian kita akan belajar juga bagaimana seorang pemimpin negara yaitu Dalai Lama berkecimpung sebagai seorang pemimpin spiritual dan pemimpin Negara. Tuilsan Asrudin
seorang Analis Media Sosial di LSI Network dan penulis buku Global Warming memberikan tulisannya dalam dunia maya mengenai Dalai Lama, filosofinya sekaligus refleksinya bagi bangsa ini. Dengan dihadirkan tulisan ini kiranya mampu memberikan inspirasi lain bagaimana para pemimpin bangsa mengelola bangsa dan negaranya dengan mengedepankan kepentingan bersama di atas kepentingan sendiri dan mengarahkan pada perdamaian.
Asrudin-Analis Media Sosial di LSI Network dan penulis buku Global Warming
Ketika pemimpin negara-negara Afrika Utara dan Timur Tengah sibuk mengamankan kedudukannya akibat revolusi massa dan elit politik kita sibuk melakukan politik transaksional, pemimpin rakyat Tibet, Dalai Lama ke-14 (Tenzin Gyatso), justru mengumumkan rencana pengunduran dirinya sebagai pemimpin politik gerakan Tibet. Rencana pengunduran dirinya diumumkan dalam pidato pribadinya di Himalaya, Tibet, pada Kamis, 10 Maret 2011.
Dalam pidatonya, Lama mengimbau parlemen Tibet untuk segera mengubah konstitusi dan memilih perdana menteri baru. Lama akan melakukan perubahan yang membolehkannya mundur dari tanggung jawab politik pada pertemuan anggota parlemen Tibet di pengasingan Dharamsala (India Utara), bulan Maret ini.
Sejak awal 1960-an, Lama memang menghendaki Tibet menjadi sebuah negara yang demokratis. Lama menginginkan, pemimpin Tibet kelak adalah pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat. Karenanya keputusan Lama untuk mundur sebagai pemimpin politik Tibet adalah tepat dan benar jika dilihat dengan menggunakan kacamata demokrasi.
Keputusan Lama untuk mundur dari panggung politik adalah karena ia ingin fokus pada kegiatan-kegiatan spiritual saja. Ia ingin lepas dari kegiatan-kegiatan duniwai yang bersifat politis agar dirinya tidak terjebak pada hasrat kekuasaan semata.
Di tengah kebisingan politik dalam negeri, dimana para elit hanya sibuk memikirkan kekuasaan politik, mundurnya Lama tentu dapat menjadi cermin yang berharga bagaimana kita dapat melepaskan diri dari ego kekuasaan politik. Tulisan singkat ini berupaya untuk menyelami sosok Lama, dan apa yang dapat kita pelajari darinya tentang filosofi hidup kebajikan dan kepemimpinan politik.
Filosofi Dalai Lama
Meskipun Cina memandang Lama sebagai tokoh separatis berbahaya karena pemberontakan di Tibet pada 1959, tapi bagi para pengikutnya internasional, Lama dipercaya sebagai reinkarnasi ke-14 sang Budha.
Dalam wilayah spiritual dapat dikatakan bahwa sikap dan tingkah-laku Lama adalah perwujudan dari sikap dan tingkah laku Budha. Dalam ceramah dan pidatonya, Lama kerap melontarkan ajaran-ajaran Budha tentang perdamaian, seperti kedamaian batin dan kedamaian antarumat manusia.
Lama sangat membenci sifat pendendam, serakah, sirik, dan iri hati. Sesungguhnya, menurut Dalai Lama, sifat utama manusia itu adalah kelembutan. Memang Ilmu pengetahuan dan filsafat sering menggambarkan manusia sebagai sosok yang hanya mementingkan diri sendiri, tetapi sejarah juga mencatat bahwa manusia adalah mahluk yang peduli terhadap sesamanya. Sebagai contoh, musibah tsunami di Aceh dapat menggerakkan komunitas internasional untuk memberikan pertolongan. Ibarat bayi sebagai contoh mahluk sempurna umat manusia. Meskipun bayi dalam kehidupannya hanya memenuhi kebutuhan fisiologisnya, tetapi jika dilihat dari sudut pandang yang lain, Anda akan melihat kegembiraan yang diberikan si bayi kepada orang-orang disekitarnya. Bila kita melihat dunia ini bukan sebagai sesuatu yang agresif, dunia akan menjadi tempat yang aman dan damai bagi para penghuninya.
Untuk itu, Lama sering kali mengutarakan filosofinya tentang kebaikan dan tentang perdamaian,
”My philosophy is kindness. We live not to believe but to learn”, dan ”The love and compassion are the foundation for world peace at all levels”.
Filosofi Lama ini juga tampak dalam pernyataannya tentang agama, menurutnya ,“Agama itu sederhana. Tak butuh gereja, pura, masjid, kuil, wihara atau apapun yang disebut orang sebagai ‘rumah Tuhan’. Agama juga tak membutuhkan filsafat atau kitab-kitab yang serba canggih dan rumit. Sesungguhnyalah, akal dan nurani kita adalah rumah Tuhan yang sejati. Dan, filsafat dasarnya adalah kebajikan”.
Dalam wilayah politik, Lama juga dikenal sebagai sosok pemimpin yang bijak dan tidak haus akan kekuasaan. Mundurnya Lama dari panggung politik Tibet menunjukkan bahwa dirinya tak pernah sedikitpun berambisi untuk terus menjadi pemimpin politik di Tibet dan bahkan dia mendorong Tibet untuk menjadi sebuah Negara yang demokratis dimana rakyat dapat menentukan siapa nantinya yang akan menjadi wakil mereka di parlemen Tibet. Tujuan Lama untuk mundur dari panggung politik Tibet adalah agar dirinya dapat fokus untuk mengajarkan kebaikan bagi umat manusia dan tidak terjebak dalam nafsu kekuasaan politik semata.
Sudut pandang filosofi Lama ini sesungguhnya dapat kita pahami di luar doktrin Buddha, karena pada dasarnya semua ajaran agama adalah mengajarkan kebajikan. Tepatnya, kita tidak sepenuhnya memahami eksistensi kita, maka yang lebih penting adalah bersikap baik terhadap sesama dan menjadikan dunia ini sebagai tempat yang lebih baik untuk dihuni. Dengan perintah sederhana ini, kita tahu pasti bahwa kita tidak akan salah langkah
Sebuah gambaran yang sungguh mengesankan dari sosok seorang Dalai Lama. Ia mampu menyadari dirinya sebagai seorang pemimpin yang tidak haus akan kekuasaan. Ada beberapa hal yang kiranya sungguh menarik dapat kita pelajari dari sosok Dalai Lama ini. Yang pertama, menjadi pemimpin adalah sebuah pilihan hidup. Hal ini memiliki maksud bahwa ia sekarang menjadi pemimpin Negara sekaligus pemimpin spiritual. Merupakan suatu hal yang luar biasa jika seseorang merelakan pilihan hidupnya demi mengejar suatu nilai yang lebih tinggi yakni mengajarkan nilai kebenaran. Kepemimpinannya sebagai kepala pemerintahan ia relakan dengan memilih menjadi seorang pemimpin spiritual dengan sebuah harapan bahwa demokratisasi rakyat Tibet dapat tercapai. Ada banyak konsekuensi didalamnya atas keputusannya mengundurkan diri sebagai pemimpin Tibet. Yang kedua, seorang pemimpin adalah seorang yang mengemban amanat rakyat. Bukan menguasai menurut kehendaknya sendiri akan tetapi merelakan diri membawa banyak orang sampai pada kedamaian. Yang ketiga, kesadaran seorang pemimpin. Seorang pemimpin bukan mencari kekuasaan yang berarti menguasai yang menenggelamkan rakyat dalam kesengsaraan akan tetapi pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya.
Dengan demikian adalah sebuah gambaran kontradiksi yang ditawarkan dalam tulisan ini. Mencari sosok pemimpin yang tidak haus kekuasaan adalah tepat kiranya, sebagai wacana yang kerap dilontarkan dan sampai saat ini masih dalam proses mencari siapa?
Maka pembahasan kita mengenai Kediktatoran, kekerasan, kesengsaraan semakin memperoleh gambarannya bahwa sebuah pemerintahan yang didasarkan pada paham diktatorisme tidak sedikit akan berdampak pada kekerasan dan kesengsaraan rakyat. Maka hal ini sudah terbukti dalam sejarah panjang dunia.
BAB III
KESIMPULAN
Dengan pemaparan sekian banyak dalam tulisan ini akan semakin menjelaskan wacana yang ditawarkan bahwa kediktatoran adalah salah satu gaya kepemimpinan yang menurut sejarah banyak dialami oleh berbagai Negara dan tidak sedikit hasilnya adalah kesengsaraan. Oleh karena itu tawaran pandangan Pasifisme yang mengedepankan perdamaian menjadi wacana menuju demokrasi damai. Di sisi lain sosok pemimpin yang diktator dilawankan dengan Dalai Lama yang mengedepankan kebenaran, dan damai.
Apakah ini adalah sebuah idealisme pemikiran atau utopia dimana realisasinya hanyalah sebuah angan-angan masa depan? Barangkali memang benar namun bukan berarti tidak bisa hal itu diwujudnyatakan. Maka ini bukanlah sebuah wacana yang sungguh mutlak dalam memberi solusi akan tema ini tetapi salah satu inspirasi ke depan dari sebuah wacana kepemimpinan Negara. Sebab dalam sebuah pola kepeminpinan Negara, demokrasi sebagai sebuah paham sudah banyak dianut namun tetap memilki sisi positif dan negative. Sedangkan pasifisme dan kepemimpinan Dalai Lama hanyalah sekedar dorongan pada kedamaian Negara yang dibawa oleh pemimpin yang tidak berambisi dalam arti negatif.
Maka sebagai simpulan ini semua, kita bersama belajar akan diktatorisme yang terbukti membawa sikap kekerasan yang berakibat kesengsaraan rakyat. Mungkinkah pasifisme dan pola kepemimpinan Dalai lama diwujudkan sekarang ini? Mengingat problem seperti di Libya tidak kunjung berhenti apalagi intervensi dari Negara-negara tertentu membawa suasana kekerasan dalam pencapaian usaha damai.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://dunia.vivanews.com/news/read/210780-ri-sesalkan-kekerasan-di-libya
2. http://id.wikipedia.org/wiki/Diktator
3. http://id.wikipedia.org/wiki/Pasifisme
4. ://suar.okezone.com/read/2011/03/20/58/436767/belajar-dari-dalai-lama
BAB I
PENDAHUUAN
Barangkali kita bersama tentu masih ingat beberapa Negara yang mengalami masa pemerintahan dengan adanya satu pemimpin yang mampu memerintah sekian tahun lamanya. Beberapa Negara seperti Jerman, Perancis, Rusia, Kamboja dan sebagainya. Kini persoalan yang sedang hangat dibicarakan tentang kasus Libya. Barangkali kita melihat bahkan mendengar perkembangan kasus tersebut. Sejenak kita akan membuka gagasan kita dengan adanya sebuah komentar di bawah ini.
Pemerintah Indonesia prihatin dan menyesalkan kekerasan di Libya yang mengatasnamakan perlindungan terhadap warga sipil. Seharusnya, perlindungan warga dengan cara yang tidak justru malah menimbulkan masalah baru yang lebih pelik.
Hal ini disampaikan Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa, di Kementerian Luar Negeri, Jakarta, pada Selasa, 22 Maret 2011. Natalegawa mengatakan situasi di Libya saat ini bukannya membaik, tapi malah memburuk. "Kita tentu prihatin, situasi dan kondisi di libya berkembang sedemikian rupa, sehingga semakin tampillah sosok penggunaan kekerasan," ujar Natalegawa.
Tentara Koalisi Dewan Keamanan PBB yang dipimpin oleh Amerika Serikat pada Minggu, 20 Maret 2011, menjatuhkan ratusan rudal ke komplek kediaman Khadafi dan sekitarnya di Tripoli. Akibatnya, 48 orang tewas dalam serangan tersebut. "Keadaaan ini sangat kita sesali, mengapa sampai harus menggunakan kekerasan," ujar Natalegawa
Natalegawa mengatakan, tindakan yang diambil dalam mengatasi krisis di Libya haruslah sesuai dengan hukum internasional dan Piagam PBB.
Resolusi Dewan Keamanan PBB tahun 1973 yang mencakup zona larangan terbang yang ditetapkan Kamis pekan lalu adalah untuk memberikan perlindungan bagi warga sipil yang tidak berdosa. "Namun tentunya kita ingin agar pelaksanaan resolusi itu dilakukan dengan terukur dan pas, jangan sampai menimbulkan masalah-masalah baru. Dalam arti, dampak kemanusiaan yang justru mempersulit dan memperumit permasalahan," tegas Natalegawa.
Dalam pelaksanaannya, saran natalegawa, perlu diselaraskan antara usaha untuk menyelamatkan warga sipil dengan upaya menciptakan kondisi yang kondusif untuk proses politik selanjutnya. Hal ini harus dilakukan secara bersama-sama, tidak bisa terpisah.
Natalegawa mengatakan konflik di Libya hanya bisa diselesaikan dengan jalan dialog demi terciptanya situasi yang aman, seperti yang terjadi di Mesir dan Tunisia. Hal ini haruslah dilakukan oleh pemerintah yang berdaulat tanpa campur tangan asing. "Campur tangan siapapun juga dalam proses politik ini tidak mungkin dibenarkan," tegas Natalegawa lagi. (adi)
Setelah kita bersama membaca tulisan di atas kiranya kita akan semakin terbuka wawasan kita bagaimana sebuah Negara akan dibawa dengan sebuah pola pemerintahaan. Ada berbagai bentuk pemerintahan di dunia ini, namun pembahasan kita sekarang ini adalah mengenai kediktatoran yang melahirkan kekerasan dan kesengsaraan bagi bangsanya sendiri. Tema ini diangkat sehubungan kepedulian hati terhadap sesama dengan harapan adanya hidup damai dalam berbangsa dan bernegara. Maka sejenak kita akan membahas beberapa hal sehubungan dengan tema di atas yakni mengenal “Pasifisme dan bagaimana Dalai Lama Berkeputusan meninggalkan jabatannya sebagai seorang pemimpin Negara?”
BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum masuk dalam pembahasan kita ini sejenak kita membahas seputar dictator dan beberapa contohnya. Diktator dapat dikatakan adalah seorang pemimpin negara yang memerintah dengan otoriter atau dengan membentuk tirani dengan seringkali menggunakan sikap penindasan terhadap rakyatnya. Tak jarang terjadi atau bahkan menjadi hal yang biasa kalau pencapaian sebuah kekuasaan atau tahta dilakukan dengan cara kekerasan. Kekerasan itu pun dapat terjadi dan dikenakan jika seseorang yang memiliki paham, sikap, juga pandangan yang berbeda dengan pemimpin tersebut. Niscaya tindakan kekerasan demi sebuah kekuasaan tak terelakkan.
Istilah Diktatorisme adalah sebuah paham yang artinya diambil dari kata "diktator" artinya orang yang memerintah suatu negara/pemerintahan dengan hak-hak dan kekuasaan absolut dan -isme yang berarti sebuah pemahaman maka disimpulkan diktatorisme adalah sebuah paham yang dianut oleh suatu negara untuk dipimpin oleh seorang pemimpin otoriter yang mempunyai hak dan kewajiban absolut. Adapun diktatorisme cenderung lebih banyak dipraktikkan di negara-negara Eropa seperti Jerman, Polandia, Perancis, dan Italia. "
Maka kita sejenak perlu melihat beberapa daftar para penguasa yang menerapkan paham diktatorisme dalam menjalankan roda pemerintahannya.
NO NAMA MULAI JABATAN AKHIR JABATAN NEGARA
1 Napoleon Bonaparte
1804 1814 Perancis
2 Adolf Hitler
1935 1945 Jerman
3 Josef Stalin
1922 1953 Uni Soviet
4 Fransisco Franco
1936 1975 Spanyol
5 Mao Zedong
1949 1976 Republik Rakyat Cina
6 Pol Pot
1976 1979 Kamboja
7 Jean Bédel Bokassa
1966 1979 Afrika Tengah
8 Idi Amin Dada
1971 1979 Uganda
9 Kim Il-sung
1948 1972 Korea Utara
10 Saddam Hussein
1979 2003 Irak
11 Nicolae Ceausescu
1967 1989 Rumania
12 Slobodan Milosevic
1989 1997 Yugoslavia
13 Mobutu Sese Seko
1965 1997 Kongo
14 Augusto José Ramón Pinochet Ugarte
1974 1990 Chili
15 Francois Duvalier
1957 1971 Haiti
16 Benito Amilcare Andrea Mussolini
1922 1943 Italia
17 Soeharto
1967 1998 Indonesia
18 Ho Chi Minh
1945 1969 Vietnam Utara
19 Hosni Mubarak
1881 2011 Mesir
Daftar para diktator di atas merupakan tokoh-tokoh dunia yang terkenal dan tidak asing bagi kita. Sejarah telah mencatat bahwa mereka adalah orang-orang yang menyumbangkan banyak hal bagi negaranya. Maka ada dua buah pandangan yang ditawarkan dalam tulisan ini yakni dengan adanya system Pasifisme dan belajar dari Dalai lama. Pembahasan yang pertama berkenaan dengan Pasifisme.
Pasifisme adalah perlawanan terhadap perang atau kekerasan sebagai sarana untuk menyelesaikan pertikaian. Pasifisme mencakup pandangan yang berspektrum luas yang merentang dari keyakinan bahwa pertikaian internasional dapat dan harus diselesaikan secara damai, hingga perlawanan mutlak terhadap penggunaan kekerasan, atau bahkan paksaan, dalam keadaan apapun.
Pasifisme dapat didasarkan pada prinsip atau pragmatisme. Pasifisme berprinsip (atau Deontologis) didasarkan pada keyakinan bahwa baik perang, penggunaan senjata maut, kekerasan atau kekuatan atau paksaan secara moral adalah salah. Pasifisme pragmatis (atau Konsekuensial) tidak memegang prinsip mutlak demikian melainkan menganggap ada cara-cara yang lebih baik untuk memecahkan suatu pertikaian daripada perang atau menganggap manfaat-manfaat perang tidak sebanding dengan ongkosnya
Sebagian orang, yang menganggap dirinya pasifis, kadang-kadang meskipun menentang perang, kenyataannya tidak menentang semua penggunaan kekerasan, kekuatan fisik terhadap orang lain atau perusakan terhadap harta milik. Kaum anti-militer, misalnya, secara spesifik wewenang lembaga-lembaga militer negara kebangsaan modern ketimbang mendukung "kekerasan" pada umumnya. Kaum pasifis lainnya mengikuti prinsip-prinsip anti-kekerasan, karena yakin bahwa hanya tindakan anti kekerasanlah yang dapat dibenarkan
Sekilas kita bisa membaca tulisan tentang Pasifisme bahwa ada beberapa istilah yang muncul dan menarik diperhatikan dari pandangan itu antara lain; damai, perang, kekerasan. Secara umum pasifisme cenderung mengarah ke arah damai dalam menyelesaikan permasalahan. Namun perlu kita lihat beberapa komentar dari tokoh-tokoh terkait pasifisme ini :
Mahatma Gandhi
Apa bedanya untuk yang mati, para yatim piatu, dan mereka yang kehilangan tempat bernaung, apakah penghancuran gila itu dilakukan atas nama totalitariansime atau nama yang suci dari kebebasan dan demokrasi?
Martin Luther King Jr.
Membalas kekerasan dengan kekerasan akan melipatgandakan kekerasan, menambahkan kekelaman yang lebih mendalam kepada malam yang sudah tidak berbintang. Kekelaman tidak dapat menghalau kekelaman: hanya terang yang dapat melakukannya. Kebencian tidak dapat menghalau kebencian: hanya cinta kasih yang dapat melakukannya. Kebencian melipatgandakan kebencian, kekerasan melipatgandakan kekerasan, dan ketegaran melipatgandakan ketegaran dalam lingkaran kehancuran yang kian mendalam ... Reaksi berantai dari kuasa jahat - kebencian melahirkan kebencian, peperangan menghasilkan lebih banyak lagi peperangan - harus dipatahkan, atau kita akan terjerumus ke dalam liang pemusnahan yang gelap.
George Jackson.
Konsep anti-kekerasan adalah sebuah gagasan keliru. Ia mempradugakan adanya cinta kasih dan rasa keadilan pada pihak lawan kita. Bila lawan ini hanya akan kehilangan segala-galanya dan tidak akan memetik keuntungan apapun dengan melaksanakan keadilan dan cinta kasih, reaksinya hanya mungkin negative
Ada banyak keragaman dan pendapat yang muncul dari para tokoh sehubungan dengan pasifisme tersebut namun bukan berarti pasifisme adalah satu-satunya pandangan atau sistem yang dipakai dalam mewujudkan sebuah perdamaian Negara.
Kemudian kita akan belajar juga bagaimana seorang pemimpin negara yaitu Dalai Lama berkecimpung sebagai seorang pemimpin spiritual dan pemimpin Negara. Tuilsan Asrudin
seorang Analis Media Sosial di LSI Network dan penulis buku Global Warming memberikan tulisannya dalam dunia maya mengenai Dalai Lama, filosofinya sekaligus refleksinya bagi bangsa ini. Dengan dihadirkan tulisan ini kiranya mampu memberikan inspirasi lain bagaimana para pemimpin bangsa mengelola bangsa dan negaranya dengan mengedepankan kepentingan bersama di atas kepentingan sendiri dan mengarahkan pada perdamaian.
Asrudin-Analis Media Sosial di LSI Network dan penulis buku Global Warming
Ketika pemimpin negara-negara Afrika Utara dan Timur Tengah sibuk mengamankan kedudukannya akibat revolusi massa dan elit politik kita sibuk melakukan politik transaksional, pemimpin rakyat Tibet, Dalai Lama ke-14 (Tenzin Gyatso), justru mengumumkan rencana pengunduran dirinya sebagai pemimpin politik gerakan Tibet. Rencana pengunduran dirinya diumumkan dalam pidato pribadinya di Himalaya, Tibet, pada Kamis, 10 Maret 2011.
Dalam pidatonya, Lama mengimbau parlemen Tibet untuk segera mengubah konstitusi dan memilih perdana menteri baru. Lama akan melakukan perubahan yang membolehkannya mundur dari tanggung jawab politik pada pertemuan anggota parlemen Tibet di pengasingan Dharamsala (India Utara), bulan Maret ini.
Sejak awal 1960-an, Lama memang menghendaki Tibet menjadi sebuah negara yang demokratis. Lama menginginkan, pemimpin Tibet kelak adalah pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat. Karenanya keputusan Lama untuk mundur sebagai pemimpin politik Tibet adalah tepat dan benar jika dilihat dengan menggunakan kacamata demokrasi.
Keputusan Lama untuk mundur dari panggung politik adalah karena ia ingin fokus pada kegiatan-kegiatan spiritual saja. Ia ingin lepas dari kegiatan-kegiatan duniwai yang bersifat politis agar dirinya tidak terjebak pada hasrat kekuasaan semata.
Di tengah kebisingan politik dalam negeri, dimana para elit hanya sibuk memikirkan kekuasaan politik, mundurnya Lama tentu dapat menjadi cermin yang berharga bagaimana kita dapat melepaskan diri dari ego kekuasaan politik. Tulisan singkat ini berupaya untuk menyelami sosok Lama, dan apa yang dapat kita pelajari darinya tentang filosofi hidup kebajikan dan kepemimpinan politik.
Filosofi Dalai Lama
Meskipun Cina memandang Lama sebagai tokoh separatis berbahaya karena pemberontakan di Tibet pada 1959, tapi bagi para pengikutnya internasional, Lama dipercaya sebagai reinkarnasi ke-14 sang Budha.
Dalam wilayah spiritual dapat dikatakan bahwa sikap dan tingkah-laku Lama adalah perwujudan dari sikap dan tingkah laku Budha. Dalam ceramah dan pidatonya, Lama kerap melontarkan ajaran-ajaran Budha tentang perdamaian, seperti kedamaian batin dan kedamaian antarumat manusia.
Lama sangat membenci sifat pendendam, serakah, sirik, dan iri hati. Sesungguhnya, menurut Dalai Lama, sifat utama manusia itu adalah kelembutan. Memang Ilmu pengetahuan dan filsafat sering menggambarkan manusia sebagai sosok yang hanya mementingkan diri sendiri, tetapi sejarah juga mencatat bahwa manusia adalah mahluk yang peduli terhadap sesamanya. Sebagai contoh, musibah tsunami di Aceh dapat menggerakkan komunitas internasional untuk memberikan pertolongan. Ibarat bayi sebagai contoh mahluk sempurna umat manusia. Meskipun bayi dalam kehidupannya hanya memenuhi kebutuhan fisiologisnya, tetapi jika dilihat dari sudut pandang yang lain, Anda akan melihat kegembiraan yang diberikan si bayi kepada orang-orang disekitarnya. Bila kita melihat dunia ini bukan sebagai sesuatu yang agresif, dunia akan menjadi tempat yang aman dan damai bagi para penghuninya.
Untuk itu, Lama sering kali mengutarakan filosofinya tentang kebaikan dan tentang perdamaian,
”My philosophy is kindness. We live not to believe but to learn”, dan ”The love and compassion are the foundation for world peace at all levels”.
Filosofi Lama ini juga tampak dalam pernyataannya tentang agama, menurutnya ,“Agama itu sederhana. Tak butuh gereja, pura, masjid, kuil, wihara atau apapun yang disebut orang sebagai ‘rumah Tuhan’. Agama juga tak membutuhkan filsafat atau kitab-kitab yang serba canggih dan rumit. Sesungguhnyalah, akal dan nurani kita adalah rumah Tuhan yang sejati. Dan, filsafat dasarnya adalah kebajikan”.
Dalam wilayah politik, Lama juga dikenal sebagai sosok pemimpin yang bijak dan tidak haus akan kekuasaan. Mundurnya Lama dari panggung politik Tibet menunjukkan bahwa dirinya tak pernah sedikitpun berambisi untuk terus menjadi pemimpin politik di Tibet dan bahkan dia mendorong Tibet untuk menjadi sebuah Negara yang demokratis dimana rakyat dapat menentukan siapa nantinya yang akan menjadi wakil mereka di parlemen Tibet. Tujuan Lama untuk mundur dari panggung politik Tibet adalah agar dirinya dapat fokus untuk mengajarkan kebaikan bagi umat manusia dan tidak terjebak dalam nafsu kekuasaan politik semata.
Sudut pandang filosofi Lama ini sesungguhnya dapat kita pahami di luar doktrin Buddha, karena pada dasarnya semua ajaran agama adalah mengajarkan kebajikan. Tepatnya, kita tidak sepenuhnya memahami eksistensi kita, maka yang lebih penting adalah bersikap baik terhadap sesama dan menjadikan dunia ini sebagai tempat yang lebih baik untuk dihuni. Dengan perintah sederhana ini, kita tahu pasti bahwa kita tidak akan salah langkah
Sebuah gambaran yang sungguh mengesankan dari sosok seorang Dalai Lama. Ia mampu menyadari dirinya sebagai seorang pemimpin yang tidak haus akan kekuasaan. Ada beberapa hal yang kiranya sungguh menarik dapat kita pelajari dari sosok Dalai Lama ini. Yang pertama, menjadi pemimpin adalah sebuah pilihan hidup. Hal ini memiliki maksud bahwa ia sekarang menjadi pemimpin Negara sekaligus pemimpin spiritual. Merupakan suatu hal yang luar biasa jika seseorang merelakan pilihan hidupnya demi mengejar suatu nilai yang lebih tinggi yakni mengajarkan nilai kebenaran. Kepemimpinannya sebagai kepala pemerintahan ia relakan dengan memilih menjadi seorang pemimpin spiritual dengan sebuah harapan bahwa demokratisasi rakyat Tibet dapat tercapai. Ada banyak konsekuensi didalamnya atas keputusannya mengundurkan diri sebagai pemimpin Tibet. Yang kedua, seorang pemimpin adalah seorang yang mengemban amanat rakyat. Bukan menguasai menurut kehendaknya sendiri akan tetapi merelakan diri membawa banyak orang sampai pada kedamaian. Yang ketiga, kesadaran seorang pemimpin. Seorang pemimpin bukan mencari kekuasaan yang berarti menguasai yang menenggelamkan rakyat dalam kesengsaraan akan tetapi pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya.
Dengan demikian adalah sebuah gambaran kontradiksi yang ditawarkan dalam tulisan ini. Mencari sosok pemimpin yang tidak haus kekuasaan adalah tepat kiranya, sebagai wacana yang kerap dilontarkan dan sampai saat ini masih dalam proses mencari siapa?
Maka pembahasan kita mengenai Kediktatoran, kekerasan, kesengsaraan semakin memperoleh gambarannya bahwa sebuah pemerintahan yang didasarkan pada paham diktatorisme tidak sedikit akan berdampak pada kekerasan dan kesengsaraan rakyat. Maka hal ini sudah terbukti dalam sejarah panjang dunia.
BAB III
KESIMPULAN
Dengan pemaparan sekian banyak dalam tulisan ini akan semakin menjelaskan wacana yang ditawarkan bahwa kediktatoran adalah salah satu gaya kepemimpinan yang menurut sejarah banyak dialami oleh berbagai Negara dan tidak sedikit hasilnya adalah kesengsaraan. Oleh karena itu tawaran pandangan Pasifisme yang mengedepankan perdamaian menjadi wacana menuju demokrasi damai. Di sisi lain sosok pemimpin yang diktator dilawankan dengan Dalai Lama yang mengedepankan kebenaran, dan damai.
Apakah ini adalah sebuah idealisme pemikiran atau utopia dimana realisasinya hanyalah sebuah angan-angan masa depan? Barangkali memang benar namun bukan berarti tidak bisa hal itu diwujudnyatakan. Maka ini bukanlah sebuah wacana yang sungguh mutlak dalam memberi solusi akan tema ini tetapi salah satu inspirasi ke depan dari sebuah wacana kepemimpinan Negara. Sebab dalam sebuah pola kepeminpinan Negara, demokrasi sebagai sebuah paham sudah banyak dianut namun tetap memilki sisi positif dan negative. Sedangkan pasifisme dan kepemimpinan Dalai Lama hanyalah sekedar dorongan pada kedamaian Negara yang dibawa oleh pemimpin yang tidak berambisi dalam arti negatif.
Maka sebagai simpulan ini semua, kita bersama belajar akan diktatorisme yang terbukti membawa sikap kekerasan yang berakibat kesengsaraan rakyat. Mungkinkah pasifisme dan pola kepemimpinan Dalai lama diwujudkan sekarang ini? Mengingat problem seperti di Libya tidak kunjung berhenti apalagi intervensi dari Negara-negara tertentu membawa suasana kekerasan dalam pencapaian usaha damai.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://dunia.vivanews.com/news/read/210780-ri-sesalkan-kekerasan-di-libya
2. http://id.wikipedia.org/wiki/Diktator
3. http://id.wikipedia.org/wiki/Pasifisme
4. ://suar.okezone.com/read/2011/03/20/58/436767/belajar-dari-dalai-lama
Langganan:
Postingan (Atom)